Nama Queen sudah tidak asing buat saya. Sejak dini, karya-karya megah Queen sudah menghiasi telinga saya. Apalagi dengan judul lagu yang kemudian dipakai menjadi judul film ini. “Bohemian Rhapsody” telah menjadi sebuah penantian, terutama dengan kisah hidup Freddie Mercury yang terbilang asing di pengetahuan saya. Kehidupan Mercury yang hanya 45 tahun memang patut bisa disejajarkan dengan legenda fenomenal lainnya seperti Jimi Hendrix, Janis Joplin ataupun Buddy Holly.
Farrokh Bulsara, yang diperankan oleh Rami Malek, merupakan seorang porter di bandara Heathrow, Inggris. Sedari masih berkuliah, Ia memperhatikan sebuah band bernama ‘Smile’ yang saat itu beranggotakan Brian May dan Roger Taylor. Ditinggalkan oleh vokalis aslinya, dengan berani Bulsara menawarkan diri untuk bergabung. Disinilah cikal bakal berdirinya Queen. Setahun kemudian, mereka ketambahan bassist John Deacon.
Masuknya Bulsara ke dalam band ternyata cukup berpengaruh. Gayanya yang flamboyan dan perfeksionis, berhasil membuatnya untuk mengatur kemudi Queen. Setelah merilis album debutnya, Queen berhasil memikat EMI Records untuk bekerja sama memproduksi musik-musik mereka. Di saat yang sama, Bulsara mengganti nama panggungnya menjadi Freddie Mercury.
Berhasilnya “Bohemian Rhapsody” menjadi sebuah produksi terbilang sungguh ambisius. Proyek yang telah diusung oleh rekan-rekan Mercury di Queen sejak 2010, memang sempat pasang surut. Awalnya, Sacha Baron Cohen yang akan memerankan sosok Mercury. Cohen kemudian mengundurkan diri karena perbedaan paham dengan Queen. Ia menginginkan penggambaran Mercury yang lebih ter-ekspos, yang tentunya bakal merubah ratingnya menjadi R. Di pihak lain, tidak demikian. Queen ingin menjadikan film ini sebagai peninggalan Mercury dan mempertahankan ceritanya dengan rating PG-13. Alhasil, malah Rami Malek, aktor asal Mesir jebolan series “Mr. Robot” yang mengisi karakter Mercury. Masuknya Malek ternyata terbilang tidak mengecewakan. Berkat perannya yang luar biasa, Ia berhasil meraih Golden Globes untuk Aktor Terbaik sekaligus pesaing kuat di 91st Academy Awards.
Cerita film ini digarap oleh Peter Morgan, dan kemudian diterukan oleh Anthony McCarten. Apa yang disajikan “Bohemian Rhapsody” tentunya jangan ditelan mentah-mentah. Ada begitu banyak dramatisasi serta pengubahan cerita dari aslinya. McCarten mengakuinya di dalam sebuah wawancara. Yah, memang sudah bukan sebuah kejutan untuk adaptasi biografi.
Yang jadi angin segarnya, film ini akan terbilang memuaskan para penggemar Queen. Film ini dapat dikatakan sebagai sebuah musikal. Walaupun tidak memasukkan nomor-nomor musikal layaknya musikal biasanya, film ini mengganti aksi tersebut dengan reka ulang aksi panggung Mercury ataupun video klip Queen. Dari sekian reka ulang, yang menjadi primadona saya di film ini ada adegan konser “Live Aid” yang dihadirkan cukup penuh di bagian akhir.
Kalau bisa membagi ceritanya ke dalam tiga bagian besar, film yang disutradarai oleh Bryan Singer ini bisa dibagi dengan: cerita awal mula Queen, dibalik album “A Night at the Opera”, dan konser “Live Aid.” Bagian pertama akan berisi hits-hits seperti “Killer Queen” dan “Somebody to Love;” lalu masuk ke bagian kedua yang membawa penonton tercengang dengan “Bohemian Rhapsody” yang digarap dengan cukup jenius, serta “Love of My Life” yang berasal dari cerita cinta Mercury; sampai ke “Radio Gaga”, “Hammer to Fall” sampai “We are the Champions” yang begitu fenomenal. Super absolutely fabulous!
Ngomongin durasinya, 134 menit memang terbilang cukup panjang. Cuma, ini enggak akan seberapa buat para penggemar Queen seperti saya. Walaupun hanya terbiasa mendengar track tanpa menyaksikan video music ataupun live concert mereka, apa yang dihadirkan “Bohemian Rhapsody” sudah bisa memuaskan saya. Penonton bisa mengetahui lebih jauh apa yang terjadi dibalik panggung, rekaman, sampai ketika Mercury mulai mempertanyakan seksualitasnya.
Karakter Freddie Mercury memang adalah yang paling dominan di film ini, dan Rami Malek terbilang patut diapresiasi. Walaupun menghadirkan Freddie Mercury dengan gigi yang lebih ‘menonjol’ dari aslinya, saya menyukai cara Malek dalam mengulang gaya Mercury di segment ‘Live Aid.’ Begitu juga dengan Gwilym Lee dan Ben Hardy yang terlihat hampir serupa dengan Brian May dan Roger Taylor. Nice.
Selain Malek dan hits-hits Queen di film ini, sebetulnya ada banyak faktor yang membuat film terbaik drama versi Golden Globes ini menarik untuk diikuti. Saya cukup memperhatikan desain kostum Julian Day yang membuat kembali beberapa kostum manggung Mercury yang ikonik. Ataupun sampai ke hair dan makeup dari Mark Coulier dan Jan Sewell yang membuat kita terlena dengan tampilan yang hampir serupa.
Jika melihat apa yang ditawarkan, “Bohemian Rhapsody” patut disebut sebagai sebuah tribute. Jangan harap film ini untuk banyak bercerita tentang kehidupan Mercury yang selama ini ditutup dan selalu jadi rasa penasaran oleh media menjelang akhir hidupnya. Dari segala kontroversi hidupnya, “Bohemian Rhapsody” merupakan sebuah selebrasi akan seorang Freddie Mercury yang termashyur, sekaligus membuat kita mengerti akan makna dibalik lagu-lagu terbaik Queen ciptaannya. So memorable!