Film Thailand selalu memberikan sesuatu yang cukup segar, maupun dengan aksi-aksi film horrornya. Di saat perilisannya, “The Love of Siam” menawarkan sebuah cerita dengan tema drama romance yang terbilang berbeda. Film ini akan menyoroti tentang kisah cinta yang tumbuh dari sebuah persahabatan antara Tong dan Mew.
Tong dan Mew, yang diperankan oleh Mario Maurer dan Witwisit Wiranyawongkul, menjadi sepasang sahabat ketika Tong berhasil membantu Mew dari beberapa siswa yang menganggunya. Sejak menolong Mew, lama kelamaan mereka berdua menjadi sepasang sahabat. Sebetulnya, mereka berdua itu adalah tetangga yang hanya tinggal bersebelahan. Tong hidup bersama kedua orangtua dan seorang kakak perempuan yang bernama Tang, sedangkan Mew hanya tinggal berdua dengan nenek yang sangat disayanginya.
Konflik berawal dari hilangnya Tang, yang diperankan oleh Chermarn Boonyasak, yang melakukan liburan bersama teman-temannya. Ia tersesat di sebuah gunung di Chiangmai, dan belum ditemukan. Hal ini membuat adanya sebuah gejolak kehancuran dalam keluarga Tong. Tidak lama kemudian, keluarga Tong memutuskan untuk pindah. Tong akhirnya harus meninggalkan sahabatnya itu.
Lima tahun kemudian, Tong telah menjadi seorang anak tunggal. Supaya tidak kehilangan anaknya lagi, Ibu Tong menjadi overprotective dengan selalu mengantar jemput Tong setiap hari. Sedangkan Ayah Tonghanya sibuk mabuk minuman keras atas rasa bersalah kehilangan Tang. Di sisi lain, Mew telah hidup sendiri setelah ditinggal sang nenek. Ia memiliki sebuah band yang bernama August Band dan menjadi vokalis utama disana. Reuni antara keduanya timbul ketika Tong sedang berupaya untuk membeli sebuah album August Band. Keduanya dipertemukan kembali dan persahabatan itu muncul lagi.
Masing-masing dari mereka juga punya status saat itu. Waktu itu, Tong sudah memiliki seorang pacar yang bernama Donut, seorang perempuan yang amat cantik. Entah kenapa, Tong merasa tidak mencintai Donut. Sedangkan Mew ternyata memiliki seorang pemuja rahasia bernama Ying, seorang perempuan yang kini tinggal di rumah yang pernah ditinggali Tong. Ying menyukai Mew sejak kecil. Ia tidak peduli dengan keadaan Mew yang sering dijuluki sebagai banci.
Kedekatan keduanya membuat Tong berkenalan dengan June, asisten yang mengurus August Band. Ia memperhatikan bila June memiliki rupa yang mirip dengan kakaknya yang hilang. June lalu diperkenalkan pada Ibu Tong demi memulihkan keadaan sang Ayah yang kian berat. Singkat cerita, masalah dimulai ketika Ibu Tong yang diam-diam melihat putranya yang sedang mencium Mew. Sang Ibu yang baik-baik saja malah ikut tertimpa tangga, Ia menjadi depresi dengan keadaan yang semakin mengkhawatirkan. Darisinilah drama percintaan dan keluarga Tong menjadi semakin keruh.
Kalau dari adegannya sendiri, bagian terfavorit saya adalah ketika saat Tong dan Ibunya yang sedang memasang aksesoris pohon Natal. Disana, terjadi percakapan hati ke hati, lewat keberanian Tong serta kelapangan dada sang Ibu. Sungguh luar biasa.
Film ini memberikan sebuah ending yang cukup menyentuh. Apalagi dengan kata penutup dari film ini, “To all the loves that bring us to life.” Film ini memberikan sebuah pandangan tentang arti cinta yang sebenarnya. Cinta tidak harus dilihat melalui keinginan untuk memiliki seseorang, namun dapat dilakukan walaupun hanya menyayanginya.
Intinya: Cinta tak harus memiliki. Karakter Tong berhasil merepresentasikan makna tersebut. Terutama ketika Ia mengatakan, “I can’t be with you as your boyfriend. But that doesn’t mean that I don’t love you, Mew.” Memang sih, Mew dan Tong tidak pernah menjadi sepasang kekasih seperti penggambaran fim ini, karena mereka merasa sebagai sepasang sahabat. Begitupula dengan cerita Ibu Tong, yang selalu depresi dengan cobaan yang terus menimpa keluarganya. Akan tetapi, sebuah kalimat dari June menyadarkannya, “Life always give us opportunities to start over, after we learn from our mistakes. I hope you take the opportunities you have left and take good care of one another.”
Film yang cukup kontroversial ini akan mencampur aduk perasaan penonton. Saya menikmati film ini dengan baik, dan tidak merasa bosan selama kurang lebih dua setengah jam. Durasi yang cukup panjang ini menghadirkan kisah yang cukup kompleks, yang disertai masalah masing-masing dari berbagai karakter didalamnya. Chukiat Sakveerakul, sebagai sutradara, penulis naskah, sekaligus komposer dalam film ini, memberikan suatu nuansa yang cukup berbeda untuk film Thailand waktu itu. Tidak heran, film ini kemudian menjadi Official Selection Thailand for Best Foreign Language dalam ajang Academy Awards.
“The Love of Siam” memang bukanlah sebuah kisah cinta yang dramatis. Film ini hanyalah sebuah kejadian sehari-hari yang biasanya sering terjadi di realita kita. Sebetulnya ini adalah sebuah film yang kelihatan biasa, namun ternyata mengandung arti yang cukup mendalam. Ada satu kutipan menarik dari film ini, “As long as you love, you still have hope.” Mungkin kita akan cukup penasaran dengan ending yang akan dimiliki Ying, apakah Ia akan tetap dengan harapannya untuk mendapatkan Mew. Paling tidak, film ini memberi pandangan tentang arti kalau cinta itu tidak harus untuk memiliki, tetapi cukup dengan memiliki kasih untuk menyayangi siapapun yang kita cintai.