Identik sebagai salah satu rival utama Batman, sosok yang satu ini selalu punya evolusi tersendiri. Mengusung judul seperti panggilannya, “Joker” membawa penonton ke dalam sudut pandang sosok antagonis, sebagaimana yang telah diterapkan Disney pada “Maleficent.” Walaupun tanpa superhero, villain utama DC Comics ini akan bercerita banyak tentang latar belakangnya yang dikupas tuntas di film ini.
Arthur Fleck, yang diperankan oleh Joaquin Phoenix, adalah seorang warga kota Gotham yang sehari-hari mencari nafkah di sebuah agensi badut. Disana, Ia bersama beberapa rekannya bertugas menjadi badut penghibur sesuai dengan klien yang ditugaskan. Suatu hari, ketika Arthur sedang asyik menari sambil melakukan promosi dengan kostum lucunya, Ia diserang oleh sekawanan anak muda yang merebut papan promosi. Lantas, Ia berusaha mengejar kawanan itu dan malah mendapatkan banyak serangan balik. Naas.
Hidupnya ternyata tidak sejahat yang kita kenal. Arthur, sudah memiliki gangguan mental. Penyakitnya yang dideritanya akan mengeluarkan tawa yang tak terkira ketika Ia merasa sedih ataupun saat dirinya sedang dalam emosi yang tidak terkontrol. Untuk itulah, Arthur akan melakukan sesi konseling dengan seorang social worker demi mendapatkan pengobatan. Ia sendiri telah lama menjadi tulang punggung keluarga, dan merawat sang Ibu, Penny Fleck, diperankan oleh Frances Conroy, yang tak pernah henti menanti bantuan Thomas Wayne, majikannya selama 30 tahun.
Adanya serangan tersebut ternyata mendorong Randall, rekan kerja Arthur yang diperankan oleh Glenn Fleshler, untuk memberikan sebuah pistol. Walaupun sepatutnya Ia tidak dapat menerima karena gangguan yang dideritanya, Arthur menerima pemberian tersebut demi mengamankan dirinya. Tanpa disangka, memiliki pistol dengan mudah memicu dirinya beraksi untuk membunuh 3 pekerja Wall Street, dan membawa penonton masuk ke dalam transformasi sebagai Joker.
Sosok Joker sudah tidak asing lagi dalam ingatan saya. Sedari dini, saya telah mengenal Joker sebagai salah satu boss utama di permainan Sega ‘Batman & Robin,’ serta cukup mewarnai komik-komik Batman terjemahan yang pernah saya baca. Dalam film, karakter Joker pun selalu berubah-ubah. Yang paling lama dalam ingatan saya mungkin adalah versi Jack Nicholson dalam film “Batman” dengan jas ungu yang iconic dan tampilan yang jenaka. Lalu kemudian muncul Heath Ledger sebagai Joker paling dingin dan prestatif dalam film arahan Christopher Nolan, “The Dark Knight,” yang menghasilkan sebuah posthumous Oscar bagi Ledger. Setelah itu, salah satu favorit saya, Jared Leto sebagai Joker gila dengan rambut hijau neon dan gigi logam yang saya saksikan dalam “Suicide Squad.”
Berbeda dengan film-film sebelumnya, apa yang coba dihadirkan oleh Joaquin Phoenix melalui karakter Joker adalah gabungan semuanya. Phoenix hadir selucu Nicholson, segila Leto dan sedingin Ledger. Wow. Gilak, tentunya dalam konotasi yang positif. Phoenix berhasil menghidupkan sosok Joker Original dengan tampilannya yang classy, tawa yang mengerikan, dan transformasi tubuh yang tidak disangka. Anda akan menyaksikan penurunan berat badan yang lebih GILA dari Matthew McConaughey dalam “Dallas Buyers Club.” Tubuhnya yang sangat kurus cukup banyak mendapat sorotan di film ini, apalagi saat-saat Ia menikmati waktu sendiri yang kadang diluapkan dengan menari. Belum lagi ini ditambah dengan kaya ekspresi Phoenix di hampir setiap adegannya. GILA!
Film ini diarahkan oleh Todd Phillips, sutradara yang dikenal melalui komedi, terutama franchise “The Hangover”-nya. Di film ini, Ia juga mengajak Lawrence Sher, director of photography, yang juga sebelumnya telah berpengalaman beberapa kali bekerjasama dengan Phillips. Salah satu ciri khas di film ini, Phillips dan Sher kerapkali mengambil momen karakter Arthur yang sedang menatap dari arah luar kendaraan. Mungkin hampir sekitar 6x adanya pengulangan dalam bentuk yang berbeda-beda. Begitu juga dengan walking scene yang sering diunggulkan untuk mengikuti arah pemeran utama kita mau kemana.
