Sebagai salah satu jagoan Focus Features di musim ini, “Armageddon Time” akan membawa penonton ke masa menjelang pemilihan Reagan, sekaligus menyentil masalah rasial yang masih terjadi di masa perang dingin. Sebelum terlalu jauh, bila Anda kurang menyukai cerita dengan pemain utama yang menyebalkan, please skip this review.
Film ini akan terfokus pada seorang rebellious teenager bernama Paul Graff, diperankan oleh Banks Repeta, yang punya aspirasi untuk menjadi seorang seniman. Terlepas dari cita-citanya tersebut, hanya sang kakek, Aaron Rabinowitz, yang diperankan oleh Anthony Hopkins, yang mendukungnya. Alhasil, Graff yang sedikit keras kepala ini hanya punya respect pada kakeknya itu saja.
Masalah dimulai ketika Graff mulai berkenalan dengan Johnny Davis, salah satu siswa black American yang ada di kelasnya. Sekilas, Johnny hanya tinggal hidup dengan sang nenek saja. Parahnya, sang nenek pun sudah tidak terlalu berdaya. Perbedaan treatment yang kadang dirasakannya juga menyimpulkan dirinya untuk melawan, hingga akhirnya benar-benar tersudutkan, apalagi dengan masalah rasis yang belum selesai bagi para orang Amerika.
Menariknya, Graff dibesarkan di keluarga dengan American Dream. Paul selalu memandang jika keluarga sangat kaya, yang padahal biasa saja. Ia pun juga merasa Ibunya superpower, berkat posisi ketua PTA yang diembannya. Hal ini malah membuat bocah cilik ini semakin besar kepala. Ia pun berani melawan sang guru, sampai-sampai akhirnya memiliki kondisi senasib sepenanggungan dengan Johnny. Disinilah keduanya bersahabat.
Seperti biasa, saya tidak akan terlalu banyak mengumbar ceritanya. Akan tetapi, “Armageddon Time” benar-benar membeli saya lewat trailer-nya. Film ini ditulis dan disutradarai oleh James Gray, yang sebelum ini menyutradarai “Ad Astra.” Film ini dirilis sebagai salah satu film yang bersaing untuk Palme D’Or di Cannes Film Festival 2022. Masalahnya, kesan terjual tersebut kurang berhasil memukau saya seusai menyaksikan film ini.
Tertolongnya, “Armageddon Time” punya ensemble cast yang menawan. Walaupun menyebalkan, namun saya menyukai upaya Banks Repeta sebagai pemeran utama. Belum lagi dengan kehadiran pemeran “The Father,” Anthony Hopkins, yang amat berhasil membangun fokus saya, walaupun Ia tidak tampil di sepanjang film. Kehadiran Anne Hathaway sebagai Ibu yang selalu menolak keterbelakangan Paul juga menjadi pemikat lainnya. Hathaway kembali berperan dengan karakter complicated, kuat, tapi sayang kurang diberikan porsi bersinar.
Secara penyajian, “Armageddon Time” tergolong ke dalam jenis drama yang well-established. Walaupun dari segi cerita, saya kurang menyukainya. Secara eksekusi penampilan, yang paling menonjol selain ketiga pemain tersebut adalah Jaylin Webb dan Jeremy Strong. Entah kenapa, saya menyukai bagaimana Webb berhasil memainkan ekspresi wajahnya dengan amat gamblang, tanpa perlu untuk menjelaskan yang terjadi. Di sisi lain, karakter Ayah yang emosional berhasil ditancap gas Strong, terutama ketika Ia memiliki adegan nasihat di dalam mobil, yang ceritanya memperlihatkan sisi lain karakternya.
Berhubung saya kurang terlalu menyukai ceritanya, karena agak malas untuk membangun simpati saya bagi para pemberontak yang keras kepala, “Armageddon Time” sebetulnya mencoba menyentil banyak hal. Mulai dari bagaimana kehidupan para imigran, kehidupan kaum Yahudi, kaum minoritas lainnya, ancaman Reagan dan nuklirnya, sampai ke Epcot ataupun misi luar negeri NASA.
Maklum, bila membandingkan cerita-cerita yang mengusung karakter anak, sebut saja “Pan’s Labyrinth,” ataupun “Matilda,” jarang sekali yang menghadirkan tokoh utama dengan kesan antagonis, kecuali pada genre horror. Dalam analogi hemat saya, bila disandingkan dengan film superhero, “Amageddon Time” punya kesan layaknya “Black Adam.” Karakter badung Paul memang tidak se-extreme yang kita saksikan pada film Jerman, “The Tin Drum.”
Tetapi pada akhirnya, saya menyukai bagaimana “Armageddon Time” ditutup. Film ini benar-benar seakan menampar keras di badung cilik, yang sudah kerapkali tidak dapat dijinakkan oleh kedua orangtuanya. Seperti kata Irving Graff di film ini, jikalau kita tidak dapat menemukan keadilan di dunia ini, sebab dunia memang tidak adil, walaupun Ia pun sebetulnya juga tidak setuju dengan hal tersebut. Kesimpulan saya, film ini adalah cerita pertobatan seorang anak kecil bernama Paul Groff.