Buat saya, Kamila Andini merupakan sosok sutradara muda dari negeri ini yang amat prestatif. Karya teranyarnya, “Before Now and Then” yang dirilis di Berlin Film Festival lalu menghadirkan kisah dari tanah Sunda. Bila anda perhatikan, Andini selalu mengangkat kisah-kisah dari Nusantara. Bila “Yuni” bercerita dari tanah Banten, “The Seen and Unseen” dari tanah Dewata, ataupun “The Mirror Never Lies” dari tanah Bajo.
Film ini memulai ceritanya dengan cukup sunyi. Kita akan langsung berhadapan dengan Ningsih, diperankan oleh Rieke Diah Pitaloka, sebagai seorang perempuan yang sedang memandu perempuan lainnya di hutan. Ternyata, Ia sedang berupaya melarikan diri bersama Nana, diperankan oleh Happy Salma. Nana yang tengah tercampur dengan kebingungan dan halusinasinya, membawa serta putranya yang masih bayi. Ketiganya ternyata sedang berupaya kabur. Bukan karena serangan penjajah, tapi lari dari gerombolan.
Singkat cerita, setting yang berawal di masa perjuangan ini berlompat ke masa transisi Orde Baru. Nana, kini tengah menjadi istri dari Pak Lurah yang bernama Darga, diperankan oleh Arswendy Bening Swara. Kehidupannya sebagai istri dari pejabat desa sudah terbilang nyaman. Punya asisten yang membantu, Ia juga mengelola kebun, serta mengurus suami dan ketiga anak-anaknya. Akan tetapi, pengalaman pahit dari masa perjuangan membawanya ke dalam kedamaian, sekaligus ketika hadirnya sosok Mak Ino, yang diperankan oleh Laura Basuki.
Kurang lebih, seperti itulah premis dari cerita “Before Now and Then.” Kisah ini merupakan adaptasi dari sebuah novel berjudul ‘Jais Darga Namaku,’ yang ditulis oleh Ahda Imran, mengenai kehidupan nyata seorang Raden Nana Sunani. Kisah ini kemudian diadaptasi oleh Andini, yang menjadikannya sebagai kisah kuat tentang perempuan, seperti film-filmnya terdahulu.
Berbicara dengan plotnya, film ini akan bergerak dengan lambat. Jadi, ini warning buat para penonton yang kurang menyukai drama lambat. Baiknya, secara penyajian, film ini mengingatkan saya dengan karya Wong-Kar Wai, lewat tone colour yang digunakan, serta arahan sinematografi dari Batara Goempar yang begitu impresif. Alhasil, “Before Now and Then” perlu saya catut sebagai salah satu film Indonesia dengan Sinematografi terbaik.
Saya menyukai bagaimana pemanfaatan kaca disini. Misalnya bagaimana kamera berupaya menangkap wajah Nana melalui gambaran kaca, yang menciptakan kesan artistik film ini. Ataupun ketika adegan Nana membawa payung, ini jadi salah satu favorit saya. Terlepas dari penceritaan yang penuh artistik, salah satu titik kelemahan film ini adalah kadang tidak mudah untuk membedakan mana yang sisi aktual dengan sisi mimpi buruk Nana.
Tak hanya itu, penyajian kisah dengan dialog yang penuh dengan dialek Sunda seraya membawa penonton untuk realis pada masa tersebut. Kesan kedaerahan yang begitu kuat menjadikan storytelling dari film ini terasa begitu nyata. Apalagi kesan dramatis ini ditambah dengan alunan musik dari Ricky Lionardi, yang dapat mengiris hati. Theme score dari film ini sedikit mengingatkan saya bagaimana Randy Newman mengemas alunan merdu nan sentimentil dari “The Marriage Story.”
Film ini juga menghadirkan beberapa lagu klasik Indonesia, misalnya seperti “Sabda Alam” karya Ismail Marzuki, “Di Wadjahmu Kulihat Bulan” dan “Di Sudut Bibirmu” yang dinyanyikan Sam Saimun. Lagu tradisional “Djaleuleudja” juga menjadi penambah, belum termasuk empat lagu kecapi suling di film ini.
Dari sisi produksi, Andini amat terampil untuk menghidupkan suasana 40-an dan 60-an. Walaupun tidak seambisius “Pengabdi Setan 2,” upaya minimalis tersebut terasa maksimal. Dengan mengandalkan set rumah kolonial klasik, dengan paduan kostum tradisional yang anggun, film ini benar-benar memanjakan mata saya. Apalagi ketika sentuhan seperti selingan permainan tradisional, ataupun adegan iringan musik kecapi suling di rumah yang membius pandangan saya.
Kalau bicara akting, tentu, “Before Now and Then” dihiasi ensemble cast yang memang kuat dari sisi karakter. Bukan abal-abal. Pujian saya sematkan pada Happy Salma, yang berhasil membius saya untuk terus terfokus pada gerak-geriknya, ekspresi yang penuh arti, yang terus memicu keingintahuan saya pada sosok Nana. Ini juga didukung dengan aksi Laura Basuki, yang hadir cukup misterius, dan terbilang prestatif akan penghargaannya sebagai Aktris Pendukung Terbaik di Berlin International Film Festival. Akan tetapi, karakter pendukung lainnya juga hadir dengan amat apik dan terasa luwes, walaupun menyajikan akting dengan berbahasa daerah.
Walaupun mungkin bukan menjadi tontonan yang dapat dinikmati berulang, “Before Now and Then” memberikan pengalaman kedaerahan yang begitu memanjakan. Semangat Nana yang berupaya untuk menjadi dirinya yang seutuhnya, berhasil disampaikan film ini dengan cukup gamblang, terlepas dari segala mimpi buruk dan halusinasi yang menghantuinya. Rasa excitement terus memenuhi emosi saya ketika menyaksikan film ini, karena cukup jarang saya jumpai film Nasional dengan kualitas setinggi ini.
Biarpun masih amat dini, saya amat berharap “Before Now and Then” dapat dipertimbangkan menjadi perwakilan Indonesia di kancah Academy Awards mendatang. Film ini memang bukan sebuah materi yang komersil, namun orisinalitas ke-Indonesia-annya amat hadir di film ini. Tentunya, judul ini juga terbilang pantas untuk masuk ke Criterion Collection. Saya pun akan terus penasaran. Setelah ini, Kamila Andini mau mengangkat cerita dari Tanah mana lagi di Bumi Ibu Pertiwi ini. So impressive!