Ngomongin Demokrasi, untuk orang Indonesia pasti ga akan pernah lupa dengan peristiwa hancurnya rezim Orde Baru di akhir 90-an. Suasana negeri jadi tidak stabil, mulai dari Rupiah yang melemah, banyaknya pekerja yang di-PHK, sampai kerusahan merajalela dimana-mana. Masuk ke tahap reformasi berhasil memberikan banyak perubahan yang kini kita rasakan. Buktinya, pemilu presiden yang diadakan tiap 5 tahun sekali jadi salah satu konkritnya. Begitupun Korea Selatan. Negeri ginseng ini sudah jauh lebih dulu merasakannya. “A Taxi Driver” akan mengajak penonton kembali ke tahun 1980, menikmati perjuangan merebut kembali demokrasi dari tanah Korea.
Kim Man-Seob, yang diperankan oleh Song Kang-Ho, adalah seorang supir taksi asal Seoul yang memiliki kendaraan pribadinya. Yah, Ia dapat dibilang seorang private taxi driver. Ia merupakan seorang single father yang membesarkan putri tunggalnya, Eun-Jung, yang diperankan oleh Yoo Eun-Mi. Sehari-hari Man-Seob akan mencari nafkah dengan berkeliling Seoul demi mencari penumpang dan mengantarkannya. Sedangkan putrinya, Eun-Jung akan berdiam di rumah menunggu sang Ayah.
Man-Seob sedang diterpa dengan sebuah cobaan. Ia sudah menunggak uang sewa rumah selama beberapa bulan dan cukup bingung harus berbuat apa. Disaat sedang menikmati istirahat makan siangnya, Ia mendengar percakapan seorang supir taksi yang akan di reserved untuk membawa seorang tamu dari luar negeri menuju kota Gwangju. Mendengar bayaran yang cukup besar untuk menutupi hutang, membuatnya untuk bertindak menghalalkan beragam cara. Ia kemudian nekat, walaupun bisa sedikit-sedikit berbahasa Inggris, dan menjemput Peter, yang diperankan oleh Thomas Kretschmann.
Awalnya, Ia sepintas hanya berpikir jika mengantar Peter menuju Gwangju dan mengembalikannya kembali adalah hal yang mudah. Ternyata tidak. Saat baru berjalan mengarah Gwangju, akses jalan tol menuju kota tersebut ditutup oleh pihak militer. Inipun membuat mereka harus mencari jalan alternatif. Untung saja, jalan alternatif yang melewati hutan jadi penyelamat mereka sampai kesana. Akan tetapi, peristiwa di Gwangju baru saja dimulai dan Man-Seob akan menyaksikan hal yang tidak akan pernah Ia duga.
Peristiwa Gwangju di tahun 1980 diawali dengan kudeta yang militer yang terjadi di tahun sebelumnya. Naiknya Presiden Chun Doo-Hwan dari sisi militer membuat sekumpulan aksi mahasiswa Chonnam University melakukan aksi protes damai. Sayang, pihak militer melakukan aksi kekerasan dengan menembak, membunuh sampai memperkosa. Pihak militer bertindak dengan keji dan semena-mena, dan membuat penduduk sipil juga ikut turun tangan. Malang, semua akses menuju Gwangju pun ditutup. Akses jalan, radio, sampai telepon. Seantero Korea pun tidak ada yang mengetahui sampai akhirnya bisa diceritakan oleh Jurgen Hinzpeter, seorang wartawan asal Jerman yang kisahnya kembali diceritakan lewat “A Taxi Driver.”
Apa yang sebetulnya dihadirkan sutradara Jang Hun, terasa cukup berkesan. Ia membawa penonton mengikuti perjuangan Gwangju dari sudut kacamata Man-Seob, yang mungkin bukan siapa-siapa. Kisah film ini ditulis oleh Eom Yu-Na, yang terbilang cukup oke untuk mengemas karakter unggulan yang sebetulnya fiksi. Percaya tidak percaya, sosok supir taksi penyelamat kota Gwangju ini memang tidak pernah terdengar sampai dikeluarkannya film ini. Setelah menyaksikan “A Taxi Driver,” ternyata putra asli dari supir taksi yang diceritakan di film ini membuka mulut, menceritakan identitas supir taksi yang selama ini misterius.
Yang menarik buat saya, pengemasan karakter Man-Seob terbilang cukup berhasil. Saya berhasil cukup jengkel dengan gayanya yang keras, mau menang sendiri dan tidak cocok dengan Peter. Berjalannya cerita, karakter yang diperankan oleh aktor kawakan Song Kang-Ho ini bisa membawa jalan cerita ke dalam sebuah perlawanan patriotik yang menginspirasi sekaligus ke sebuah cerita persahabatan yang cukup unik.
Film yang terpilih menjadi perwakilan Korea Selatan di ajang Academy Awards yang ke-90 ini memang terbilang terpuji. Saya menyukai cara bagaimana film ini menghidupkan kembali semangat orang muda yang menuntut demokrasi, saat ketika mereka saling membantu dan tidak takut mati. Begitupun dengan perjuangan Jurgen Hinzpeter yang diperlihatkan lewat sosok Peter. Hinzpeter berhasil merekam segala kejadian naas tersebut dan menjadikan tragedi Gwangju dilihat oleh masyarakat dunia. Yang pasti, usaha Hinzpeter tidak semudah yang anda bayangkan. “A Taxi Driver” dengan cerdas memainkan dramatisasi film ini lewat aksi kejar-kejaran dengan intel militer sampai Ia akhirnya bisa berhasil keluar dari Korea.
Dari penggarapannya, salah satu bagian terfavorit saya adalah ketika aksi penyerangan di malam hari. Kala itu, Man-Seob bersama Peter dan kedua penduduk Gwangju menyaksikan orang-orang yang berbondong-bondong ke pusat kota. Dengan setting yang tampak gelap, bisa dikemas dengan cukup terang lewat pancaran api dari kebakaran salah satu gedung. Belum lagi suasana gelap ini menjjadi tambah seru ketika ada sedikit aksi kejar-kejaran. Saya menyukai score film gubahan Jo Yeong-Wook yang cukup menyatu serta bisa menyampaikan emosi film ini.
Menyaksikan film ini membawa saya ke pemandangan bahwa perjuangan demokratisasi tidak mudah. Peristiwa Gwangju yang terekam melalui potongan-potongan rekaman Hinzpeter, terbilang cukup berhasil direkonstruksi oleh film ini. “A Taxi Driver” adalah sebuah tribute yang menginspirasi. Touching and inspiring!