Bayangkan terjemahan judul film ini: sarang dari cacing putih. Cacing putih? Yang pertama kali terbayang oleh saya ada dua kemungkinan premis: pertarungan di sarang cacing putih yang terdiri dari ribuan cacing putih kecil; atau pertarungan di sarang dengan seekor cacing putih raksasa. “The Lair of the White Worm” akan mengajak penonton untuk masuk ke dalam kisah horor yang ternyata terasa tidak nyambung dengan judulnya. Benerah deh!
Cerita film ini terpusat di salah satu daerah di Inggris, Derbyshire. Disana ada seorang arkeolog muda, bernama Angus Flint, diperankan oleh yang Peter Capaldi, yang sedang melakukan penggalian di depan halaman sebuah B&B tempat Ia tinggal. Ia menemukan sebongkahan fossil yang masih dicurigainya. Fossil ini diduga merupakan tengkorak dari cacing d’Ampton, yang merupakan legenda disana.
Disaat yang bersamaan, pemilik B&B tersebut, kakak beradik Mary dan Eve, yang diperankan oleh Sammi Davis dan Catherina Oxenberg, juga sedang mengalami tragedi. Kedua orangtua mereka masih berstatus hilang dan sedang dalam proses pencarian. Suatu saat, keduanya mengajak Angus untuk mendatangi salah satu local annual event yang diselenggarakan oleh James d’Ampton, salah satu keluarga penerus d’Ampton yang diperankan oleh Hugh Grant.
Misteri mulai terkuak ketika adanya kedatangan polisi ke rumah mereka. Sambil membawa sebuah jam saku milik sang Ayah, Mary dan Angus semakin tertarik untuk meneruskan pencarian yang sempat terhenti. Akan tetapi, ketika hilangnya fosil dan munculnya kehadiran Lady Sylvia Marsh, yang diperankan oleh Amanda Donohoe, ternyata membawa penonton ke cerita seram film ini.
Ken Russell, sutradara yang sebelumnya dikenal dengan “Women in Love”-nya ini, menyajikan sebuah adaptasi bebas dari novel berjudul sama karangan Bram Stoker. Stoker sendiri merupakan salah seorang pengarang yang mungkin lebih kita kenal dengan novel “Dracula”-nya, yang sempat di filmkan lewat judul “Bram Stoker’s Dracula” di tahun 1992 oleh Francis Ford Coppola. Kembali lagi ke Russell, sutradara asal Inggris ini berbekal dengan kisah tersebut mengeksplorasi dan menambahkan segala obsesi utamanya di film ini: seksualitas, simbol gereja, dan sedikit sexploitation.
Kalau menyaksikan film monster lainnya, kita akan melihat adegan monster tersebut memangsa satu per satu targetnya hingga tersisa si pemeran utama. Berbeda dengan film ini, monster utama malah tidak muncul sering-sering, hanya sekali. Sisanya, karakter antagonis Lady Sylvia yang beraksi, ditambah serangan para penerima kutukan. Itulah mengapa saya heran karena seakan tidak adanya korelasi yang jelas antara judul dengan ceritanya. Apalagi saat Anda akan menyadari kalau ‘white worm’ yang dimaksud tidak ‘white’ seperti namanya.
Film yang merupakan salah satu produksi dari Vestron Pictures ini memang kurang sukses di Box Office. Film ini harus menahan pil pahit dengan pendapatan yang tidak sampai dari setengah budget film ini. Walaupun terbilang tidak sukses, unsur weird yang kental di film ini menjadikannya salah satu cult horror of the 80’s yang wajib anda tonton. Katanya… Buktinya, produser film ini, mendiang Dan Ireland, menyebutkan kalau film ini adalah salah satu film terbaiknya. Walaupun Ia mengakui kalau film ini juga merupakan film terburuk buat Hugh Grant. Yah, Grant memang kaku dan amatiran sekali di film ini.
Bicara akting pemainnya, yang menurut saya paling total adalah Amanda Donohue. Ia berhasil memerankan karakter yang awalnya dibuat untuk Tilda Swinton. Akan tetapi karena keenggannya Swinton dengan peran ini, seperti menghidupkan kesan cult pada karakter yang diperankan Donohue. Analogi sederhananya, seperti kita teringat dengan Suzanna dengan karakter ‘sundel bolong’-nya, tapi dengan jumlah penampilannya yang cuma sekali saja (tidak sebanyak Suzanna). Only one, but still memorable for me.
Banyak momen aneh di film ini. Mulai dari ‘penglihatan-penglihatan’ yang terbilang menuai kontroversi ketika memadukan simbol salib dengan ular, belum ditambah dengan adegan penyerangan dan pemerkosaan para biarawati. Begitupun dengan adegan ‘mimpi di pesawat’ yang punya suasana menggoda sekaligus mau menghipnotis karakternya. Pada akhirnya, Russell menghadirkan sesuatu yang terbilang tidak biasa.
Tapi, ini bukan jenis film yang saya gemari. Saya merasa kurang mengena dengan kesan lucu yang kental dengan suasana sexual humor ditambah British accent yang memudarkan kejenakaannya. Setidaknya film ini masih bisa membuat saya tertawa kecil. Itupun hanya satu kali. Tepatnya ketika Lady Sylvia tiba-tiba menari saat Ia mendengar suara harmonika yang dimainkan Kevin. Dengan pakaian yang super minim, Amanda Donohue menarikan gerakan yang tidak tearah, tidak jelas mau kemana, dan membuat saya melihatnya seperti benar-benar bingung pada adegannya sendiri. Secara keseluruhan, “The Lair of the White Worm” seperti menghadirkan komedi yang berasal dari kekurangannya, dengan segala ketidakjelasannya dan berhasil membuatnya sebagai one of respectable horror versi Roger Ebert. But, again, it not works for me at all…