Terbilang sebagai film yang sempat mampir di bioskop, “Cinta Pertama Kedua & Ketiga” dirasa patut dipertimbangkan. Sebagai film kedua yang disutradarai oleh penulis skenario kenamaan, Ginatri S. Noer, akan membawa penonton ke dalam kehidupan berlatar pandemi Covid-19 yang diwakili oleh seorang laki-laki bernama Raja.
Raja, yang diperankan oleh Angga Yunanda, baru saja dikeluarkan oleh kantornya. Di tengah statusnya yang baru sebagai pengangguran, Raja terpaksa sambil menjadi driver apps online, demi dapat membantu keadaan ekonomi keluarga. Pria ini merupakan anak ketiga, sekaligus terbungsu, dan masih tinggal bersama Ayah dan Neneknya.
Ayah Raja, Dewa Sentosa, yang diperankan oleh Slamet Rahardjo, merupakan seorang pria paruh baya pensiunan Pertamina yang bersemangat, sekaligus kepala keluarga. Perbedaan usia sebanyak 47 tahun dengan putra satu-satunya, menjadi awal dinamika yang menarik di cerita ini. Raja mulai menuntut agar dapat dilihat sebagai pria dewasa, namun masih selalu berada di dalam bayang-bayang pengawasan ayahnya. Walaupun demikian, Raja yang penangguran ini masih sempat mengantar sang ayah untuk rutin berobat.
Cerita berlanjut ketika Dewa tiba-tiba bertemu dengan Linda, diperankan oleh Ira Wibowo, yang ternyata merupakan seorang instruktur tari. Dewa kemudian mengikuti kelas Linda, dan ternyata malah memberikan semangat. Di lain pihak, Raja berkenalan dengan Asia, diperankan oleh Putri Marino, seorang penari modern dance yang juga sebetulnya putri Linda. Kisah pun menjadi bagian drama baru ketika Dewa memutuskan untuk mengajak Linda ke tahap yang lebih serius.
Gina S. Noer, penulis skenario yang telah membuktikan kemampuan direktorialnya dalam “Dua Garis Biru” kembali menghadirkan kisah keluarga dengan setting yang amat relevan dengan kondisi saat ini. Ia mengupas bagaimana situasi pandemi berdampak, misalnya pada fenomena sulitnya mencari kerja, razia protokol keamanan, sampai kelas virtual yang sekarang sudah amat lazim.
Dari segi penceritaan, apa yang dihadirkan Noer dalam “Cinta Pertama, Kedua & Ketiga” terasa seperti menyaksikan sebuah sinetron padat yang dapat dibagi-bagi dalam kemasan chapter lepasan. Mengapa demikian? Sebab konflik yang dibawa dalam film ini lumayan banyak, walaupun berskala kecil dan kemudian berakhir, sampai selanjutnya masuk ke bab yang baru dengan konflik baru.
Luar biasanya, film ini memiliki ensemble cast yang luar biasa. Sebut saja living legend Slamet Rahardjo yang berhasil menghidupkan karakter Dewa sebagai one of the most inspiring daddy in Indonesia Cinema. Rahardjo amat piawai dalam menghidupkan karakternya dengan kelucuan-kelucuan dari orang tua, namun masih menghibur untuk diikuti. Di sisi lain, sosok Linda yang diperankan Ira Wibowo berhasil ditampilkan dengan cukup menawan. Linda hadir menjadi sosok wanita kuat dibalik keluarga barunya, sebagaimana Ia mampu kuat sebagai penyintas kanker. Sekali lagi, Ira Wibowo menunjukkan konsistensi akting sebagai peran protagonis yang amat berkesan.
Dari sudut kelompok yang lebih muda, Angga Yunanda menjadi semakin matang dalam memperlihatkan kemampuan aktingnya. Aktor yang kembali berkolaborasi dengan Noer ini hadir dengan sosok yang lebih keras kepala, sedikit nyolot, tapi pantang menyerah. Baiknya, Yunanda cukup dapat menyeimbangi penampilan cast lain di film ini, misalnya, seperti saat Ia bertengkar dengan sang Ayah saat ada razia masker.
Dari sisi love interest, Putri Marino kembali hadir dengan karakter yang kuat. Peran Marino sebagai Asia memperlihatkan kegigihannya seiring menutupi kondisinya yang sebetulnya sedang tidak baik-baik saja. Walaupun terbilang lebih tua dari Yunanda, keduanya bisa memperlihatkan chemistry yang cukup menarik untuk dinikmati.
Selain itu, dari sisi supporting cast, film ini diramaikan dengan karakter kuat lain nan berkesan. Misalnya seperti Diana, rekan Linda yang diperankan oleh Asri Welas, yang menghidupkan sisi komedi di film ini. Begitupula dari kehadiran kedua kakak Raja yang ‘keras,’ yang diperankan Widi Mulia dan Ersa Mayori. Atau juga kehadian Elly D. Luthan sebagai Nenek Nur yang jarang berdialog namun juga punya andil di dalam ceritanya.
Secara penyajian, kualitas “Cinta Pertama, Kedua & Ketiga” terbilang underrated. Kekuatan-kekuatan dialog dalam film ini terasa begitu natural, dengan pengemasan cerita yang amat mengalir. Walaupun banyak berisi dialog pendek, namun Noer amat jeli untuk mengemas banyak hal-hal yang relevan. Misalnya, tentang kehadiran anggota keluarga baru, masalah pengobatan orangtua sampai bagaimana terjadinya musibah di dalam hubungan kakak-beradik.
Secara keseluruhan, saya amat menikmati sajian ini. Walaupun bisa dikatakan, film ini memang tidak terlalu memiliki material yang amat komersil. Namun, sajian drama keluarga yang hadir disini amat layak untuk disaksikan bersama anggota keluarga. Sebuah penyajian cerita yang manis dan hangat akan cinta pertama, kedua, dan ketiga. Dan, semuanya berbicara tentang keluarga. Unexpected lovely!