Random. Satu alasan singkat yang membawa saya menyaksikan “Troll” dan masuk ke dalam dunia penuh muppet mengerikan. Tanpa ekspektasi yang terlalu tinggi, saya berniat menghabiskan waktu selama 82 menit. Hasilnya: saya benar-benar menghabiskan waktu. Benar-benar. Huh!
Cerita film ini berawal dari kepindahan sebuah keluarga ke sebuah apartemen. Keluarga Potter, terdiri dari kombinasi keluarga yang ideal: satu putra dan satu putri. Di hari pertama mereka, Anne, sosok Ibu yang diperankan oleh Shelley Hack, menugaskan putra tertuanya untuk menemani sang adik. Buat Harry Potter Jr., yang diperankan oleh Noah Hathaway, menyaksikan Star Trek akan lebih jauh mengasyikkan daripada menjaga adik satu-satunya. Wendy Anne, si bungsu yang diperankan oleh Jenny Beck, akhirnya memutuskan bermain sendiri dengan bolanya.
Meninggalkan Wendy Anne bermain sendirian ternyata malah membawa malapetaka buat keluarga Potter. Ia diculik oleh Torok si troll, monster katai dengan rupa yang sangat buruk. Monster ini kemudian bertransfigurasi menjadi Wendy Anne sambil mulai menyerang satu per satu penghuni gedung apartemen mereka.
Bicara ceritanya, “Troll” tidak menjanjikan sebuah kisah yang menjanjikan. Dengan mudah penonton dapat menebak ceritanya. Mulai dengan teror-teror satu per satu penghuni apartemen oleh sosok Wendy Anne yang semakin misterius. Belum lagi ditambah dengan kecurigaan Harry Jr. yang cuma terkesan jadi bumbu tanpa arti. Sama, ditambah kehadiran salah satu penghuni apartemen, Eunice St. Clair, yang diperankan oleh June Lockhart. Kehadiran Eunice yang tidak normal seperti penghuni lainnya, terutama dengan adanya sosok monster seperti jamur yang hidup di dalam apartemennya.
Cuma yang sedikit membuat saya agak aneh adalah lewat hubungan Harry Jr. dengan Eunice yang seperti mengarah ke percintaan secara implisit. Ini diperkuat saat Eunice sempat berkata jika Ia tidak akan membiarkan ulah Torok bila mereka mengganggu Harry. Sehelai rambut pun. Malang. Omongan yang terasa berisi ini ternyata tidak seperti yang saya duga. Ujung-ujungnya cuma karakter Eunice hanya menambah kesan medieval di film ini sekaligus menambah durasi cerita.
Ada satu pertanyaan yang membuat saya heran dengan ceritanya. Jika Torok sudah menjadi penjaga di tempat laundry, mengapa Ia baru beraksi saat kedatangan Wendy Anne? Toh, Ia punya kekuatan hebat dari cincin hijaunya. Ia bisa beraksi dan membantai satu per satu targetnya.
Yang pasti saya tidak sampai menutup mata saat adegan “horror”-nya. Kebayang kan level horrornya… Cuma, tema horror seperti ini memang sedang ‘musim’ di era tersebut. Sebut saja franchise “The Critters,” “Ghoulies,” “Gremlins” hingga “Puppet Master.”
Dari tiga genre utama film ini, film ini lebih mengarah ke horror. Penonton diajak untuk menyaksikan ulah Torok dan kehadiran teman-temannya. Ini seperti menyaksikan versi the underground of ‘The Muppets.’ Akan ada banyak puppet monster dengan dengan wujud buruk rupa dan menjijikan. Mereka akan menghiasi layar anda, sambil berlatar hutan buatan. Andai ini benar terjadi, pasti ini benar-benar nightmare buat saya. A real nightmare…