Terpilih sebagai penerima Palme D’Or pada tahun 2017, kemenangan “The Square” agak menjadi sedikit sebuah kejutan. Bagaimana tidak, cara film ini menyentil penonton lewat sebuah tayangan satir ternyata berhasil memikat penonton. Di sepanjang 2017, mungkin ini satu-satunya drama komedi yang berhasil membuat saya seakan masuk ke dalam batas ketidaknyamanan.
Sosok utama film ini adalah Christian, seorang direktur sebuah museum di Swedia, dan diperankan oleh Claes Bang. Ia sedang menggarap sebuah proyek exhibition terbarunya dengan nama ‘The Square.’ ‘The Square’ sendiri dideskripsikan sebagai “A sanctuary of trust and caring. Within it we all share equal rights and obligations,” istilah yang sering disebutkan di film ini. Setelah berhasil menggulingkan patung berkuda kuno yang berada di titik tengah halaman museum, sebuah persegi dibentuk dari dasar halaman dan dibatasi dengan sebuah kabel lampu berwarna terang. Bila hanya sepintas, mungkin akan terlihat biasa. Namun, persegi ini dikemas menjadi sangat spesial.
Kembali lagi ke cerita film ini. Suatu ketika, Christian sedang berjalan kaki, Ia dikejutkan dengan teriakan seorang perempuan yang meminta tolong padanya. Alih-alih bingung dengan situasi yang tiba-tiba membuat panik, Ia berusaha membantu. Miris, Ia malah kecopetan. Ia kemudian meminta bantuan salah satu asistennya untuk menemukan kembali beberapa barang pribadinya yang hilang. Christian lalu melakukan saran dari bawahannya untuk menyebar surat ancaman, dan menjalani rentetan drama yang akan mempertanyakan kembali dengan nilai-nilai yang terkesan telah disematkan padanya.
Film yang berdurasi lebih dari 2 jam ini kadang akan membuat kita tertawa, dan mungkin tertawa akan diri kita sendiri. Östlund mengangkat gabungan banyak segmen yang memotret realita yang benar terjadi. Misalnya, seperti kehidupan para pengemis. Christian mengangkat ‘The Square’ sebagai nilai pemersatu yang dapat menghilangkan perbedaan. Tetapi, ketika Ia disambangi oleh pengemis, Ia tidak sedikitpun berniat untuk memberikan mereka sedikit uang. Yang ada, ketika Ia baru saja mendapatkan keberuntungan ataupun merasa perlu, Ia baru meminta bantuan si pengemis.
Tetapi yang paling epik disini adalah saat segmen ‘The Jungle.’ Ini terinspirasi dari sebuah pementasan seni yang pernah terjadi di tahun 90-an yang berakhir dengan ricuh. Bagaimana tidak, semua pengunjung akan dilibatkan untuk berimajinasi di sebuah hutan. Mereka tidak boleh merasa terancam ataupun remeh. Jika tidak, sosok hewan yang diperankan Terry Notary, akan menyambangi anda dan akan membuat anda risih. Tetapi inilah yang terjadi juga di realita. Kadang, kita terlalu mengganggap beberapa hal tertentu dengan remeh, tetapi saat kita terperosok dalam jurang tersebut, rasa sadar baru akan muncul.
Yang juga menarik di film ini adalah banyaknya gangguan yang sering muncul di dalam adegan. Misalnya saat kegiatan meeting, dan satu per satu peserta meeting diganggu. Atau adanya kehadiran bayi yang ikut serta dalam meeting. Namun, yang paling menggelikan adalah saat adegan membuang kondom seusai one night stand, ketika Christian berusaha menolak tawaran Anne karena sifatnya yang begitu overprotective dan merasa terancam, alih-alih takut disalahgunakan.
Ada banyak hal lagi yang coba disentil Östlund dalam ceritanya, yang semuanya dihadirkan lewat kehidupan Christian. Christian yang diperankan Claes Bang, hadir sebagai pria berusia 40-an yang tampan, mapan, dekat dengan orang-orang kaya, dan juga sedikit tenar. Namun, Ia tidak konsisten dengan apa yang ingin dilakukannya terhadap bagaimana Ia mengaplikasikan hal tersebut di kehidupannya. Jujur saja, “The Square” berhasil membuat saya terdiam, tidak nyaman, dan terus bertanya: “Jika hal itu terjadi pada saya, apakah saya akan berlaku sama seperti Christian, atau sebaliknya? Jika tidak ataupun ya, apakah saya punya ‘keberanian’ untuk melakukan hal tersebut?” Dengan berbekal premis mengenai dunia museum dan seni, ternyata “The Square” mampu menggali sekaligus memberi refleksi bagi penontonnya.