Siapa sih yang tidak mengenal Super Bowl? Penyelenggaraan partai final dari turnamen American Football, yang selalu memenuhi headline media tentang siapa pengisi acaranya. Tapi, kalau saya bertanya akan German Bowl, apa anda pernah mendengarnya? “Unicorn Town” akan membawa kita pada suatu pengalaman seorang atlit impor dari Amerika Serikat yang bermain dalam liga American Football di Jerman.
Sebelum masuk lebih jauh, American Football ternyata menjadi salah satu olahraga hasil peninggalan tentara Amerika Serikat seusai masa kekalahan Jerman di Perang Dunia kedua. Kependudukan Amerika lewat membangun pusat militernya, ternyata juga membawa olahraga dari negeri Paman Sam ini untuk dimainkan oleh penduduk lokal. Untungnya, penerimaan yang baik sampai-sampai menelurkan liga American Football di negeri tersebut.
Salah satu korbannya, sebut saja, adalah Siegfried ‘Sigi’ Gehrke. Ia merupakan seorang pria dari sebuah kota kecil di Selatan Jerman, Schwabisch Hall, yang memiliki determinasi untuk mengembangkan olahraga ini. Sebuah tim pun dibentuk dan diberi nama Unicorns. Dengan mengusung maskot hewan fantasi Unicorn dan warna kebesaran hijau, tim ini menjadi salah satu underdog di liga German Football League (GFL).
Realitanya, tidak semua pemain GFL merupakan orang asli Jerman. Liga memperbolehkan setiap tim untuk dapat merekrut 6 pemain asing. Pemain asing ini akan diberi penanda dengan huruf A yang terpampang di helm dan pakaian tempur mereka. Akan tetapi, walau yang direkrut ada 6, hanya 2 pemain saja yang diperbolehkan untuk turun ke lapangan.
Salah satu pemain asing ini adalah Nick Alfieri. Ia merupakan seorang atlet American Football, yang baru saja memulai pendidikan filmnya di USC, lalu terpanggil dengan ajakan untuk bermain dengan Unicorn. Perpindahannya di Jerman, memberikan sebuah shock culture terlihat dari bagaimana spirit Unicorn dalam berolahraga yang tidak Ia temukan di negeri asalnya.
Jujur, saya sebetulnya tidak terlalu memiliki banyak ekspektasi dengan “Unicorn Town.” Akan tetapi, seiring berjalannya cerita, film ini berhasil menggaet saya dalam perjalanan Unicorn bersaing melawan klub-klub lain yang lebih well-established dari segi materi dan staff, bila membandingkan mereka.
Nick Alfieri, sutradara yang juga sekaligus merupakan pengisi di film ini, terasa amat piawai dalam menyajikan kisah pengalamannya untuk dapat menginspirasi kita. Unsur editing dalam film ini amat terasa, mengingat Alfieri menggabungkan banyak rekaman personalnya yang kadang digabung dengan tayangan pertandingan yang akan membuat penonton bersemangat.
Dari segi penceritaan, film ini terbilang sedikit berhasil mengecoh saya. Alfieri mengemas ceritanya dan terbilang berhasil dalam menyampaikan keberhasilan Unicorn yang kadang pas-pasan, namun tetap bisa prestatif. Semuanya itu berasal dari bagaimana semangat setiap elemen dari Unicorn yang punya dedikasi dan determinasi yang tinggi.
Walaupun sebagian besar cerita dalam film ini bersetting pada pengalaman pribadi Alfieri di musim 2015, dokumenter ini tahu bagaimana cara untuk membangun mood penontonnya. Sampai-sampai saya pun yang sudah menyaksikan film ini beberapa kali, tidak terlalu mendapatkan rasa bosan. Percaya tidak percaya, bulu kuduk saya sampai berdiri saking terbawa emosional dengan alur ceritanya.
Gila! Gila! Gila! Tumben banget sebetulnya saya terjual dengan film dokumenter olahraga. “Unicorn Town” patut banget menjadi salah satu tontonan wajib yang menginspirasi. Mungkin kita tidak bisa membandingkan dengan versi featured film yang sebetulnya sudah banyak pada film-film sport movies. Saya rasa banyak sekali nilai yang membuat film ini amat pantas untuk hadir di kelas-kelas, misalnya terkait dengan kepemimpinan, spirit, motivasi, ataupun determinasi. Yang membuat film ini unik, ya karena ini berangkat dari sesuatu yang amat personal.
Salah satu yang menarik perhatian saya disini adalah bagaimana sosok kepemimpinan Sigi. Walaupun Ia tidak menggaji para pemain lokalnya, Unicorn memiliki respek yang amat besar padanya. Semuanya berkat perilaku dan perlakuannya yang cukup banyak dihadirkan di film ini. Yang paling menarik adalah bagaimana Sigi amat concern dengan well-being pemain-pemainnya. Kasarnya, karena Ia mengharapkan semuanya dapat memberikan produktivitas terbaik mereka, maka semuanya pun perlu diperhatikan kehidupannya. Alhasil, ini adalah contoh lain dari memanusiakan manusia.
Simpulan saya, “Unicorn Town” adalah sebuah tontonan yang menyenangkan. Saya amat menyukai semangat yang mampu menggetarkan saya dari kursi penonton. Sebuah catatan personal yang begitu menginspirasi. Well done!