Berangkat dari sebuah kisah tragis yang sempat fenomenal, “House of Gucci” menjadi artefak dari kehancuran dinasti salah satu icon fashion. Yah, memang sih nama brand Gucci masih hidup apalagi ketika Tom Ford menaungi desain brand tersebut. Akan tetapi, reka ulang kehancuran bisnis keluarga ini terbilang cukup diceritakan dengan dramatis oleh Ridley Scott.
Film ini terpusat pada kedua main character kita, yaitu Maurizio Gucci dan Patrizia Reggiani, kedua sosok yang diperankan amat apik oleh Adam Driver dan Lady Gaga. Pertemuan keduanya diawali di sebuah pesta, ketika Patrizia tidak sengaja menemukan seorang pria yang ceritanya salah kostum di meja bartender. Perkenalan singkat mereka kemudian berubah menjadi obsesi bagi Patrizia. Maurizio pun terpincut dengan sikap Patrizia yang sensual nan agresif. Di awal perjumpaan Ia dengan Ayah Maurizio, Rodolfo Gucci, yang diperankan oleh Jeremy Irons, ternyata tidak berjalan mulus. Rodolfo menganggap anaknya hanya terpikat pada seorang wanita matre yang tak punya background sebanding dengan mereka.
Tapi, namanya cinta, semua bisa buta. Buat Maurizio pada waktu itu: “I want to marry her. Not money.” Rodolfo kemudian memutuskan hubungan dan seluruh fasilitas untuk Maurizio. Putra tunggal ini lalu nekat menemui orangtua Patrizia dan mengatakan jika Ia yang kini tidak memiliki apa-apa, ingin menikahi Patrizia. Maurizio pun sempat bekerja untuk keluarga Patrizia dan berubah menjadi sepasang lovebirds hingga akhirnya melaksanakan pernikahan tanpa restu dari keluarga mempelai pria.
Pernikahan Maurizio dan Patrizia yang kemudian menjadi talk of the town, ternyata sampai di telinga Aldo Gucci, kakak tertua sekaligus pelaksana utama bisnis Gucci yang diperankan oleh Al Pacino. Ia jauh-jauh dari New York mendatangi Rodolfo, sekalian berupaya untuk menjalin hubungan lagi dengan keponakannya. Awalnya, berkat dukungan dan upaya yang dilakukan Patrizia, hubungan om-keponakan ini menjadi lebih akur. Aldo pun perlahan demi perlahan mulai berupaya untuk melakukan rekonsiliasi keluarga dengan memberikan posisi pada Maurizio.
Berhubung “House of Gucci” merupakan sebuah adaptasi dari kisah nyata, tentunya sudah tidak ada ekspektasi kejutan pada ending-nya. Kita pun menyadari bagaimana Maurizio Gucci harus tewas naas dibunuh oleh pembunuh bayaran yang dikirim oleh Patrizia. Kisahnya sendiri diambil dari buku karangan Sara Gay Forden yang terbit di tahun 2000 yang berjudul “The House of Gucci: A Sensational Story of Murder, Madness, Glamour and Greed.” Naskahnya kemudian dikemas oleh Becky Johnston, yang sebelumnya menulis “The Prince of Tides” dan ditemani oleh Roberto Bentivegna.
Dalam penyajian film ini, berhubung dikemas dari sudut pandang Amerika, film ini disajikan dengan dialog berbahasa Inggris, yang banyak dicampur dengan bahasa Italia, namun menggunakan lafal ala-ala Italia. Memang sih, banyak kritikus lain yang mengomentari bagaimana lafal pronounciation yang dihadirkan terbilang tidak konsisten. Hal ini juga saya rasakan ketika pada beberapa saat Anda akan menjumpai pengucapan kalimat yang terasa begitu American.
Salah satu yang saya sukai dari penceritaan film ini adalah bagaimana adegan-adegan dapat hidup dari beragam quote-quote yang berkesan. Terutama ketika diucapkan Patrizia yang merupakan people pleaser disini. Mulai dari ketika Ia mengucapkan: “Don’t focus on the process. Focus on the results,” ataupun saat Ia berucap “Father and the Son and the House of Gucci,” sampai di bagian akhir Ia menyebut “Signora Patrizia Gucci.” Lady Gaga tahu betul bagaimana menjadikan momen-momen tersebut menjadi monumental di film ini.
Dari sisi penyajian, ini merupakana sajian mahakarya sutradara legendaris Ridley Scott, yang terbilang lebih funk ketimbang “The Martian” ataupun “Gladiator.” Disini, penonton tidak akan diperhadapkan dengan detil-detil periode yang kadang membuat kita rumit. Sepanjang pengamatan saya, baru di menit 142, film ini baru menyertakan detil waktu. Sisanya, kita akan menikmati sejarah kehancuran keluarga dari rangkaian kisah dari beberapa dekade.
Film ini punya banyak set, banyak detil, yang menuntutnya untuk menghidupkan periode-periode dari setiap jaman yang berbeda. Perubahan ini mungkin tidak akan terasa terlalu kontras dikarenakan penggunaan tone yang dirasa kadang sama, akan tetapi tidak serta merta menjadikannya untuk terlihat lebih modern. Saya amat menikmati suguhan-suguhan signature Gucci yang monumental, ataupun ketika ingin memperlihatkan kemegahan brand ini. Setting yang banyak terfokus di antara Italia dan New York akan membawa penonton ke dalam setiap perjalanan kehidupan Maurizio dan Patrizia yang terbilang glamor, elegan, dan sikut menyikut.
