Judul yang paling saya tunggu di tahun ini, “The Favourite” merupakan sorotan utama saya di tahun 2018. Yorgos Lanthimos kali ini mulai menyajikan sebuah drama dengan nuansa khas-nya, yang kali ini disajikan dengan sentuhan historical dari awal abad ke-18. Mengusung tiga aktris berkarakter, dimana keduanya merupakan peraih Academy Awards, tentu jadi sebuah garansi tersendiri.
Film ini membawa penonton ke dalam kehidupan Ratu Anne dari Inggris menjelang akhir pemerintahannya. Anne, yang diperankan oleh Olivia Colman, merupakan seorang ratu yang cukup rapuh. Ia cukup banyak didominasi oleh Sarah Marlborough, yang diperankan oleh Rachel Weisz, yang sangat berpengaruh dalam pemilihan keputusan Anne. Suatu saat, seorang mantan lady bernama Abigail Masham sekaligus sepupu Marlborough, yang diperankan oleh Emma Stone, mengunjungi istana untuk mencari peruntungan. Masham kemudian diangkat Marlborough untuk menjadi pelayan istana. Menjadi pelayan, ternyata tidak semudah itu. Ia harus melewati persaingan dari rekan yang kurang menyukainya.
Saking dekatnya, Marlborough merupakan favourite Anne, dan segala hal diurusnya. Akan tetapi, suatu saat Abigail secara kebetulan dipanggil keduanya untuk membantu Anne memasang perban daging pada luka di kakinya. Setelah itu, suatu pagi, Marlborough terkejut menemui Abigail yang secara proaktif sedang menaruh herba untuk mengobati luka sang ratu. Ia pun langsung dicambuk. Ajaib, Anne merasa lebih baik setelah diobati Abigail. Semenjak itu, Abigail menjadi pembantu Marlborough. Akan tetapi, posisi yang kemudian didapatinya mulai menggerogoti hubungan Marlborough dan Anne, demi menjadi yang terfavorit.
Pertanyaan pertama yang terlintas dalam benak saya adalah bagaimana penggambaran Anne, Abigail dan Sarah yang dikemas dalam bentuk lesbian-theme. Film ini dengan berani untuk membahas hubungan intim ketiganya yang dikemas dengan persaingan penuh intrik, obsesi, dan kehausan akan kekuasaan. Film yang ditulis Deborah Davis dan Tony McNamara ini, sebetulnya sudah dibuat sejak 1998, dimana Davis mengemasnya dari lembaran-lembaran surat Anna, Abigail dan Sarah, serta sebuah 4 bagian dari biografi dari Winston Churchill yang menceritakan kisah ini, tentang bagaimana leluhurnya Sarah Marlborough ‘didepak’ sebagai favourite Ratu Anne.
Film ini secara garis besar terdiri dari 8 chapter, dengan judul chapter yang diambil dari dialog didalamnya. Sepanjang 119 menit, film ini membawa penonton untuk menyaksikan transformasi Abigail, yang semula merupakan gadis terdidik yang berubah menjadi super ambisius. Sebuah peran yang sepertinya cukup mudah diperankan oleh Stone, ditambah kali ini Ia tampil berani topless disini. Kalau Rachel Weisz, saya terkagum-kagum dengan karakternya yang berusaha untuk tampil dominan menguasai kekuasaan Anne.
Sebaliknya, Olivia Colman terlihat terlalu natural untuk hadir jadi sosok Anne yang penuh perubahan-perubahan spontan. Salut buat ketiganya. Menariknya, tidak menjadi terlalu kental dengan dramanya, tetapi Lanthimos juga memberi sedikit bumbu komedi dalam adegan-adegannya. Misalnya saja ketika Abigail dilempari dengan beberapa buku oleh Anne, ataupun ketika adegan Abigail dengan Masham di hutan yang menghadirkan kombinasi adegan mesra nan brutal.
Selain penampilannya yang begitu solid, “The Favourite” juga cukup unggul dalam banyak hal. Mulai dari kostum oleh Sandy Powell dan make-up yang sedikit mengingatkan saya dengan film terbaik Academy Awards tahun 1984, “Amadeus.” Belum lagi ditambah dengan art direction film ini yang memang banyak didominasi dengan adegan dalam ruangan, dan cukup menonjol dengan design era tersebut. Untuk sinematografi, yang digawangi Robbie Ryan, Ia membawa film ini cukup menonjol dengan banyak pergerakan kamera fluid didalamnya, belum lagi dengan beberapa fisheye dan wideshot didalamnya.
Sama seperti film-film Lanthimos, “The Favourite” juga merupakan film untuk para dewasa. Ada kesan vulgar di beberapa bagian, yang mungkin tidak seperti yang kita saksikan di “Dogtooth” ataupun “The Lobster,” yang bedanya didominasi oleh aktor aktris pendukung. Walaupun tidak banyak, namun penonton akan menyaksikan bagaimana seorang pria tiba-tiba berani melakukan masturbasi di dalam kereta kuda sambil melihat wanita yang dilihat didepannya, suasana di sebuah tempat pelacuran, sampai malam pertama Abigail dan Masham yang tak disangka.
Ketiga pemeran utama kita memang tidak akan tampil sebagaimana berani para cast utama di film Lanthimos yang lain, tapi saya menyukai ‘aksi-aksi’ yang dihadirkan. Sebagaimana misalnya ketika karakter Abigail yang cukup dikelilingi dengan adegan kekerasan seperti didorong sampai jatuh, pecutan, ataupun ditendang. “The Favourite” memang cukup brutal dan akan membuat kita tertawa kecil untuk aksi tersebut.
Sepanjang menyaksikan film ini, kesan mencekam sungguh terasa, mengingat karakter Ratu Anne yang bisa berubah dengan cepat dan persaingan yang semakin memanas. Belum lagi ditambah ketegangan ketiganya yang membuat saya terus bertanya akan akhir dari ceritanya. Untuk ukuran sebuah tontonan, apa yang disajikan Lanthimos dalam “The Favourite” tetap luar biasa. Lanthimos masih membawa ciri khas gelapnya di film ini, seperti saat Sarah terciprat darah unggas yang baru saja ditembak Abigail. Saya mungkin akan cukup menghiraukan dengan kebenaran dari sejarahnya, semenjak terlalu terhibur dengan apa yang ditampilkan oleh film ini. Menurut saya, seperti judulnya, “The Favourite” terlalu mudah untuk menjadi yang terfavorit dari 2018. It’s a masterpiece!