Genre perang adalah salah satu genre yang cukup jarang saya tonton. Di akhir tahun 2019, Sam Mendes menghadirkan “1917,” sebuah kisah patriotik dari kejadian Perang Dunia pertama. Walaupun dirilis secara luas semenjak 10 January 2020, film ini sudah berhasil mencuri posisi film terbaik dalam ajang Golden Globes dan juga Producer Guild Awards. Sebuah langkah meyakinkan untuk meneruskan daftar film terbaik setelah “The Green Book.”
Cerita di film ini akan terfokus pada Lance Corporal Schofield dan Lance Corporal Black, yang diperankan oleh George MacKay dan Dean-Charles Chapman, untuk membawa pesan ke garda terdepan di medan perang. Posisi mereka yang berada di resimen delapan menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk bisa menembus lini depan yang juga dikuasai oleh musuh. Dengan jaminan lencana dari Jenderal Erinmore, yang diperankan oleh Colin Firth, perjalanan keduanya juga berarti. Tidak hanya sekedar jadi the messenger, tetapi juga penyelamat bagi 1,600 jiwa yang tergabung di resimen Devonshire.
Sialnya, Schofield mungkin tidak seberuntung Blake yang akan bertemu sekaligus menyelamatkan saudaranya yang ada di garis depan. Untuk menuju kesana, mereka harus melewati No Man’s Land terlebih dahulu, lokasi dimana kedua belah pihak bersaing. Belum lagi harus menemukan kota Ecoust-Saint-Mein yang sudah porak poranda karena menjadi target pengeboman. Misi penting dengan potensi keberhasilan yang cukup kecil serta ancaman nyawa mereka.
Sam Mendes finally is back! Setelah menyutradarai 2 film James Bond dan tidak kembali dalam kurun 4 tahun, sutradara yang memulai debut lewat “American Beauty” dan berhasil memenangkan film terbaik di Academy Awards ini datang dengan karya yang sangat meyakinkan. Kenapa? “1917” menghadirkan sebuah pengalaman menonton yang menarik, lewat gaya penceritaan yang tidak putus dengan fokus utama pada sosok Schofield. Film ini mengingatkan saya dengan Hitchcock yang sudah memulai lewat “Rope” ataupun baru-baru ini Iñárritu dengan “Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance)” yang berhasil menjadi jawara di Oscar ataupun Golden Globes. Mendes membawa penonton dalam perjalanan 2 hari ke dalam 2 jam yang seakan terasa begitu singkat dengan pengaturan editing yang cukup tricky.
Dalam “Birdman,” Iñárritu menggunakan pengarahan dari satu karakter ke karakter yang lain untuk menyambung-nyambungkan adegan sehingga menjadi satu long take. Disini, Mendes menggunakan aspek permainan kamera lewat unsur gelap ataupun objek seperti pohon untuk menghentikan long takenya. Walaupun perlu disadari “1917” yang hanya terfokus pada satu karakter tetap berusaha untuk memperlihatkan penonton secara smooth, yang sayangnya tetap terlihat ketika sudut kamera yang tiba-tiba berubah di dalam sebuah frame ketika diberi selingan objek. Alhasil, penonton benar-benar dibawa ke dalam sebuah pengalaman menonton yang cukup menarik.
Dari jajaran pemeran utamanya, saya cukup tidak menyangka dengan penampilan George MacKay yang terbilang kurang mendapat perhatian di awards season tahun ini. MacKay, yang sebelumnya berhasil mencuri perhatian saya semenjak “Pride” ataupun “Captain Fantastic” tampil lebih mengesankan dari film sebelumnya dan cukup sedikit mengingatkan saya dengan cara survive ala Leonardo DiCaprio dalam “The Revenant.” Seharusnya, MacKay masuk dalam jajaran aktor yang patut mendapat perhatian dalam tahun-tahun mendatang.
Dari ensemble yang dihadirkan, walaupun dengan durasi tampil yang lebih sedikit, yang secara rata-rata hanya muncul dalam 1 scene saja termasuk cukup oke. Ada kehadiran Colin Firth sebagai Jenderal Erinmore di bagian awal, Richard Madden sebagai Letnan Joseph Blake di pertengahan, sampai sosok Kolonel MacKenzie yang diperankan Benedict Cumberbatch di bagian akhir film.
Secara teknis, “1917” terasa begitu unggul hampir di segala aspek. Mulai dari penyutradaraan, naskah, sinematografi, set production, makeup dan hairstyling, costume design, score, visual efek dan suara. Dari sisi sinematografi, penonton akan menikmati permainan kamera dibawah arahan legenda Roger Deakins, yang terus menelurusi cerita dari segala arah. Saya terpesona dengan cara Deakings memainkan pengambilan gambar yang tidak hanya melulu maju atau menyamping, tetapi juga banyak pengambilan arah berputar yang seakan menghilangkan set sebelumnya.
Dari sisi set produksi, saya takjub dengan bagaimana kekuatan detil dan presisi dalam pembuatan set, terutama penyajian kota Ecoust dengan puing-puingnya, ataupun medan perang yang diramaikan oleh mayat-mayat sampai parit-parit buatan yang sangat panjang, lengkap dengan bunker Jerman yang begitu luas. Saking begitu presisinya, saya salut bagaimana adegan ledakan-ledakan di film ini dikemas sekian rupa sehingga berhasil ditangkap kamera dengan jeda waktu yang pas.
Dari sisi makeup, yang unggul dalam pandangan saya adalah ketika di dalam satu adegan yang sama, salah satu karakter diperlihatkan mengalami perubahan kondisi yang sedari normal menjadi kritis hingga tak bernyawa. Kalau dari costume design, saya suka dengan rancangan kostum tentara Amerika WWI ala Jacqueline Durran yang cukup serupa dengan versi aslinya. Kalau urusan musik, score dari Thomas Newman hadir non-stop sepanjang film dan lumayan memegang kendali untuk urusan menghidupkan emosi. Yang paling saya sukai disini mungkin adalah track pembuka “Up Down the Trench” dan track penutup film ini “Come Back to Us.”
Overall, “1917” patut disebut sebagai primadona teknis dari film-film di tahun 2019. Pengalaman menonton yang ditawarkan film ini cukup berhasil membuat saya yang kerapkali kurang terlalu antusias dengan film-film perang biasanya (kecuali “Schindler’s List”) bisa terfokus hingga akhir, dan menikmati penampilan George MacKay yang terasa begitu singkat dari checkpoint satu ke checkpoint yang lain. Ya, menganalogikan film ini seperti layaknya bermain game adventure perang yang minim cerita, yang menawarkan aksi survival dengan misi penyelamatan khalayak banyak. Excellent!