Sayangnya, sisi editing film ini terbilang kurang solid. Walaupun banyak menggabungkan shot dari beragam sisi untuk suatu adegan, masih dijumpai adegan-adegan yang terasa belum selesai lalu dipotong dan lanjut ke adegan berikutnya. Memang tidak terlalu major, cuma ini terasa nanggung dan terburu-buru.
Tidak hanya penampilan Phoenix yang seharusnya menjadi salah satu contender kuat di awards season mendatang, film ini punya unsur teknis sound dan music yang cukup menonjol. Sound editing dan mixing di film ini mungkin terbilang salah satu yang terbaik di tahun ini. Kombinasi suara dengan adegan terasa lebih menggetarkan ketika irama cello (dugaan saya) masuk ke dalam cerita dengan begitu dalam. Salut untuk Hildur Guðnadóttir, composer film ini, yang bisa membangun ambience scene demi scene menjadi lebih gelap, sedih, dan tragis.
Dari sisi soundtrack, saya tidak menyangka jika Phillips akan banyak menggunakan beberapa hits classic, terutama tembang “That’s Life” yang dipopulerkan oleh Frank Sinatra. Lagu ini sudah menjadi favorit saja sejak lama, dan memang punya lirik yang cukup sesuai dengan cerita film ini. Sebuah pemilihan yang tepat. Belum lagi lagu-lagu lainnya seperti “Smile,” “Laughing” ataupun “Send in the Clowns” yang mewarnai film ini.
Untuk penceritaan, naskah yang ditulis Todd Phillips bersama Scott Silver terbilang dieksekusi dengan lumayan. Alur cerita maju yang dihadirkan mudah untuk dinikmati. Saya cukup menikmati bagaimana kisah film ini cukup banyak memasukkan sosok Thomas Wayne yang masih misteri. Begitupula ketika film ini memperkenalkan ‘pertemuan pertama’ Arthur Fleck dengan Bruce Wayne yang masih kecil.
Sayangnya, karena setting film ini adalah Gotham City, kita sama sekali tidak bisa menebak sebetulnya film ini berada di jaman yang mana. Di satu sisi film ini memperlihatkan film Charlie Chaplin buatan tahun 1931, “City Lights,” yang sedang dirilis. Di sisi lain, film ini menampilkan siaran televisi berwarna ataupun hits-hits yang populer di tahun 1950-an. Kesimpulannya, yah agak membingungkan. Yang patut jadi perhatian juga plesetan-plesetan nama channel, ataupun kehadiran Robert de Niro sebagai Murray Franklin yang selalu mengingatkan saya pada sosok legenda Tony Bennett. Yah, namanya juga fiktif, tentu bebas berkreasi buat pengarangnya.
Kalau yang paling berkesan? Tentu, sedari adegan awal, ketika Arthur memulai make-up dan memainkan mimik wajahnya. Apalagi ketika Ia berusaha tersenyum dan memaksa gembira terlepas dari segala kesedihannya. Personally, saya menyukai adegan pembunuhan Randall dan juga adegan Joker mengelap darah dari bibirnya untuk memperlebar senyumannya. Tidak perlu saya jelaskan detil, biar anda tetap penasaran. Jika ditanya yang paling ikonik, mungkin saat Joker dengan kostum barunya melakukan tarian kemenangan usai membunuh Randall. Disini yang membuat saya berkesan adalah bagaimana Joker meluapkan rasa kegembiraannya.
Masih dini memang untuk membahas awards season, cuma “Joker” sudah berhasil meraih Golden Lion pada Venice Film Festival kemarin. Film ini terbilang patut diperhitungkan di tahun ini, terutama pada kategori akting, musik dan suara. Secara penggarapan karakternya, saya cukup menikmati bagaimana perubahan sosok Joker memandang dirinya. ‘I always thinkin’ my life is a tragedy. My life is a fuckin’ comedy,’ ujarnya. Kutipan ini sudah terlalu jelas untuk menjelaskanya bagaimana Ia yang begitu obsesif menjadi seorang komedian ini, mulai menerima kenyataan jika hidupnya hanya sebatas lelucon. Tak heran, bila Ia kemudian bertindak segilanya, dan turut menjadi bagian dari perlawanan di kota Gotham. Sebab ingat, seperti ucapannya pada Murray Franklin, ‘Comedy is a subjective, Murray.’ Superb!