Jika mendengar catur, mungkin anda tidak akan asing dengan permainan penuh strategi ini. Dua pemain akan saling mengalahkan lawan dengan menjatuhkan satu per satu pionnya. Akan tetapi, bagaimana kalau Go? Permainan yang berasal dari Asia Timur ini juga menawarkan kemasan strategi yang lebih sederhana. Anda tidak perlu pusing seperti catur yang punya beragam jenis ketentuan langkah pionnya. Dalam Go, pemain akan bermain dengan abstrak. Cukup dengan kepingan warna hitam putih yang ditujukan untuk menguasai area sebanyak mungkin. Dalam “AlphaGo,” penonton akan mengikuti sebuah bagian dari sejarah, ketika juara dunia Go melakukan pertandingan pertamanya dengan permainan yang berasal dari kecerdasan buatan.
Deepmind.ai, salah satu anak perusahaan Google, melakukan sebuah pengembangan dengan merancang permainan Go. Aplikasi ini disebut “AlphaGo.” Salah satu yang membuat Go menjadi begitu rumit berasal dari begitu abstraknya permainan ini. Berbeda dengan catur yang bisa punya 20 jenis kemungkinan dalam setiap langkah. Go lebih rumit sepuluh kalinya. Demis Hassabis, salah seorang juara catur cilik yang kini berada di belakang Deepmind.ai, mengundang Fan Hui, seorang pemain Go professional yang juga merupakan juara tingkat Eropa.
Fan Hui yang tinggal di Perancis diundang untuk mendatangi markas Deepmind.ai yang berada di Inggris. Awalnya, Hui sedikit mengganggap remeh saat diundang untuk bertanding. Ternyata, program kecerdasan buatan ini berhasil mengalahkannya dengan telak. Ini sekaligus membawa Hui kedalam sensasi media. Ia menjadi pemain professional Go pertama yang dikalahkan oleh AlphaGo. Menerima kekalahannya, ternyata perjalanan belum berhenti disini. Hui malah direkrut untuk membantu mengembangkan program ini. Tujuan puncaknya adalah: melawan si juara dunia.
Cerita yang dihadirkan dalam film ini, hampir mengingatkan saya saat Kasparov bertanding dengan program buatan IBM yang bernama Deep Blue. Kalau di film ini, kita akan berkenalan dengan Lee Se-Dol, pria asal Korea Selatan yang merupakan juara dunia Go. Jika Fan Hui mungkin punya gelar 2p, Se-Dol berada dalam level 9p. Film ini akan mengajak penonton ke dalam sebuah ringkasan pertandingan lima babak tersebut.
Film yang disutradarai oleh Greg Kohs ini memang terkesan sengaja digarap selayaknya sebuah liputan. Bedanya, cerita yang dihadirkan lebih lengkap dan matang. “Alphago” menawarkan behind-the-scene dan juga beragam exclusive footage yang tidak ditampilkan saat pertandingan tersebut ditonton secara langsung dari seluruh dunia. Dalam perjalanan ceritanya, film ini juga menghadirkan banyak komentator. Mulai dari para programmer Alphago, rekan sejawat Lee Se-Dol, akademisi, hingga pemain professional Go.
Dalam durasi 90 menit, kita akan diperlihatkan bagaimana Lee Se-Dol akan mewakili manusia untuk menandingi kecerdasan buatan. Ia tidak bermain seperti biasanya. Melawan kecerdasan buatan tidak membutuhkan aksi untuk mengacaukan emosi pesaingnya. Se-Dol yang dikenal sangat apik dengan permainan abstraknya yang mengejutkan, mau tidak mau harus menyesuaikan lawannya yang bergerak dengan ratusan kalkulasi dan variabel.
Saya merasa “AlphaGo” seakan menyentil kita. Ketika kita mampu untuk membuat kecerdasan buatan guna “memudahkan” kita dalam mengevaluasi beragam langkah dengan baik, ternyata mampu menjadi boomerang lain ketika di satu sisi kita tidak mampu untuk menguasainya kembali.
Thanks to Lin Wey from PMK BNC and Moxie Pictures for providing the screener. This movie won “Knowledge is Power Science” Prize at Traverse City Film Festival.