Tiba-tiba saya teringat dengan lirik kartun lawas, ‘Hachi anak yang sebatang kara, pergi mencari ibunya.’ Ternyata gak cuma Hachi yang kehilangan Ibu. Ali juga. Tidak terasa sudah memasuki pertengahan tahun 2021, dan ini merupakan ‘santapan’ pertama film lokal saya. “Ali & Ratu Ratu Queens” membawa sebuah cerita yang sepintas engga rumit, tapi yang kalo udah bawa hati bakal memancing ego.
Film ini diawali dengan keputusan Mia, diperankan oleh Marissa Anita, yang memutuskan untuk mengejar mimpinya di New York. Ia rela meninggalkan suami dan putra tunggalnya, Ali. Kepergian yang awalnya tampak baik-baik saja, mulai jadi meruncing semenjak Mia sudah mulai terlalu nyaman disana. Belasan tahun berlalu, Mia tak pulang jua. Rumah yang tadinya berdua, kini tinggal Ali sendiri. Ali, yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan, baru saja ditinggalkan sang Ayah yang meninggal karena sakit. Disaat Ia membersihkan rumahnya, Ia baru mengetahui bila selama ini Sang Ibu telah mengiriminya surat dan tiket untuk menyusulnya.
Ia pun berupaya nekat untuk mencari Ibunya. Rumah yang ditinggalinya kini kosong, dan sudah Ia sewakan. Kini, Ia hidup bersama Suci, bude-nya yang diperankan oleh Cut Mini. Ketika Ia mengutarakan keinginannya untuk bertemu sang Ibu, ternyata tidak begitu mulus. Pihak keluarganya yang berupaya khawatir dengan Ali tidak mengijinkan untuk pergi, apalagi mencari sang Ibu yang keberadaannya entah dimana. Tapi, namanya rasa kangen bertahun-tahun tak bisa dikalahkan. Ali pun pergi ke New York.
Sesampai disana, sambil menenteng tas gunung dan sebuah kardus berisi kering-keringan dari bude, Ali langsung mengunjungi alamat yang Ia temukan di surat. Disana, Ia bertemu dengan sekelompok geng perempuan yang menamakan diri ‘Ratu-Ratu Queens.’ Ada Parti, Bhiyah, Ance, dan Chinta. Keempat perempuan dengan karakter khas ini kemudian menerima Ali ketika Parti menyadari jika Mia sempat menjadi roommate-nya dulu. Dari sinilah, perjalanan Ali mencari sang Ibu dimulai.
“Ali & Ratu Ratu Queens” adalah kisal orisinil yang ternyata punya pengemasan yang tidak terduga. Penulis Ginatri S. Noer untuk kesekian kalinya menyajikan cerita bertema keluarga yang berbobot. Saya menyukai bagaimana terutama penggambaran pada keempat sosok ‘tante’ yang baik hati yang merupakan kunci keseruan ceritanya. Mulai dari sosok Party yang rajin dan baik hati, Ance yang merupakan single mom yang amat protektif, Chinta yang serba ala cakra, sampai si bonek Bhiyah yang kerjanya selalu ada-ada saja. Keempat ragam ini dikombinasikan dengan Ali, yang merepresentasikan gaya anak masa kini.
Akan tetapi, terlepas dari penggambaran karakter yang matang, cerita yang digarap Ginatri terasa seperti di dunia dongeng. Walau dari segi cerita tampak challenging, cerita ini seperti ga punya segi klimaks yang berarti. Dalam arti, ketika permasalahan utama ada mencari Ibu, ternyata film ini menggambarkannya sebagai perjalanan yang tidak semudah yang kita bayangkan: seems to be smooth and easy. Begitupun ketika niat Ali meninggalkan Indonesia, cuma segitu aja perlawanan dari pihak keluarga dalam menentangnya. Saya hanya iseng membayangkan bisa dibuat dalam versi Barat, pasti akan ada 1 tante yang bertindak jadi antagonis disini.. Hehe..
Baiknya, Sutradara Lucky Kuswandi mampu dengan apik untuk tidak terlalu menjual kota yang menjadi setting film ini. Penampakan kota New York di layar perak sudah tidak menjadi sebuah asing. Ada banyak beberapa adegan di film ini yang mengingatkan saya dengan scene-scene film lainnya. Misalnya saja ketika setting di restoran India tempat para karakter merayakan ulang tahun Ali, jika perhatikan seksama saya teringat dengan lampu hiasan warna-warni dari film terbaik Oscar, “Birdman.” Ataupun juga dengan setting perumahan di kota Brooklyn yang sudah amat sering dijumpai, misalnya di “Last Five Years” ataupun setting ketika Ali tiba yang langsung mengingatkan saya dengan setting music video Big Bang “Bad Boy.”
Diluar dari itu semua, ensemble cast film ini terlalu menawan. Iqbaal membuktikan dia tidak hanya sebatas jago dengan rayuan gombalnya dalam franchise “Dilan,” tetapi memperlihatkan kalau dia bisa berakting. Apalagi ketika dia harus berhadapan dengan Marissa Anita, yang penampilannya amat saya sukai semenjak “Istirahatlah Kata-Kata.” Tapi, ada yang sebetulnya amat saya sayangkan sih. Ketika sosok Ibu dan anak ini bertemu, masing-masing mampu untuk menghidupkan setiap dialog mereka, lewat kemarahan, kekesalan, dan lainnya. Cuma, chemistry keduanya sebagai Ibu-Anak sama sekali engga terasa. Ini yang amat saya sayangkan sih. Alhasil, adegan yang jadi puncak klimaks film ini akan berhasil membuat kita bersedih, tapi rasa ‘nyawa’ keduanya seakan tidak bertemu.
Honorable mention buat keempat tante. Aktris-aktris yang kini aktris senior ini bisa jadi empat mama baru buat Ali yang luar biasa. Keempatnya yang saling mendukung, kompak menjadi energi positif di dalam cerita ini. Tiba-tiba saya terpikir, mungkin akan seru kali ya bila ‘Ratu-ratu Queens’ punya serial sendiri ketika menceritakan restoran mereka. Dari keempatnya, yang paling saya sukai adalah penampilan Nirina sebagai Party dan Asri Welas sebagai Biyah. Nirina jadi sosok tante yang paling sedunia, sedangkan Biyah kebalikannya. Cuma, saya amat menikmati bumbu-bumbu komedi dari Welas, terutama ketika Ia harus beradegan dengan para bule.
Film produksi Palari Films yang kemudian didistribusikan oleh Netflix sebagai original films mereka ini menawarkan cerita yang tidak terbayangkan buat saya. Originalitas cerita yang segar, dengan penyajian yang membuat Anda bak menyaksikan film Korea. Anda akan tertawa, kemudian menangis, senang, dan berakhir dengan happy ending. Bedanya mungkin disini para pemainnya tidak dikemas bak cantik dan ganteng super glowing. Dengan berdurasi 100 menit, “Ali & Ratu Ratu Queens” patut jadi rekomendasi tontonan di akhir minggu yang akan memberikan kesan feel good.