Berangkat dari sebuah kisah luar biasa, “Ford v Ferrari” patut jadi salah satu sorotan di awards season tahun ini. Film ini akan membawa penonton untuk menyaksikan behind the scene salah satu momen kebanggaan dalam sejalah balap otomotif Amerika.
Kita akan diajak kembali ke tahun 60-an, ketika Ford Motor Company, yang kala itu berada dalam pimpinan Henry Ford II, diperankan oleh Tracy Letts, yang kala itu sedang mengalami kelesuan. Sebagai salah satu produsen otomotif termasif, Ford mencari beragam cara demi mempertahankan eksistensi perusahaan dari kebangkrutan. Salah satunya, Ia menugaskan seluruh karyawan pabriknya untuk berpikir dan menghasilkan sebuah ide. Barangsiapa yang tidak berhasil, dipaksa untuk tidak meneruskan pekerjaannya.
Darisanalah penonton akan bertemu dengan Lee Iacocca, Vice President Ford yang diperankan Joe Bernthal, yang ditantang untuk menghentikan tren penurunan penjualan. Ia kemudian mengusulkan sebuah ide, yaitu menghidupkan kembali brand Ford lewat persaingan balap. Baginya, yang diingat orang bukanlah siapa yang paling banyak memproduksi mobil, akan tetapi adalah siapa yang paling hebat membuat mobil. Lantas, Ford pun kemudian mempersilahkan eksekutif muda ini untuk me-lobby Enzo Ferrari yang kala itu sedang berada di ujung tanduk.
Bersama timnya, Iacocca bertemu dengan Ferrari di kediamannya untuk menawarkan sebuah proposal untuk mengakuisisi perusahaannya. Sayang, ketika Ferrari menanyakan apakah Ia masih dapat menjalankan idealisme untuk terus berkompetisi di Le Mans dan dijawab tidak, malah menghadiahkannya sebuah penolakan sekaligus penghinaan bagi Ferrari. Iacocca kembali dan meneruskan segala pesan Ferrari kepada atasannya, dan malah semakin memancing emosi Ford untuk mengalahkan Enzo.
Berangkat dari sana, Iacocca memulai sebuah misi baru: menemukan sosok yang tepat untuk membantunya memenangkan Ford di Le Mans. Ia kemudian mendatangi Carroll Shelby, diperankan oleh Matt Damon, yang merupakan seorang mantan pembalap Amerika yang pernah menjuarai Le Mans 24 jam bersama Aston Martin. Shelby yang berhenti dari karir suksesnya malah asik terfokus untuk membuat sebuah gerai penjualan kendaraan. Bermodal cek kosong, Iacocca pun berhasil merekrut Shelby untuk ikut serta. Shelby pun mengajak Ken Miles, seorang teknisi dan pembalap handal, diperankan oleh Christian Bale, yang merupakan salah satu orang kepercayaannya. Dari sinilah Ford memulai ‘perang’ demi menjaga gengsi dan harga diri mereka.
What a beautiful story! Film yang berdurasi 152 menit ini merupakan salah satu tontonan saya yang paling berkesan di tahun ini. Saya menikmati bagaimana ketiga penulis film ini, Jez Butteworth, John-Henry Butterworth dan Jason Keller, dapat mengemas dramanya dengan menarik. Walaupun terdiri dari cerita yang cukup panjang, ketiganya bisa membuatnya untuk tidak membosankan. Antusiasme saya tetap bertahan sama seperti menikmati “The Green Book” ataupun “Hidden Figures.”
James Mangold, sutradara film ini, yang sebelumnya telah kita kenal dalam “Walk the Line” ataupun “Logan,” terbilang lumayan berhasil disini. Mangold menunjukkan kepiawaiannya dalam mendramatisasi cerita keberhasilan Shelby dan Miles, dengan sebuah penyajian yang cukup rapi. Set-set yang didominasi dengan latar arena balap akan membawa penonton untuk menikmati adegan-adegan balap yang bisa membuat kita deg-degan.
