Mendengar lagu “Over the Rainbow,” cukup mengasosiasikan sosok Judy Garland di dalam ingatan saya. Usianya yang masih 17 tahun kala itu, mampu memikat banyak penonton dalam kisah Dorothy Gale di “The Wizard of Oz.” Akan tetapi, di balik keberhasilan film tersebut yang masih dikenang hingga kini, siapa yang tak menyangka cerita di balik layar. Melalui “Judy,” penonton akan dibawa ke dalam kehidupan tahun terakhir Judy Garland, termasuk trauma dari kehidupan di masa mudanya.
Sudah menjadi artis sejak berusia 2 tahun, Judy muda, yang diperankan oleh Darci Shaw, sudah mengalami tekanan sejak dini. Ia wajib mengikuti berbagai macam aturan yang telah diatur oleh publicist, di bawah kendali Warner Bros., studio tempat Ia bernaung. Tidak boleh makan enak, selalu kurang tidur dan dipaksa meminum amphetamine, hanyalah sebagian saja. Ini belum termasuk dengan intimidasi dari mogul studio, Louis B. Mayer, yang diperankan oleh Richard Cordery, yang sangat memegang peranan penting pada karir seorang Judy.
Kita kemudian maju ke tahun 1969, saat Judy Garland senior, yang diperankan oleh Renée Zellweger, memasuki masa-masa krisisnya. Kehidupannya yang dililit dengan hutang, membuatnya Ia kehilangan tempat tinggal demi kedua buah hatinya. Ketiadaan pilihan membawanya untuk menitipkan putra-putrinya di rumah mantan suaminya, Sidney Luft, yang diperankan oleh Rufus Sewell. Ini belum ditambah dengan perebutan hak asuh dari Luft. Kondisi yang merumit ini memutuskan Judy untuk ‘terpaksa’ menerima tawaran manggung oleh Bernard Delfont, diperankan oleh Michael Gambon, di Inggris. Kehidupan dalam bulan-bulan terakhir inilah yang akan diceritakan di film ini.
Cerita film ini diadaptasi Tom Edge dari produksi teater “End of the Rainbow” karya Peter Quilter. Alur cerita yang maju mundur akan memperlihatkan penonton bagaimana masa muda Garland sangat berpengaruh dalam bagaimana Ia bertindak. Secara penceritaan, film ini baiknya tidak terlalu menghadirkan banyak karakter, seperti apa yang kita saksikan dalam biopic seperti “The Irishman.” Saya cukup menikmati dengan alur cerita yang cukup membuat kita penasaran dengan kehidupan Galrand, yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang kurang inspiring.
Dari penyajian, sebetulnya tidak ada yang terlalu special. Padahal untuk sebuah musikal, sebetulnya ada banyak potensi dari film ini, setidaknya dengan apa yang sudah dicoba oleh “Bohemian Rhapsody.” Sayang sekali, sutradara Rupert Goold seperti terlalu terfokus pada cerita yang membuat kita kehilangan respect pada sang legenda.
Baiknya, Judy yang merupakan ‘the one and only’ akan terbilang sulit untuk diduplikasi siapapun, termasuk Zellweger. Menyadari kondisi ini, Zellweger tidak terbilang meniru plek-plek pada karakter ataupun cara menyanyi Garland. Hasilnya: Garland rasa Zellweger. Setidaknya, kita patut mengapresiasi untuk usahanya yang luar biasa untuk biopik yang nantinya mungkin mudah terlupakan.
Akhir kata, “Judy” gagal menonjol dari apa yang saya harapkan. Walaupun berhasil untuk me-refresh kembali hits-hits Garland di telinga kita, seperti “Get Happy,” “Come Rain or Come Shine,” sampai “Over the Rainbow,” film ini kurang berhasil untuk membuat kita mau menyaksikannya kembali, seperti musikal-musikal everlasting lainnya. Tragedi yang diangkat di film ini sayangnya berhasil membuat film ini juga jadi sebagai sebuah tragedi. So disappointed.