Setelah ditunda beberapa tahun, akhirnya MD Pictures merilis “KKN di Desa Penari” yang telah banyak ditunggu-tunggu, tidak termasuk saya. Jujur, saya kurang mengikuti atau membaca thread kisahnya di Twitter. Jadi, tanpa banyak ekspektasi, ini review saya untuk versi uncut-nya.
Cerita film ini akan membawa penonton ke tahun 2009-an, ketika Ayu, diperankan oleh Aghniny Haque, mengunjungi sebuah desa di kota B******, sebagai langkah awal untuk meminta persetujuan kepala desa setempat, Pak Prabu, yang diperankan oleh Kiki Narendra. Awalnya, Pak Prabu tidak berkenan untuk kegiatan KKN ini, akan tetapi akhirnya luluh juga.
Apa yang menarik dari desa ini adalah keberadaannya. Untuk mengunjungi desa ini, kita harus memasuki hutan di tanah Jawa, yang kental dengan nuansa alam dan mistisnya (tentu). Setelah itu kita akan menemui gapura yang merupakan pintu masuk ke desa. Singkat cerita, Ayu kemudian membawa rombongan kawan-kawannya. Ada si cantik Widya (Adinda Thomas), si religius Nur (Tissa Biani), si ganteng Bima (Achmad Megantara), si kocak Wahyu (Fajar Nugra), dan si tukang ramein aja Anton (Calvin Jeremy).
Dengan kehadiran mereka disana, Ayu kemudian membagi tim ke dalam 3 proker (proyek kerja), yang punya tujuan untuk dapat mengembangkan desa. Dalam kegiatan pengabdian masyarakat tersebut, keenam mahasiswa ini kemudian berkenalan dengan penduduk setempat, yang tak lain dan tak bukan, makhluk halus.
Sosok utama dalam film ini adalah karakter Badarawuhi, diperankan oleh Aulia Sarah, yang merupakan pemimpin atau penguasa di desa tersebut. Sosoknya yang merupakan penari, seraya mengingatkan saya dengan monumen penari di Kabupaten Banyuwangi, ditambah dengan kostum yang serba hijau, yang selintas mengingatkan kita dengan penguasa pantai Jawa Selatan. Jujur, saya tidak tahu bila ada hubungannya, ini hanya cocoklogi pemikiran saya saja.
Secara penyajian, sutradara Awi Suryadi, berhasil membawa film horror Indonesia ke babak yang baru. Penyajian ini tidak kalah sebagaimana Joko Anwar sudah membius penonton lewat “Pengabdi Setan.” Disini, dengan alur yang mungkin sudah diketahui kebanyakan orang, tidak terlalu menawarkan scene kejut sana kejut sini yang memang ciri khas film horror ya. Tapi jujur, saya paling capek sama adegan gituan, udah pengalaman diteriakin sampe dicubit sama orang yang nonton disamping saya.
Back to the topic, versi yang saya tonton juga versi uncut, yang katanya versi sensor khusus dewasa. Sudah terngiang layaknya franchise “American Pie” versi uncut, ternyata, yah, masih beranian film Filipina. Buat yang nonton karena ingin menyaksikan adegan seks, jangan ngarep! Ini Indonesia, film-film belum ada yang se-ekplisit negara tetangga. Oh iya, karena tidak punya ekspektasi akan versi cut dan uncut ya ini juga bukan motif saya untuk nonton film ini.
Secara penyajian, film ini didukung dengan tata sinematografi yang berani. Banyak keindahan alam Indonesia yang ditangkap film ini. Apalagi ketika ada scene, yang berputar 180 derajat dibagian awal yang membuat saya sekejap ‘wow’ dalam hati. Dan ternyata benar, Tata Sinematography yang digawangi Angela Andreyanti Rikarastu dan Rahmat Syaiful ini menawarkan sesuatu yang belum pernah saya saksikan di film Indonesia ya.
Kalau dari cast, terbilang lumayan. Saya menikmati keenam mahasiswa yang diperankan cukup baik, terlebih pada karakter Wahyu, yang kadang tololnya bikin gemes. Tapi, yang paling mencuri perhatian adalah penampilan Badarawuhi yang diperankan oleh Aulia Sarah. Penampilan ini yang paling tak terlupakan. Selain dengan paras yang cantik, bisa menari, namun juga merupakan jin, Sarah bisa memerankan karakter horror yang mungkin akan jadi the next big thing-nya horrornya Indonesia.
Kelemahannya, saya menyaksikan film ini di teater yang sudah Dolby Stereo. Yang jadi masalah adalah di sound effect, mungkin, karena entah mengapa terasa begitu overpowering, padahal aspek lainnya sudah terasa nyaman untuk diikuti. Ya, memang sih film horor akan selalu mengandalkan sound, tapi menurut saya untuk film ini penyajian suaranya agak sedikit berlebihan. Bukannya membuat teater menjadi seram, tapi malah membuat telinga terasa annoying.
So? Saya amat impress dengan penyajian “KKN di Desa Penari,” sekaligus tertarik kalau bisa kesana. Film ini memberikan kita banyak pelajaran sebetulnya. Ini bukan spoiler ya, namun di Bumi ini kita tidak hidup sendiri. Ada banyak makhluk lain yang tidak terlihat, yang juga hidup bersama kita. Sehingga, disini pentingnya hidup berdampingan, tidak hanya untuk sesama manusia, tetapi juga sesama makhluk penghuni Bumi. Excellent!