“Jogja banget, siapa pun yang cinta Jogja akan suka film ini!” ungkap seorang penonton di salah satu interview promosi “The Gift” dengan emosi membuncah. Well, mungkin jika Jogja hanya dipandang sebatas Tugu, becak, dan abdi dalam, maka memang benar “The Gift”, Jogja banget! Sungguh sayang! Padahal narasi Tiana tentang suasana Jogja yang terasa seperti pelukan ibu tua di awal film sungguh teduh dan apik. Tak hanya soal setting, menonton “The Gift” juga terasa agak berat lantaran film disajikan dengan gaya potong kasar. Belum lagi, munculnya dialog yang sering tak selesai menyebabkan penonton tak berhenti mengerenyit, berusaha keras memahami apa yang sedang terjadi. Akhirnya, “The Gift” muncul sebagai karya yang kurang “Pekat”, hanya sekedar remang!
Digadang-gadang sebagai karya Hanung Bramantyo yang paling jujur, “The Gift” bercerita tentang kisah cinta Tiana, yang diperankan Ayushita Nugraha, seorang penulis eksentrik dengan seorang tuna netra bernama Harun, yang diperankan Reza Rahardian. Demi menyelesaikan novelnya, Tiana memutuskan kos di rumah seorang mantan jendral di Jogjakarta. Seperti semua kisah romatis, Tiana dan Harun digambarkan tidak terlalu akur di awal cerita. Harun yang kehilangan penglihatan setelah mengalami kecelakaan digambarkan sebagai tokoh yang egois, pemarah, pemurung dan tidak ramah. Sesuai dugaan, kehadiran Tiana lambat laun mulai mengubah sifat temperamen Harun menjadi lebih ‘manusiawi’. Tiana, dengan masa lalu yang kelam rupanya merasa ‘nyambung’ berelasi dengan Harun yang juga dirundung kegelapan. Bersama Tiana, Harun mulai mengeksplorasi seluruh kemampuannya berkesenian mulai dari menari tradisional di sanggar, mematung, hingga melukis kontemporer dengan cara menciprat dan mencampur seribu satu warna di atas kanvas raksasa. Sayangnya, setelah Harun membuka diri, Tiana malah merasa ragu dengan keputusannya membuat Harun ‘melihat’ dunia. Tepat saat Tiana tengah gundah, teman masa kecil Tiana, Arie, yang diperankan Dion Wiyoko, mendadak muncul. Arie yang kini telah sukses menjadi dokter, sekonyong-konyong datang dan melamar Tiana. Tiana yang merasa takut makin menyeret Harun ke dalam kehidupannya, akhirnya memutuskan untuk memilih Arie dan tinggal bersama di Italia. Jelas bisa di tebak, walau sudah tinggal di Italia, Tiana tidak juga merasa happy, dan masih terus dihantui rasa bersalah karena meninggalkan Harun. Sementara itu, Harun yang sedih ditinggal Tiana akhirnya memutuskan untuk menjalani operasi kornea mata di Italia. Lagi-lagi bisa ditebak, Harun lantas menjadi pasien Arie. Sudah pasti Tiana akhirnya tahu bahwa Harun ada di Italia. Akhirnya, untuk kedua kalinya, Tiana harus memilih ke mana hatinya akan berlabuh, Harun atau Arie?
Dilihat dari segi cerita, sejatinya memang menjadi tantangan besar untuk bisa membuat kisah cinta yang tidak melulu ‘menye-menye’ di tengah serbuan film-film drama romantis yang terasa gitu-gitu saja. Oleh karenanya, keputusan Hanung untuk mencampurkan twist dalam sebuah kisah cinta harus diapresiasi tinggi! Tentu tidak mudah untuk bisa membuat “The Gift” terasa dark tapi juga romantis di saat yang bersamaan. Konsekuensinya, jika tidak dieksekusi dengan jeli, maka film akan terasa tanggung dan tidak menggigit. Sebenarnya, paduan genre twisted romantic story bukan baru pertama kali ini disuguhkan. Di tahun 2017, Edwin sudah dengan sukses meramu kisah cinta yang dark melalui “Posesif”. Bedanya, filmt tersebut didukung oleh karakter Yudhis yang sangat kuat dan matang sebagai seorang abuser yang posesif. Dengan sangat luwes, Adipati Dolken sebagai Yudhis bisa dengan luwes berpidah-pindah karakter, sebentar sweet a la prince charming, sebentar edan. Sayangnya, kemunculan karakter Tiana terasa sangat kurang meyakinkan. Selain selalu menelepon Bona, yang diperankan Rinaldy Zulkarnain dengan bluetooth handsfree setiap saat, tidak ada hal signifikan yang bisa memperkuat karakter Tiana. Tidak ada momen-momen ekstrem yang bisa membuat penonton terperangah dan terkejut melihat Tiana si misterius. Notebook Tiana yang selalu di bawa ke mana-mana tidak cukup kuat menyaingi rubric toy yang menjadi simbol kerumitan Yudhis. Karakterisasi Tiana yang tanggung pula terlihat dari gesture dan cara berpakaiannya. Apakah Tiana ingin dibikin semisterius penyihir wanita dengan dandanan wajah agak gothic dengan eye shadow gelap meruncing? Jika memang karakter penulis unik ala-ala witch yang sedikit-sedikit merem dan kontemplatif memang mau dipilih, kemunculan Tiana yang colourful nan modis di akhir film tampak berseberangan dengan image yang hendak dibangun. Tengok saja, bagaimana Tiana muncul bak supermodel bergaya Parisian look dengan scraf di leher seperti baru pulang fashion show nampak tidak konsisten dengan gaya misterius dan warna-warna monochrome yang disematkan pada Tiana di awal film. Alhasil, karakter Tiana terasa kurang pakem.
