Jika mendengar judul versi Bahasa Inggrisnya, ‘I’ll Wait for You in Heaven,’ tentu sudah sangat jelas bagi penonton dalam menebak ceritanya. Tapi buat saya, alur dan proses bercerita di dalam film-lah yang bisa menentukan apakah ini film bagus atau tidak. Dari beberapa film-film Filipina yang pernah saya saksikan, film ini yang paling berbeda. “Hihintayin kita sa langit” memberikan suguhan yang indah, manis, penuh haru, tetapi juga tragis.
Kepulangan Don Joaquin, yang diperankan oleh Joe Mari Avellana, memberi sedikit kejutan untuk keluarga kecilnya. Ia membawa Gabriel, seorang anak laki-laki yang diperankan oleh Jomari Yllana, yang dipungutnya saat perjalanan pulang. Tentunya, kehadiran Gabriel memberikan sebuah reaksi yang berbeda. Anak tertuanya, Milo, yang diperankan oleh Gio Alvarez, merasa semakin tertandingi sebagai putra kesayangan. Sedangkan adiknya, Carmina, yang diperankan oleh Guila Alvarez, melihat Gabriel sebagai teman bermain baginya.
Setelah bertahun-tahun, Gabriel tumbuh menjadi seorang pria tampan, dan begitupun Carmina, Ia telah menjadi seorang perempuan yang cantik. Keduanya, yang kini diperankan oleh Richard Gomez dan Dawn Zulueta, masih senang untuk berkuda bersama ke bukit, ataupun menghabiskan waktu bersenang-senang. Merekapun sudah saling mencintai, dan saling berjanji untuk tidak akan meninggalkan satu sama lain. Tapi, kebahagiaan mereka memang sementara. Ayah mereka tiba-tiba meninggal dunia. Milo, yang kini diperankan oleh Michael De Mesa, mengambil kontrol penuh rumah tangga. Ia masih sirik dengan Gabriel, dan memaksanya untuk tinggal di sebuah kamar dekat kandang kuda.
Suatu saat, mereka menerima sebuah undangan pesta di rumah keluarga Ilustre, salah satu keluarga terkaya disana. Milo mengajak Carmina kesana, namun Carmina menolak jika tidak mengajak Gabriel ikut serta. Milo pun pergi sendiri. Alih-alih, Carmina dan Gabriel juga ikut berangkat. Mereka hanya mengintip dari atas pohon. Carmina yang saat itu terpukau dengan pesta tersebut, tanpa sadar membuat dahan pohon yang diinjaknya jatuh. Ia tergelincir dan menjadi pusat perhatian pesta itu. Disana, Ia bertemu dengan Alan, putra tertua keluarga Ilustre yang diperankan oleh Eric Quizon. Carmina kemudian menghabiskan 2 minggunya bersama keluarga Ilustre untuk menyembuhkan kondisi kakinya. Sedangkan Gabriel, Ia harus babak belur oleh komplotan Milo.
Cerita yang ditulis oleh Raquel Villavicencio ini sebetulnya merupakan adaptasi versi Filipina untuk kisah klasik ‘Wuthering Heights’ karangan Emily Brontë. Dengan durasi sekitar 2 jam, Villavicencio membawa penonton untuk masuk ke dalam beberapa periode. Mungkin saya dapat membagi ceritanya secara sederhana ke dalam 3 babak: Pendahuluan, Kembalinya Gabriel, dan Konklusi. Di babak pertama, penonton akan berkenalan dengan background dari para karakternya, termasuk di saat-saat layar cinta Gabriel dan Carmina terkembang. Masuk ke babak kedua, penonton akan menyaksikan aksi balas dendam yang super duper membikin saya elus-elus dada. Setelah itu, baru penonton masuk ke penyelesaian cerita yang ga kalah dramatis dengan “Romeo + Juliet.”
Film yang disutradarai oleh Carlos Sigiuion-Reyna ini merupakan salah satu film yang terpilih dalam ABS-CBN Film Restoration Project, sebuah inisiasi untuk menyelamatkan film-film klasik Filipina. Kebetulan saya bisa menyaksikan versi restorasinya, dan film ini memberikan sebuah efek samping setelah nonton: kecanduan. Perhatian… perhatian semuanya.. Sebelum menulis tulisan ini, saya sudah menyaksikan film ini 3x dan masih membuat saya tidak bosan jika menontonnya lagi.
Saya menyukai tata sinematografi yang digawangi Romeo Vitug. Vitug bisa menangkap banyak momen sinematik di dalamnya. Yang menjadi favorit saya adalah saat Gabriel dan Carmina tengah berlarian di bukit dan dilatarbekalangi indahnya sunset yang menggelapkan mereka di layar. Juga, permainan tata cahaya terbilang cukup berhasil membuat Dawn Zulueta terlihat lebih putih. Sebab saya baru menyadari ketika masuk ke adegan yang sepertinya menjelang subuh ketika sosok Carmina terlihat sangat gelap. Disana saya baru menyadari jika aktris Jackie Lou Blanco-lah yang paling putih disini.
Berbeda dengan sutradara Filipina yang lain, apa yang dihadirkan Sigiuion-Reyna seperti membawa penonton membaca sebuah fairytale, yang awalnya terasa seperti menyaksikan telenovela. Berjalannya waktu, ternyata ini dongeng untuk dewasa. Ehm ehm… Ada beberapa love scene antara Gabriel dan Carmina yang super sensasional. Walaupun cuma terlihat adegan cium mencium di area sekitaran leher, tapi Sigiuion-Reyna berhasil membuat adegan tersebut terlihat megah karena latarnya, seksi dan hot! Special honorable mention untuk adegan bercinta keduanya yang berlatar di pantai.
Membahas penampilannya, saya memuji penampilan Dawn Zulueta dan Richard Gomez disini. Gomez berhasil menjadi sosok protagonis yang berubah seperti monster. Begitupun Dawn, dengan karakter Carmina-nya yang bisa berubah dengan sekejap, Ia bisa menampilkan sosok Carmina yang terluka, hampa, dan harus menanggung perbuatannya. Usut punya usut, ternyata kedua pemeran ini sempat menjadi sepasang kekasih di saat itu. Ternyata, kesan romantis keduanya bisa juga dihidupkan ke dalam film dan memberikan kesan lumayan memorable. Sepertinya baru mereka yang bisa sebanding Leonardo DiCaprio dan Claire Danes dalam ingatan saya. Untuk cerita sejenis, saya lebih membandingkan film ini dengan “Romeo + Juliet,” yang merupakan salah satu favorit saya sejak kecil.
Jujur, saya kurang menyukai ending-nya karena berharap film ini bisa jauh lebih tragis. Cuma “Hihintayin kita sa langit” berhasil mempesona saya dengan banyak hal. Mulai dari settingnya yang indah nan menakjubkan, sinematografi yang apik, sampai pada cerita serta chemistry kedua lead role-nya yang akan mencampuradukkan emosi penonton. Warning: I got addicted. This would be my best romance Filipino ever! What a gem!