“House of Gucci” yang berdurasi dua setengah jam ini ternyata tidak membosankan saya. Saya memang agak sedikit heran dengan beberapa film keluaran MGM di tahun ini seperti “No Time to Die” yang juga bermain dengan durasi panjang. Seperti yang telah saya jelaskan, transisi antar periode yang terasa cukup smooth ini membuat kita tidak akan menyadari jika cerita ini merupakan sebuah rangkaian tahunan.
Dari segi penampilan, saya harus memuji Lady Gaga dan Jared Leto. Gaga sedari awal telah mencuri perhatian saya, dan saya amat menikmati bagaimana transformasi Patrizia yang berawal agresif, namun berubah jadi monster. Ngomongin sedikit ceritanya, andai Saya berada pada posisi Patrizia, mungkin saja hal yang sama bisa terjadi. Siapa sih yang engga kecewa kalo pasangan kita diambil pelakor or pebinor? Coba pikir. Film ini terasa tidak menyudutkan akan keganasan The Black Widow tetapi membuat kita melihat dari perspektifnya.
Secara tampilan, “House of Gucci” secara eksplisit akan mengamankan Lady Gaga untuk sebuah nominasi Academy Awards untuk Best Actress in Leading Role. Ga percaya? Taruhan sama saya. Konsistensi Gaga dalam beberapa tahun terakhir telah membuktikan bahwa seorang Stefani Germanotta tak hanya mampu bernyanyi, mengarang lagu, namun juga berakting. She’s our Barbra Streisand from the 2010s! Di film ini Gaga tampil dengan amat total. Kita akan menyaksikan bagaimana Ia sebagai antagonis tampil begitu R-rated melalui adegan quicky sex dengan Adam Driver yang lumayan memancing di awal, sampai dengan beragam adegan dimana Ia berani untuk tampil tanpa busana secara on-screen. She’s gorgeously stunning!
Di sisi lain, tanpa melangkahi Adam Driver, namun Jared Leto berhasil membuat Saya terpana. Saya baru menyadari bila Ia memerankan sosok Paolo Gucci pada pertengahan film. Perubahan tampilan yang begitu drastis tidak akan membuat kita mengenali jika Paolo diperankan oleh Leto. So amazing! I felt speechless, two big thumbs up for the makeup effects! Paolo Gucci yang digambarkan idiot nan ambisius ini diperankan Leto dengan amat baik. Selain Leto, ini adalah kesekian kalinya saya menyaksikan Al Pacino berakting ala Italian. Ya, untuk aktor sekelas Al Pacino maupun Jeremy Irons tentu sudah jadi jaminan bahwa film ini memang dikemas dengan cukup ambisius.
Baiknya, pemilihan musik-musik di film terbilang menarik. Salah satu yang saya sukai ketika lagu George Michael yang berjudul “Faith” menjadi background song pada momen pernikahan Patrizia-Maurizio. Begitu pula ketika lagu “Sono Bugiarda (I’m A Believer) dari Caterina Caselli yang mewarnai bagian awal film. Ini belum belasan lagu hits lain dari Donna Summer, Andy Williams, Walter Murphy sampai David Bowie yang meramaikan film ini. Menariknya, walaupun film ini menghadirkan Lady Gaga ataupun Jared Leto yang juga merupakan penyanyi, talenta keduanya tidak dimanfaatkan oleh film ini. Menarique…
Di sudut yang lain, saya juga menyukai bagaimana pandangan yang diperlihatkan Maurizio mengenai Gucci. Berikut kutipan yang saya catat: “Gucci is like that cake. Once you think there’s enough to go around then you’ll have a taste, and then you’ll want more, and then you’ll wait the whole thing from yourself.” Menariknya, seiring berjalannya cerita, Maurizio seakan termakan omongannya sendiri.
“House of Gucci” terbilang sebagai salah satu contender kuat di awards season tahun ini. Film ini sebetulnya sedikit mengingatkan saya dengan karya Martin Scorsese dari beberapa tahun terakhir yang berjudul “The Irishman.” Akan tetapi, “House of Gucci” masih terbilang sebagai crime drama biography yang mungkin lebih bisa dinikmati ketimbang film Scorsese itu. Walaupun dihadirkan dengan upaya detil, sebagai penonton kita hanya perlu menikmati penyajian tersebut dengan konflik keluarga yang cukup brutal. Sampai akhirnya, kita menyadari, jikalau tak ada satu pun dari mereka yang menjadi pemenang.
Secara keseluruhan, “House of Gucci” berhasil memainkan ekspektasi Saya yang sebetulnya tidak terlalu tinggi. Ridley Scott tahu betul bagaimana membuat penontonnya untuk tidak terasa bosan dan tetap menikmati drama keluarga puluhan tahun yang dikemas padat. Masih terlalu dini, namun film ini amat unggul dan telah mencuri perhatian saya untuk kategori: Best Picture, Best Director, Best Actress in a Leading Role, Best Actor in Supporting Role, Best Makeup and Hairstyling, Best Costumer Design, Best Art Production, Best Cinematography, Best Ensemble sampai Best Adapted Screenplay. Yah, salah satu contender yang tidak boleh dianggap remeh.
Terakhir, “House of Gucci” kembali menyadarkan kita akan sifat manusiawi kita yang tak akan pernah puas. Keserakahan ternyata berhasil menghancurkan dinasti keluarga yang telah dijaga beberapa dekade. Cukup dengan satu pemantik seperti Patrizia, yang menjadi man behind the scenes untuk mengendalikan Maurizio yang sebetulnya bukanlah seorang pebisnis yang ulung. Alhasil, terjadinya persaingan internal dan warisan peninggalan keluarga tidak mampu dipertahankan oleh generasi ketiga.