Merasa cukup penasaran dengan film-film Filipina, kali ini giliran karya Mike De Leon jadi pilihan saya. Film yang dirilis dengan judul asli “Itim” atau versi terjemahannya ‘The Rites of May’ ini mengangkat sebuah drama horror dengan kesan misteri.
Cerita “Itim” terfokus dengan pencarian Rosa, seorang calon biarawati yang menghilang. Melalui sebuah proses pemanggilan arwah, medium tersebut menyebutkan jika Rosa telah mati. Saat Ibunya penasaran untuk tahu apa sebabnya, Jumat Agung menjadi jawaban untuk memecahkan misterinya.
Di sisi lain, seorang fotografer muda kembali ke kampung halamannya di San Ildefonso. Ia memutuskan untuk pulang dari Manila, dan berniat untuk menghabiskan waktunya di sepanjang minggu agung. Tentunya sambil mengambil beberapa foto yang dapat dijadikan bahan olehnya. Namanya, Jun, diperankan oleh Tommy Abuel, dan secara tidak sengaja matanya terpikat dengan kehadiran perempuan misterius yang seperti punya tatapan kosong. Jun kemudian mengenali Teresa, diperankan oleh Charo Santos-Concio, yang kini hanya tinggal bersama Ibunya.
Dari bagian awal “Itim” sudah menggugah saya dengan menarik. Penonton akan diperlihatkan sekelompok perempuan yang sedang mengitari sebuah meja berisi huruf dan angka. Mereka kemudian berdoa ‘Dalam nama Bapa’ dan kemudian memulai proses inisiasi mereka. Cukup menarik. Mengkombinasikan unsur Katolik dengan pemanggilan arwah. Kesan yang dikemas oleh De Leon sungguh memikat saya di bagian awal.
Jika membahas ceritanya, saya merasa kisah yang ditulis oleh Clodualdo Del Mundo Jr. dan Gil Quiot ini lebih condong ke arah misteri. Memang ada kesan horror yang diceritakan. Tetapi peranan ‘hantu’ yang ditampilkan masih hanya sebatas wujud yang tiba-tiba lewat, ataupun benda mati yang bergerak. Sisanya, lebih ke arah membangun ketegangan penonton. Itupun juga berkat music scoring Max Jocson yang terasa lebih dominan dibandingkan apa yang diperlihatkan. Apa yang ditampilkan Jocson dalam melodi-melodi terornya akan terasa lebih nendang jikalau unsur horor dalam kisahnya lebih digali. Sayang saja.
Yang ada sebaliknya. De Leon, malah memainkan ketegangan dengan mengombinasikan dua adegan dengan durasi yang lumayan cepat, yang seakan memberi penonton akan adanya hubungan dari kedua adegan tersebut. Buat saya ini tidak terlalu bekerja. Rasa penasaran yang sudah dibangun dengan matang dari awal terasa cukup tidak berjalan dengan penuh pertanyaan. Yang ada, belum masuk babak klimaksnya, inti misteri yang ingin diperlihatkan sudah seperti cukup terjawab.
Film ini juga akan bermain dengan gelap, dan juga dunia mimpi. Salah satu yang menarik buat saya adalah ketika Jun yang tengah tertidur, tiba-tiba masuk ke dalam sebuah tempat yang berisi patung-patung serupa Yesus dan murid-muridNya yang sedang duduk, dan kemudian bergerak. Saya merasa kesan cult cukup kuat dalam adegan ini. Begitupun dalam mimpinya, saat Ia masuk ke sebuah gereja yang telah dipenuhi dengan ratusan lilin. Selain kedua hal ini, yang juga menarik adalah saat De Leon menghadirkan adegan Jun dalam memproduksi foto jepretannya. Dominasi warna merah di darkroom terasa menarik, dan saya sebetulnya sangat menantikan unsur horror yang sebetulnya bisa muncul di momen-momen berpotensi seram ini. Sayang saja tidak dimanfaatkan.
Setidaknya, menyaksikan “Itim” memberikan sebuah pengalaman nonton yang baru, ya sebagai film horor Filipina pertama saya. Walaupun sebetulnya sinema dari Filipina sudah tidak asing lagi buat saya, tetapi jika membandingkan dengan horror Indonesia, tentu saya masih lebih menyukai versi Indonesia. Ini pun karena kesan horror yang ditampilkan masih jauh lebih mengerikan dan kreatif. Mungkin karena “Itim” bukan pembanding yang baik, jadi saya harus mencari pembanding yang sesuai dulu. Akhir kata, kesimpulan saya, “Itim” lebih pantas disebut sebuah film misteri ataupun drama, ketimbang sebuah horror.