Tidak terlalu diingat, namun “River of No Return” merupakan salah satu film di masa keemasan Marilyn Monroe. Dengan penggabungan genre drama, romance dan juga western, penonton akan diajak mengikuti kisah dengan keindahan natural tanah Amerika.
Cerita diawali dengan Matt Calder, yang diperankan oleh Robert Mitchum, untuk mencari putranya di sebuah kota. Kota disini bukan seperti kota yang kita kenal. Ini terdiri dari banyak tenda kemah, dari yang kecil hingga yang besar, yang berfungsi sebagai saloon. Matt kemudian bertemu dengan putranya, Mark, yang diperankan oleh Tommy Rettig. Mark awalnya tidak mengenal Matt. Namun karena adanya sebuah tanda, Ia bisa menyakinkan Mark. Maklum saja, Ia meninggalkan Mark karena harus masuk ke dalam penjara setelah membunuh seorang pria.
Tidak hanya Mark saja, namun Matt bertemu dengan Kay. Kay, yang diperankan oleh Marilyn Monroe, adalah seorang penyanyi yang menghibur para koboi dengan nyanyian dan busananya yang menggelegar. Setelah menjemput Mark, keduanya kemudian menjalani hidup dengan bertani, berburu, dan mengambil ikan. Sampai suatu ketika, Kay tiba-tiba secara tidak sengaja kembali bertemu mereka. Ia dan tunangannya, Harry, yang diperankan oleh Rory Calhoun, berhasil diselamatkan Matt setelah melewati arus sungai yang begitu deras.
Film buatan Twentieth Century Fox ini disutradarai oleh Otto Preminger. Ceritanya sendiri diadaptasi dari sebuah cerita karangan Louis Lantz, dan kemudian ditulis oleh Frank Fenton. Di dalam ceritanya sendiri, paduan musikal juga sertakan dalam ceritanya. Saya ingat, sekitar ada 3 lagu dan semuanya dipentaskan Monroe dengan sangat apik.
Membahas ceritanya, buat saya tidak ada yang terlalu menarik. Dari premis awal terasa berjalan begitu saja. Masuk ke pertengahan ceritanya, adegan demi adegan terasa terlalu dikemas penuh drama, yang semakin menjuruskan Monroe sebagai karakter antagonis dan Mitchum yang terkesan sebagai the good guy.
Yang menarik dari film ini adalah cara penggambaran ceritanya. Film yang dibuat dengan CinemaScope ini punya settingan widescreen aspect yang berhasil merekam keindahan set produksi ataupun sisi natural Amerika. “River of No Return” punya banyak pemandangan indah dengan suasanya sebagai a sweet western drama. Film ini juga berisi sedikit bumbu aksi, termasuk menyajikan karakter Indian di ceritanya. Untuk ukuran di jamannya, cara mereka untuk membuat dramatisasi rakit di sungai patut dipuji. Kemampuan editingnya bisa menyatukan kapan harus terlihat di sungai betulan ataupun set studio. Juga termasuk dengan busana buatan Travila yang dikenakan Monroe di film ini.
Untung film ini tidak berdurasi dari 90 menit. “River of No Return” akan terlalu mudah dilupakan. Walaupun berisi cast dan sutradara penuh talenta, film ini seperti terasa untuk memenuhi ketentuan kontrak mereka saja. Keindahan alamnya dan nyanyian Marilyn saja yang mungkin hanya akan mengingatkan saya dengan film ini.