Bicara kenakalan remaja, tentu ga akan ada habisnya. Setiap generasi memiliki gaya kenakalannya sendiri, yang sekaligus mempengaruhi bagaimana orang di masa modern ini bersikap. Kalau ngomongin ‘kehamilan remaja’ mungkin udah bukan sesuatu yang tidak biasa. Ingat saja bagaimana “Juno” ataupun “Dua Garis Biru” yang menjelma jadi tontonan edukatif. Untuk yang satu ini, “Never Rarely Sometimes Always” akan membawa kita ke sisi yang berbeda.
Film ini bercerita tentang Autumn, diperankan oleh Sidney Flanigan, yang memulai ceritanya dengan kisah pentas seni sekolahnya. Dari situasi makan malam keluarga setelahnya, kita akan menyadari bila Ia tidak berada dalam keluarga yang terbilang harmonis, ataupun yang abuse. Autumn yang sepertinya tidak cocok dengan sang Ayah, kemudian mendatangi suatu klinik untuk memeriksa kondisinya. Alhasil, Ia menyadari bila Ia telah positif dan mengandung 10 bulan.
Siapa yang menghamilinya? Sutradara dan Penulis Eliza Hittman tidak akan pernah membeberkan rahasia tersebut. Yang pasti, Autumn kemudian memutuskan untuk melakukan aborsi pada janin kecil yang dikandungnya. Autumn dengan jiwa independennya memutuskan untuk pergi ke New York, menyambangi sebuah klinik sosial yang mampu memenuhi keinginannya. Baiknya, muncul sosok si manis baik hati, yang juga sepupunya, Skylar, yang diperankan oleh Talia Ryder, yang menemani Autumn ke New York. Film ini akan menceritakan bagaimana keduanya mengarungi Kota New York selagi Autumn menjalani proses penggugurannya.
Secara alur kisah, it’s a hard to watch. Film ini tidak memberikan kesan emosional seperti “Dua Garis Biru” yang memasukkan unsur dominan orangtua. “Never Rarely Sometimes Always” hadir dengan kesan finding self-journey seorang Autumn, yang masih di bawah umur, namun mencoba untuk menentukan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang tua. Autumn yang terlihat masih labil dan juga pemberontak, hadir dengan karakter pendiam yang secara sekilas tidak akan memberikan gambaran spesial yang memikat. Autumn hanya hadir dengan wajah penuh luka, yang tidak terlihat.
Sejujurnya, saya bukanlah seseorang yang pro dengan aborsi. Tapi, yang cukup diacungi jempol adalah bagaimana sutradara Eliza Hittman mengemas film ini. Sangat tidak mudah untuk dinikmati, apalagi karena saya sudah cukup kesal dengan kebulatan hati Autumn. Akan tetapi, secara prosesnya, Hittman akan cukup detil memberikan gambaran bagaimana sih sebetulnya journey seorang Ibu yang akan menggugurkan janinnya secara legal di Amerika.
Dari karakterisasi, walaupun karakter utama tidak berhasil membuat saya simpati karena posisi saya yang kontra dengan aborsi, namun Sidney Flanigan terasa cukup menghadirkan kualitas akting yang menarik. Bagian yang cukup membuat saya sedikit ngilu adalah ketika Flanigan mencolokkan peniti ke hidungnya, ataupun memukul-mukul kandungan di dalam perutnya. Untungnya, dikombinasikan dengan kehadiran Skylar membuat film ini bisa sedikit terangkat. Sosok Skylar yang jadi rekan penjaga sepanjang perjalanan, adalah sosok yang sedikit tidak disangka. Ia membelakan dirinya ikut pergi, mendukung Autumn, walaupun kadang hanya terasa sebelah pihak saja. Mungkin tanpa kehadiran Skylar di ceritanya, menikmati cerita Autumn bisa membuat saya berkata cukup di tengah film tanpa melanjutkannya.
Secara penggarapan, film ini berhasil dikemas dramatis, walaupun sekali lagi, bukanlah film untuk semua. Cerita “Never Rarely Sometimes Always” sebetulnya tidak memberikan faedah, namun memberitahu kita bagaimana sih proses yang tidak mengenakkan itu. Film ini terbilang berhasil di Sundance ataupun di Berlin setelah meraih Silver Bear. Untuk awards season kali ini, saya merasa film ini akan terbilang aman untuk beberapa kategori seperti Best Original Screenplay, Best Actress in Leading Role, dan Best Directing. “Never Rarely Sometimes Always” was somewhat depressing and hardly to watch for me. Don’t lose your baby, please.