Miris, pedih, dan pilu. Mungkin tiga kata itu yang tepat mendeskripsikan perasaan saya setelah keluar teater bioskop menonton film “Like & Share”. Sebuah karya penuh makna sekaligus surat terbuka dari sutradara Gina S. Noer yang dipersembahkan untuk masyarakat mengenai salah isu yang tidak pernah selesai di Indonesia. Film ini berupaya menyampaikan pesan tentang betapa berat beban yang harus dan akan dipikul seseorang, the exact moment they were born as a woman, yaitu mengenai kekerasan dan pelecehan seksual.
Dalam film ini Gina S Noer berani dengan ciri khasnya, yang mengusung tema-tema yang cukup kontradiktif, dan sekali lagi ia lakukan dengan amat cerdas. Kenapa saya bilang cerdas? “Like & Share” mengangkat isu sensual yang mempunyai sensasi serta tensi yang tinggi, namun Noer dapat mengeksekusinya tanpa meng-seksualitasi aspek-aspek dalam film dan juga tanpa mengeksploitasi para pemerannya. Ini merupakan sebuah hal yang spesial dan sangat penting, mengingat hal itu masih sulit ditemukan dalam film-film sejenis ini.
Jika ditanya pengalaman personal saya ketika menonton, sepanjang film saya dibuat kagum dengan bagaimana Noer mengeksekusi film ini dengan teknis yang sempurna. Terasa sangat solid peran directing dari Noer di film ini. Di satu sisi emosi saya dibuat naik dan turun bak rollercoaster, kagum, kesal, sakit, dan sedih, yang dipadukan dalam satu film. Saya ikut merasakan berbagai emosi yang dirasakan karakter, yang membuat saya merasa terpukul akan fakta-fakta menyakitkan pada realita. Hal ini membuat saya tersindir akan kurangnya atensi publik perihal masalah yang diangkat. Sungguh, “Like & Share” adalah film yang sangat kuat dan penting untuk publik.
Dari segi teknis, “Like & Share” dibuat dalam format penayangan 4:3, yang mana sekali lagi saya sebut, cerdas. Lewat format ini, film ini terasa lebih intim tehadap penonton, tensi yang dirasakan terasa lebih menggebu, dialog-dialog, mimik-mimik akting seakan disodorkan straight in front of our face, yang mungkin jika dibuat dalam format yang biasa, efek-efek tersebut tidak akan sekuat itu.
Tentunya dengan format penayangan yang cerdas, harus disesuaikan dengan dengan sinematografi yang cerdas juga. Pengambilan shot-shot dalam film ini dibuat amat cantik, hampir keseluruhan film hanya menangkap gambar dengan shot size close up, dan full shot. Sekalipun terdapat wide shot, scene tetap diambil dengan focal length yang besar, disertai dengan teknik komposisi dan framing yang diatur sedemikian rupa. Ini membuat film ini tidak hanya menyampaikan makna-makna tersirat lewat dialog, namun juga lewat visual storytelling.
Seperti yang dilakukan Gina dalam “Dua Garis Biru”, produksi desain film ini dibuat dengan tidak kalah akan makna. Terlihat dari insert shot yang memperlihatkan benda atau makanan yang ikut bercerita kepada penonton. Konsep ASMR yang menjadi inspirasi Gina dalam membuat film ini, juga diterapkan di sepanjang film. Suara ASMR dan sound design yang dipadukan menambah perasaan intim yang kuat terhadap penonton, sehingga menjadi pengalaman menonton yang susah untuk dilupakan. Hal-hal teknis ini seolah-olah membuat “Like & Share” dapat berbicara dalam segala aspek, sarat akan makna yang dapat terus menerus dibahas oleh penonton ketika selesai menonton.
Akting dari para cast di film ini pun bisa saya acungi jempol. Mulai dari main cast sampai side cast–nya, semua berhasil memerankan karakternya dengan baik. Aurora Ribero, yang memerankan karakter Lisa, memperlihatkan debut yang tidak diragukan. Ia berhasil memperlihatkan chemistry yang sangat klop dengan lawan mainnya, sebagai dua sahabat remaja masa kini dengan sangat realistis. Terlihat dari dialog, gestur-gestur akting, hingga pendekatan antar karakter dengan konflik-konflik.
Film ini juga menghadirkan Jerome Kurnia, yang kembali memerankan karakter cowok brengsek dan kembali sukses membuat penonton kesal sejadi-jadinya dengan karakter yang ia perankan. Kevin Julio yang berperan sebagai kakak dari karakter Sarah dengan panggilan Abang, tidak memerlukan screentime yang banyak, ia sukses membawa karakter yang sangat kuat sebagai garda utama keluarga Sarah. And please be not forgotten, Aulia Sarah yang berperan sebagai karakter Fita, seorang perempuan korban kekerasan seksual dan revenge p**n. Performa aktingnya amat sangat bagus. Sarah berhasil mengeksekusinya dengan permainan emosi yang memukau, walaupun hanya sebagai pendukung.
Jika dinilai dari segi cerita, “Like & Share” dapat dibilang sebagai karya terbaik Gina S. Noer. Apa yang sempat dilakukan pada “Dua Garis Biru,” kembali direpetisi dengan polesan yang jauh lebih kuat dan lebih indah. Peningkatan pesat dari segi penulisan, mulai pendekatan cerita pada Act 1 yang sangat mudah diikuti, Act 2 yang saya pribadi merasa ada part yang sedikit dragging pada konflik-konflik keluarga, sampai memasuki Act 3 dengan penyelesaian konfilk cerita yang bisa dibilang nyaris sempurna. Masih terdapat beberapa kekurangan secara minor, tapi itu bisa ter-cover dengan pacing yang jujur enak banget, diluar pengalaman menonton adegan triggering dan disturbing yang ada di film ini. In overall, pacing-nya masih sangat enjoyable.
Amat disayangkan bisa film ini terpaksa kurang akan peminat akibat salah satu pihak film yang terlibat masalah publik dalam kehidupan pribadinya. Diluar kasus tersebut, pada akhirnya film “Like & Share” adalah film yang mempunyai pesan yang kuat dan sangat penting untuk publik terutama di masa-masa saat ini. Penilaian saya terhadap keseluruhan aspek dalam film ini sudah cukup untuk menjadi salah satu film Indonesia terbaik yang dirilis di tahun ini. Terima kasih Gina S. Noer karena telah menyampaikan suara-suara perempuan yang tak terdengar.