Setelah absen selama 4 tahun, Park Chan-Wook kembali menghadirkan sebuah film bermutu dari negeri ginseng. “The Handmaiden” akan berkisah tentang sebuah romansa yang dilatarbelakangi untuk mendapatkan kekayaan dari seorang putri bangsawan. Film yang dirilis pada Cannes Film Festival 2016 sebagai in competition untuk Palme D’Or ini ternyata punya konten yang kuat akan lesbianisme, hal yang cukup jarang disentuh oleh perfilman Korea Selatan.
Sook-Hee, diperankan oleh Kim Tae-Ri, adalah seorang wanita muda yang berasal dari keluarga penipu. Ia sudah terlatih untuk mencuri dan menipu. Keluarganya merawat bayi-bayi terlantar, lalu kemudian dijual kepada orang-orang Jepang. Suatu ketika, rumah mereka dikunjungi Count Fujiwara, seorang penipu asal Korea, yang diperankan oleh Ha Jung-Woo. Fujiwara menceritakan rencananya sebagai bangsawan Jepang jadi-jadian, untuk merebut harta seorang putri bangsawan. Kabarnya, putri bangsawan ini akan dinikahi oleh paman kandungnya yang selama ini merawatnya. Dengan berbekal iming-iming komisi, Sook-Hee pun ikut berpartisipasi dalam rencana aksi jahat ini.
Setelah menempuh perjalanan dan meninggalkan keluarganya, Sook-Hee bekerja sebagai asisten untuk putri bangsawan ini. Ia bernama Hideko, diperankan oleh Kim Min-Hee, seorang perempuan yang terlihat rentan dan misterius. Menariknya, gerak-gerik Hideko ternyata berhasil memikat Sook-Hee. Di saat yang sama, Count Fujiwara sedang berupaya untuk merebut hati Hideko dengan caranya yang lumayan frontal. Melihat kelakuan Fujiwara yang demikian, Sook-Hee mulai kembali terpikir untuk melakukan rencana awalnya, sebab Ia sudah menyimpan hal yang lain.
Park Chan-Wook menghadirkan sebuah cerita drama yang cukup panjang, hampir lebih dari dua setengah jam. Kisah cerita film ini menariknya dibagi ke dalam tiga babak, yang sebetulnya adalah pengulangan berlanjut dengan penceritaan dari sudut pandang yang berbeda. Cerita film ini sebetulnya berasal dari sebuah novel tahun 2002 berjudul “Fingersmith” yang ditulis oleh Sarah Waters, yang sempat masuk shortlist untuk Orange Prize dan Man Booker Prize. Chan-Wook kemudian mengadaptasi ceritanya yang bersetting di era Victoria dan dirubah ke dalam masa Jepang-Korea di era 30-an.
Dari segi plot yang ditawarkan, pada babak pertama, Chan-Wook memberi banyak pertanyaan buat saya yang sebetulnya cukup terfokus dalam setiap detil adegan yang diperlihatkan. Untung saja hal ini terjawab pada babak berikutnya melalui banyak kejutan yang dihadirkan. Walaupun tema cerita yang ditawarkan film ini memang khusus dewasa, karena cukup kental dengan nuansa erotis, namun Chan-Wook mengemasnya sebagai sebuah cerita yang tidak murahan, berkelas dan megah.
Bila anda pernah menyaksikan “Blue Is the Warmest Color,” sebuah film lesbian peraih Palme D’Or yang terbilang sederhana dan bercerita dengan penuh emosi, “The Handmaiden” hadir dengan penyajian visualisasi yang lebih kaya, cenderung lebih eksplisit dan masih diselipkan beberapa adegan yang buat saya cukup disturbing. Disturbing yang saya maksud adalah adegan memotong jari yang muncul di babak ketiga film ini.
Bicara penampilan pemainnya, film ini dibintangi oleh Kim Min-Hee, yang sebelumnya sempat saya saksikan dalam “Actresses.” Min-Hee berhasil memikat saya lewat pesona yang Ia hadirkan sebagai the unexpected character di film ini. Lain halnya dengan Ha Jung-Woo, yang juga aktor dalam “The Berlin File.” Jung-Woo benar-benar lihai untuk menjadi the playmaker dalam ceritanya, yang sebetulnya cukup berperan penuh untuk mengatur emosi penonton dan jalan ceritanya.
Yang tidak terduga buat saya malah dari sosok Kim Tae-Ri, yang memerankan karakter Suk-Hee. Tae-Ri yang memulai debut featured film pertamanya ini berhasil melewati proses seleksi dari 1,500 kandidat. Menurut saya, seleksi ini dapat dikatakan berhasil. Tae-Ri sudah membuktikan lewat penampilannya yang all-out, mulai dari ekspresi Sook-Hee yang mampu menuai simpati saya hingga adegan seksnya bersama Min-Hee yang terbilang terlalu berani.
Film ini digarap luar biasa. Penonton akan disuguhkan latar belakang yang menarik, mulai dari pemandangan alam yang hijau hingga bangunan-bangunan yang kental dengan budaya Jepang. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah set perpustakaan yang punya panggung kecil dengan kolam-kolam didalamnya. Desain produksi yang dihadirkan Ryu Seong-Hie benar-benar terbilang meyakinkan. Selain itu, kostum dan make-up film ini berperan luar biasa. Ini terlihat jelas dari berbagai macam pakaian rancangan Jo Sang-Gyeong yang dikenakan Hideko, hingga model rambut dan make-up dari Song Jong-Hee yang menambah keartistikan film ini. Tidak ketinggalan, tata sinematografi yang dilakukan Chung Chung-Hoon berhasil untuk menangkap seluruh keunggulan ini.
Sebagai catatan tambahan, film ini benar-benar khusus dewasa. Chan-Wook menghadirkan sebuah adegan seks eksplisit lesbian dan dalam beberapa adegan pun cukup kental dengan hal-hal berbau demikian. Buat saya, film ini masih lebih condong sebagai sebuah arthouse, ditinjau dari esensi cerita yang ingin dihadirkan. Sebagai penutup, “The Handmaiden” benar-benar memukau, megah dan tak terduga. Sebuah pengalaman menonton yang luar biasa.