Dari sisi akting, Matt Damon dan Christian Bale masih mempertahankan sebuah konsistensi akting yang menawan. Damon cukup piawai memerankan sosok Shelby, walaupun kadang-kadang saya Ia serasa mulai meneruskan apa yang saya lihat pada Tom Hanks. Damon mulai terasa bermain sebagai dirinya sendiri, menyambung peran sebelumnya dalam “Downsizing” ataupun “The Martian.” Cuma memang, tidak dapat dipungkiri, Damon masih memiliki magnet untuk membawa penonton terpikat dengan aksi karakternya.
Luar biasanya adalah, Christian Bale merupakan pendamping yang tepat buat Damon. Bale yang memerankan Ken Miles, terbilang begitu bersinar dengan karakter Miles yang cukup kuat. Sosok Wilson yang merupakan seorang pekerja keras, gengsian, cukup batu, sekaligus nothing to lose pada hal-hal yang dihadapinya, jadi salah satu kekuatan di film ini. Baiknya, chemistry karakter keduanya terasa begitu hidup dan saling melengkapi.
Begitupula dari sisi pendukung. Salah satu yang paling mencuri perhatian saya adalah Mollie Miles, istri Miles yang diperankan oleh Caitriona Balfe. Walaupun tidak hadir setiap saat, Mollie selalu hadir pada saat yang tepat dan Balfe tahu bagaimana memanfaatkannya. Salah satu yang berkesan buat saya adalah saat Ia menghempas segala emosinya saat berusaha menginterogasi Ken. Disitu, Balfe menampilkan secuil adegan yang dibangun dengan memanas, emosional dan berujung lega. Dan disinilah saya melihat bagaimana Mollie ternyata bukan jadi sosok pendukung suaminya yang menurut-nurut saja, tidak sepenuhnya.
Kalau dari sisi antagonis, saya merasa apa yang ditunjukkan Josh Lucas di film ini akan cukup membuat kita gemas. Ia memerankan karakter Leo Beebe, yaitu seorang eksekutif senior yang sangat berpengaruh dalam pembuatan keputusan Ford. Di film ini tanpa kehadiran Beebe, drama “Ford v Ferrari” tidak akan jadi suatu yang berarti. Selain mereka, penampilan Tracy Letts sebagai Henry Ford II yang arogan ataupun Joe Bernthal sebagai Lee Iacocca, juga patut diperhitungkan.
Salah satu yang saya sukai di film ini adalah bagaimana Phedon Papamichael, sinematografer film ini, seringkali menggunakan pancaran matahari ataupun cahaya dari belakang dalam menyilaukan adegan. Keindahan adegan juga terpancar dari bagaimana sinar kelap-kelip di hangar bengkel Shelby yang tergabung dengan landasan terbang. Kalau dari aksi balap membalap, permainan kamera dari berbagai sudut akan cukup mewarnai dramatisasi film ini. Ini belum lagi ditambah dengan score Marco Beltrami dan Buck Sanders yang terdiri dari musik penuh hanyut dan penambah ketegangan.
Bila dipikir kembali, sebetulnya, apa yang dihadirkan oleh film ini tidak akan banyak bercerita mengenai kehebatan seorang Henry Ford II akan kepemimpinannya untuk membawa ketiga tim Fordnya melaju bersamaan di Le Mans tahun 1966. Akan tetapi, jauh lebih dari itu. “Ford v Ferarri” adalah sebuah cerita luar biasa akan kepercayaan, kerjasama, aksi penuh resiko, ambisi, dan hati yang berjiwa besar dari kedua legenda di industri otomotif Amerika. Hadir di atas ekspektasi, film ini jadi salah satu tontonan yang mudah memikat siapapun, tanpa harus jadi pemerhati acara balap. Sebuah eksekusi yang menawan dan menginspirasi! One of my favorite from this year!