Kedua, selain karakterisasi tokoh utama yang lemah, keremangan “The Gift” juga disebabkan oleh gaya potong scene yang sangat tiba-tiba. Saat Tiana pulang mengantar Ibu abdi dalem jenderal ke rumah sakit, Tiana berkata, “Ibu aku inepin dulu di rumah sakit. Besok baru kita jemput, Ibu.” Di luar dugaan, selanjutnya penonton hanya disajikan adegan Harun dan Tiana turun becak baru pulang dari suatu tempat, dan Harun bertanya, “Kita nggak ke mana-mana, nih?” tanpa ada penjelasan apakah si ibu abdi dalam sudah pulang atau belum. Atau seperti saat ditampilkan adegan Tiana kecil mengunci diri dan sembunyi di lemari baju, sementara Ibu Tiana marah-marah di luar kamar. Sedetik kemudian Ibu Tiana digambarkan seperti sedang pusing dengan gestur sakit kepala. Alih-alih melihat Ibu jatuh pingsan, penonton malah melihat si Ibu tergantung di depan pintu kamar Tiana. Lantas, apa makna gestur sakit kepala? Apakah Ibu pusing lalu memutuskan bunuh diri? Entahlah.
Andaikata potongan-potongan scene tadi dirangkai dengan dialog yang koheren mungkin penonton akan sedikit tertolong. Sayang, dialog di film “The Gift” pun kerap mengambang dan ambigu. Sering kali, pada momen-momen penting tokoh-tokohnya malah dibiarkan menggantung kalimat. Contohnya, Tiana jelas tak bisa menyampaikan kekesalannya saat beragumen dengan Harun tepat sebelum Harun mengusirnya pergi. Saat Harun menanyakan pertanyaan penting, mengapa Tiana berbohong; Tiana hanya berucap, “Ya, karena kamu tahu aku ulang tahun padahal aku nggak pernah bilang, dan ini semua… ini semua tuh…” lantas lari begitu saja ke kamar setelah diusir. Atau saat Arie menanyakan alasan Harun tiba-tiba ingin operasi mata setelah sekian lama menolak ide tersebut. Harun hanya senyum-senyum malu merona seraya membalas, “Yah, sebenarnya saya ada satu keinginan. Saya sudah lama ingin sekali… itu… dokter pasti mengerti.” Untung dokter Arie memang sungguh brillian hingga bisa menginterpretasikan maksud kata “itu” yang ambigu dan senyuman malu Harun menjadi keinginan melihat wajah seorang wanita.
Masalah lainnnya adalah, seakan tak puas memotong kasar tiap-tiap adegan, Hanung nekat pula menyajikan adegan flashback bertubi-tubi. Akibatnya, tidak hanya sekali penonton menebak-nebak apakah Tiana sedang flashback, mimpi, atau sedang menjalani hari-hari sekarang? Misalnya, Tiana kerap mengingat kebersamaannya dengan Harun di pantai di Jogjakarta saat ia galau. Tak berapa lama kemudian muncul adegan Tiana sedang berjalan menuju laut sambil memejamkan mata, tak jelas apakah ia sedang di Italia membayangkan pantai Jogja, atau ia memang sedang di pantai Italia? Sudah bingung, penonton dikejutkan dengan adegan yang dipotong dadakan, dan sekonyong-konyong melihat Tiana tidur nyenyak di kamar Arie. Baru saat Arie bilang, “Emangnya aku bakal biarin kamu ilang di pantai lagi?” penonton ngeh dan membatin, oooh… jadi tadi Tiana maksudnya hilang.
Di atas semua kekecewaan di atas, banyak pula keunggulan “The Gift” yang juga harus diacungi jempol. Misalnya, Reza Rahardian tampil memukau tatkala dengan lihai ia memperlihatkan sisi-sisi lain penyandang disabilitas tuna netra. Misalnya, saat Tiana secara mendadak menyentuh tangan dan wajah Harun seusai suit, Reza Rahardian tidak serta merta senyam senyum, tapi dengan detail dan jelas ekspresi keterkejutan Harun dibawakan dengan sangat luar biasa ekspresif hingga penonton pun terasa seperti ikut kaget bersama. Penampilan prima juga dibawakan oleh Dion Wiyoko yang berperan sebagai dokter berprestasi cemerlang hingga bisa berkarier di Italia. Dengan sangat pede, Dion bercakap-cakap dalam bahasa Italia dengan suster di rumah sakit sehinga terkesan bahwa Arie memang mumpuni bekerja di Italia. Sayang, tokoh Arie muncul sangat sedikit dalam potongan-potongan pendek. Keahlian lain yang harus diapresiasi adalah kejeniusan director of photography memilih sudut penempatan kamera. Masih terbayang adegan Tiana berkomunikasi dengan pantulan wajah Harun di cermin seolah-olah Tiana dengan berdialog dengan lukisan.
Pada akhirnya, “The Gift” hadir menyemarakkan gegap gempita film Indonesia sebagai film dengan gaya, rasa, juga ending yang tak biasa. Andai lebih matang digarap, “The Gift” bisa jadi lebih kental, lebih gelap, lebih pekat; tidak hanya remang-remang.