Bicara tentang korupsi, perilaku ini sudah sangat tidak asing untuk orang Indonesia. Hampir saban hari suratkabar akan menayangkan para pejabat yang terkena OTT. Sampai-sampai aksi mengunjungi narapidana korupsi di rumah tahanannya juga mampu jadi salah satu santapan tontonan pemirsa. Korupsi dan Indonesia sudah sejak lama bersahabat. Yah. Buktinya, Sjuman Djaya di tahun 1973 pernah membuat sebuah film yang bertema kritik sosial melalui kisah “Si Mamad.”
Pak Mamad aka Muhammad, yang diperankan oleh Mang Udel, merupakan salah seorang pegawai senior di sebuah kantor arsip. Dengan menggunakan seragam safari putih, dan topi bak kolonial, Ia selalu datang pagi. Yang pasti, Ia menjadi yang pertama di ruangan. Setelahnya, di siang hari, ketika semua pegawai sudah pulang, Ia masih tetap bekerja. Ia sangat tepat waktu. Buatnya, pulang itu adalah pukul tiga.
Kehidupan Mamad memang tidak seindah yang dikira. Penggemar rokok Bentoel ini memiliki keluarga dengan enam anak. Istrinya, Sriti, yang diperankan oleh Rina Hassim, tiba-tiba mendapatkan kejutan lagi. Ia kembali mengandung anak mereka yang ketujuh. Di rumah, Ia dibantu putri tertua mereka, Siti, yang diperankan oleh Ernie Djohan untuk mengurus kegiatan di rumah. Sungguh suatu kejutan buat Mamad ketika mendengar Istrinya yang kembali tengah mengandung. Kehidupannya yang terbilang sudah cukup sulit, malah membuatnya semakin terhimpit. Ia pun tergoda untuk mulai bersahabat dengan sahabat para pejabat: korupsi.
Film “Si Mamad” ditulis dan disutradarai oleh Sjuman Djaya dari sebuah novel tahun 1883 karangan Anton Chekhov yang berjudul asli ‘Smert chinovnika’ atau disebut juga ‘The Death of a Government Clerk.’ Djaya kemudian merombak ceritanya dengan membuat ke dalam setting versi Indonesia, yang seperti memperlihatkan bagaimana kondisi para pegawai negeri di jaman tersebut. Mulai dari pulang sebelum waktunya, ngeles-ngeles dinas luar, sampai mengambil perlengkapan kantor untuk penambahan kekayaan pribadi. Semua ini berhasil dikupas Djaya sekaligus memelintir kisah mellow lewat kehidupan keluarga Mamad.
Awal film ini memang agak sedikit mengejutkan. Penonton akan menyaksikan opening credits yang disertai dengan sekelompok anak yang sedang menyanyikan lagu sholawat di sebidang tanah. Kesan ini cukup menarik, terutama ketika anak-anak tersebut menengok ke kamera yang sedang berada di bawah mereka. Walaupun untuk selanjutnya tidak ada kesan kuat berbau Islami seperti di-openingnya, cuma penonton sudah diberi kode jikalau ini merupakan sebuah tontonan yang penuh pelajaran bermakna.
Film yang terpilih sebagai Film Terbaik dengan pujian di Festival Film Indonesia 1973 berhasil menghadirkan penampilan yang amat berkesan dari sosok si Mamad. Tentu, peranan Mang Udel untuk menghidupkan karater tersebut akan cukup mampu menuai simpati dari para penonton. Kadang, kita akan terpecah ketika Ia nyengir dengan kalimat pendek, terkagum dengan keuletan dan kepolosannya, sampai terpesona dengan pemikiran yang kadang membuat jengkel namun sebetulnya patut dicontoh. Berbeda di rumah, Ia adalah seorang ayah yang penyayang tapi juga tegas. Tidak heran, penampilannya ini membuatnya terpilih sebagai Pemeran Pria Terpuji di FFI 1973.
Karakter Mamad begitu menarik untuk digali. Penonton akan menyaksikan khayalan dan impiannya. Baiknya, Sjuman Djaya berhasil menghadirkan semua aspek ini di dalam filmnya. Begitupun dengan setting kota Jakarta yang dipakai di film ini. Sungguh membuat saya terkejut untuk menyaksikan tempat-tempat yang sepertinya banyak diambil di daerah Jakarta Pusat, seperti Monas, Menteng, Tugu Tani, sampai Thamrin. Melihat Jakarta di versi jadul terlihat lebih asri dan lapang, tidak seperti sekarang ini yang terasa begitu sumpek.
Sungguh beruntung sekarang ini untuk menyaksikan versi restorasi “Si Mamad” yang kini telah diulang-ulang di Flik. Jujur saya, bicara hasil restorasinya, masih sangat jauh dari kesempurnaan, tapi terbilang dikemas masih cukup layak untuk ditonton. Ada beberapa suara yang kadang keluar dari jalurnya, ataupun beberapa adegan yang berjalan tidak smooth. Termasuk coloring film ini yang muncul tidak konsisten, kadang dibuat terlalu gelap, dan ini begitu terasa jika dalam sebuah adegan diambil dari dua sisi kamera yang berbeda.
Kesimpulan saya, Mamad adalah potret orang-orang baik. Ia mungkin bisa saja menjadi bersalah sebab terjebak dalam keadaan. Tetapi, usahanya yang pantang menyerah untuk mengakui kesalahannya dan merasa bersalah hingga akhir hayatnya adalah sebuah pelajaran yang berarti. Walaupun sudah terbilang sebagai sebuah film jadul, tapi “Si Mamad” masih relevan untuk dijadikan sebagai pembejalaran untuk anti korupsi. So inspiring!