Ini bukan lebay, tapi ketika menerima email balasan dari Sony Classic Pictures, saya begitu bahagianya untuk mendapatkan film ini. Setelah sekian bulan menanti screener yang kononnya hampir tidak ada harapan mendapatkannya, ternyata memungkinkan. Film ini adalah salah satu watchlist yang memang saya tunggu-tunggu. “Call Me by Your Name” menawarkan sebuah pengalaman tersendiri, menyaksikan seorang lelaki muda mengeksplorasi hal-hal yang diinginkannya.
Namanya Elio Perlman, seorang remaja 17 tahun yang diperankan oleh Timothée Chalamet. Ia tinggal bersama kedua orangtuanya di sebuah rumah bergaya klasik di utara Italia. Sang ayah, Mr. Perlman, yang diperankan oleh Michael Stuhlbarg, adalah seorang professor arkeologi. Suatu ketika di musim panas tahun 1983, datanglah seorang pria muda, tampan, dan gagah. Ia bernama Oliver, diperankan oleh Armie Hammer. Oliver akan menghabiskan beberapa waktunya untuk membantu Mr. Perlman dalam menyelesaikan naskah akademiknya. Untuk itu, Oliver tinggal di rumah keluarga Perlman. Luckily, Ia mendapatkan kamar Elio. Elio terpaksa hijrah ke kamar disampingnya, yang tepat di sebelah kamar mandi bersama mereka.
Film ini diadaptasi James Ivory dari salah satu novel gay yang dikarang oleh André Aciman dari tahun 2007. Novelnya kemudian berhasil meraih Lambda Literary Awards untuk Fiksi Gay terbaik. Kalau Ivory sendiri, saya sudah mendengarnya sejak lama. Ia sering melakukan kerjasama dengan sutradara Ismail Merchant, dan juga pernah menulis serta menyutradarai beberapa film pemenang Oscar. Seperti “Howards End,” “The Remains of the Day,” ataupun “A Room with a View.” Namun disini Ivory mengadaptasi kisah yang jauh lebih menarik daripada “Maurice,” sebuah kisah cinta gay lainnya yang dibintangi Hugh Grant.
Film ini disutradarai oleh Luca Guadagnino. Jujur, saya belum pernah menyaksikan film Guadagnino yang lainnya. Tetapi, saya sangat menyukai caranya untuk menyajikan film ini. Misalnya, seperti cara pengambilan gambar yang digawangi Sayombhu Mukdeeprom. Bagaimana film ini bisa menangkap emosi serta keinginan yang sering tak terucapkan, namun berhasil tertangkap kamera. Film yang dirilis di Sundance Film Festival awal tahun ini memang terbilang luar biasa. Cerita Elio berhasil disajikan dengan latar belakang yang menawan, terutama dengan adegan bersepeda keduanya, sampai adegan bersantap yang kerapkali jadi bagian dalam cerita.
Chemistry Chalamet dan Hammer sungguh tidak terduga. Saya teringat dengan salah satu interview keduanya yang menceritakan bagaimana mereka melakukan latihan love scene, dan kemudian ditinggalkan oleh para crew. Keduanya menampilkan sesuatu yang lebih sensual, walaupun sebetulnya tidak menampilkan adegan yang terasa explicit. Salah satu yang cukup memorable disini mungkin saat Oliver mengucapkan “Call me by your name and I’ll call you by mine.” Kalau bicara yang paling erotis disini, mungkin saat Elio memainkan fantasinya dengan menggunakan aprikot dan ternyata dilanjutkan dengan kehadiran Oliver yang tidak terduga.
Mungkin jika salah digarap, film ini punya potensi jadi sejenis film-film CAT III dengan premisnya. Untung saja, walaupun sepertinya menampilkan kesan nafsu keduanya, film ini masih bermain dalam batas yang aman. Sosok Elio dan Oliver yang hadir di film ini akan dengan mudah menjadi favorit baru, yang melengserkan kisah Jack dan Ennis dari “Brokeback Mountain”, Mike dan Scott dari “My Own Private Idaho,” atau hingga kisah pergolakan cinta Lai dan Ho dari “Happy Together.”
Salah satu quote favorit saya di film ini berasal dari ungkapan Mr. Perlman. “Then let me say one more thing. It’ll clear the air. I may have come close, but I never had what you two have. Something always held me back or stood in the way. How you live your life is your business. Just remember, our heart and bodies are given to us only once. And, before you know it, your heart is worn out, and, as for your body, there comes a point when no one looks at it, much less want to come near it. Right now, there’s sorrow, pain. Don’t kill it and with it the joy you’ve felt.”
“Call Me by Your Name” hadir begitu sensual, erotis, jujur, dan indah. Saya merasa film ini jauh lebih baik dibanding “Moonlight” yang menurut saya agak cukup overrated. Dengan mudahnya film ini menjadi salah satu kisah LGBT terbaik favorit saya. In my final honest opinion, This is the most beautiful film of the year!