Setiap manusia pasti punya rasa takut. Takut akan hewan, takut akan situasi, hingga takut dengan ‘makhluk halus’ (baca: setan, hantu, dsb.). Kali ini, melalui “It,” penonton akan diajak bernostalgia dengan cerita horor karangan Stephen King yang untuk pertama kalinya diangkat ke layar lebar. Juga, kembali ke 80-an sekaligus dengan “New Kids on the Block.”
Cerita film ini bersetting di Derry, Maine, sebuah kota fiksional yang sering dijadikan King pada latar cerita-ceritanya. Disana hiduplah 7 orang remaja, yang bersatu karena kesamaan penderitaan mereka: sama-sama ‘di bully.’ Awalnya kelompok ini hanya terdiri dari 4 original members. Pertama, ada Bill Denbrough, diperankan Jaeden Lieberher, yang punya kelemahan dalam berbicara. Ia selalu bertutur dengan sedikit kegagapan. Kedua, ada Richie Tozier, diperankan oleh Finn Wolfhard, nerd yang cukup vokal di dalam kelompok. Ketiga, Stanley Uris, seorang anak rabi yang diperankan oleh Wyatt Oleff. Keempat ada si anak mami, Eddie Kaspbrak, yang diperankan oleh Jack Dylan Grazer.
Tidak lama kemudian, bergabunglah 3 personil berikutnya. Ada Beverly Marsh, Ben Hanscom, dan Mike Hanlon. Ketiganya yang diperankan oleh Sophia Lillis, Jeremy Jay Taylor dan Chosen Jacobs ini juga mengalami kekerasan. Ada yang disiram limbah, dipukuli, sampai ditusuk di perutnya. Pertemuan ketujuhnya kemudian menjadi awal berdirinya The Losers Club, sebuah sebutan yang mereka buat sendiri.
Di masa tersebut, terdapat misteri ketika mulainya menghilang beberapa anak tanpa jejak. Salah satunya adalah Georgie Denbrough, adik Bill yang diperankan oleh Jackson Robert Scott. Georgie hilang saat Ia bermain dengan perahu kertasnya. Hilangnya anak-anak ini ternyata tidak menjadi sebuah momok. Berita anak hilang yang baru seakan menenggelamkan berita sebelumnya, dan diperlakukan seperti sebuah hal yang biasa.
Tidak hanya oleh sebab sama-sama di bully. Ternyata, ketujuh remaja ini juga menjadi target makhluk yang dikenal sebagai The Clown Pennywise aka It, yang diperankan oleh Bill Skarsgård. Pennywise akan menghantui di kala mereka seorang sendiri, dan menyerang dengan ketakutan terbesar mereka.
Film ini disutradarai oleh Andrés Muschietti, sutradara asal Argentina yang sebelumnya telah mengarahkan “Mama.” Ia sendiri sebetulnya melanjutkan proyek film ini yang dimulai sudah sejak 2009 silam. Muschietti sendiri baru memulainya sejak 2015, dan mengubah setting ceritanya, yang sebetulnya bersetting di tahun 1957-1958 menjadi 1984-1985. Juga, selama proses syuting, Ia tidak mempertemukan para aktor belianya dengan sosok Pennywise. Ia ingin menciptakan suasana yang benar-benar horor pada pandangan pertama. Ternyata, treatment yang dilakukan Muschietti ini berhasil. Ya, berhasil menakutkan saya.
Awalnya saya merasa sedikit janggal dan sedikit remeh. Apa sih yang menyeramkan dari sosok seorang badut? Memang sih, kadang anak-anak kecil suka takut dengan karakter yang ‘lucu’ ini lewat aksi mereka yang jenaka sekaligus dandanan tebal mereka. Saya hanya menerka, mungkin film ini yah selevel dengan film boneka-boneka horor sebelumnya yang cuma ‘ngagetin’ saja. Ternyata, badut yang dimaksud film ini benar-benar menyeramkan. Tepatnya, lebih seram dari “The Conjuring” ataupun “The Exorcist.”
Lagi, jangan tertipu dengan badut Pennywise. “It” punya sematan rating R. Tidak heran, banyak adegan sadis dan brutal disajikan film ini. Jangan melihat unsur pemerannya yang masih remaja, balon merah, ataupun anak berjaket kuning. Semuanya hanya menipu. Yang anda saksikan adalah rentetan serangan badut yang menyeramkan, yang akan menyerang target ciliknya dengan memancing rasa takut terbesar mereka. Hal inilah yang membedakan ‘It’ dengan dunia perhantuan lainnya.
Bicara ceritanya, film ini sedikit mengingatkan saya dengan karangan King yang lain, “Stand By Me.” Saya lumayan menyukai penggarapan drama film ini, dengan menyalipnya kisah percintaan dan persahabatan, lewat dialog-dialog dan candaan khas remaja. Tapi mungkin kadang terasa cukup kelewatan. Misalnya, saat adegan ketujuh dari mereka yang membuat janji dengan saling menyatukan telapak tangan mereka yang sengaja dilukai dengan pecahan kaca.
Seperti film horor pada lazimnya, adegan-adegan yang mengejutkan akan hadir. Tapi, treatment yang ditampilkan film ini akan sedikit menyeramkan. Kadang saya merasa sound di film ini cukup sedikit berlebihan untuk dramatisasinya, tapi disinilah yang jadi keunggulan film ini. Belum lagi ditambah plot yang menawarkan aksi kaget tanpa henti. Jadinya, buat yang penakut, siap-siap untuk tutup mata dan telinga.
Two big thumbs up for Bill Skarsgård! Putra keempat Stellan Skarsgård ini memberikan sebuah pengalaman menonton yang berkesan. Penampilannya sebagai Pennywise mungkin patut dijadikan sebagai salah satu sosok iconic horror dari dekade ini. Saya masih teringat bagaimana Georgie bertemu dengan Pennywise, lewat matanya yang menyala dan dandanan tebal yang tiba-tiba muncul dari balik selokan. Tampilannya mungkin mau se-jenaka Joker, tapi Ia hadir dengan gigi yang lebih sadis dari piranha ataupun alien. Kombinasi yang tidak terduga, dan Skarsgård berhasil menghadirkan suasana horor yang terasa begitu natural pada target-targetnya.
Walaupun tidak memberikan efek parno setelah menyaksikannya, perlu saya akui “It” adalah tontonan terhoror saya so far di tahun ini. Sebuah kejutan yang tidak boleh dipandang remeh dan akan mengecoh anda. Never ever try to underrated this horror. Never!