Pernah menyaksikan “Kramer vs. Kramer? Drama klasik keluarga, dibintangi Dustin Hoffman dan Meryl Streep yang berkisah tentang perebutan hak asuh anak. Hebatnya film ini berhasil meraih film terbaik di tahun tersebut, dan membuktikan kisah hak asuh anak punya potensi menarik untuk digali. Berbeda dengan versi normal-nya, “I Am Sam” berkisah tentang seorang pria autis yang berupaya mempertahankan hak asuh putri tunggal yang selama ini dirawatnya.
Pria itu bernama Sam Dawson, diperankan oleh Sean Penn. Film ini diawali seperti saat Ia memulai kerja setiap pagi di Starbucks. Ia menata tumpukan berbagai jenis gula dan krim, di setiap meja. Suatu kali, disaat Ia selalu bersemangat untuk memuji setiap pesanan pelanggannya, Ia tiba-tiba bergegas ke sebuah rumah sakit. Tanpa kisah yang jelas, seorang wanita kemudian melahirkan seorang bayi perempuan. Sam menamainya Lucy, diperankan oleh Dakota Fanning, setelah terinspirasi dengan lagu-lagu The Beatles.
Tragisnya, sang Ibu tiba-tiba meninggalkan Sam dan Lucy. Sam yang autis dengan segala keterbatasannya berusaha untuk merawat anak bayi ini. Ia kemudian dibantu pula dengan tetangganya yang tidak mau direpotkan, Annie Cassell, seorang guru piano yang diperankan Dianne Wiest. Lucy pun berkembang menjadi seorang putri yang pintar. Sam tidak hanya menjadi ayah baginya, namun teman bermain yang menyenangkan untuknya. Buatnya, “You’re not like other daddies… Don’t be sorry. I’m lucky.”
Judul film berdurasi 132 menit ini terinspirasi dari opening sentence buku dongeng Dr. Seuss, “Green Eggs and Ham.” Kisahnya sendiri dikemas oleh Jessie Nelson dan Kristine Johnson, dari hasil penelitian mereka bagi para penyandang disabilitas intelektual di L.A. GOAL. Hasilnya, drama keluarga yang dihadirkan selalu berusaha untuk memecah tangis para penontonnya, namun gagal buat saya. Drama ini terasa begitu panjang.
Bicara aktingnya, Sean Penn menampilkan sebuah penampilan yang cukup sulit tergantikan. Sam Dawson adalah sebuah karakter unik yang membutuhkan faktor kenekatan, ketidakmaluan, dan kegilaan. Walaupun dibalik pemikirannya yang sederhana, Ia punya jiwa murni yang kadang tidak tersampaikan buat orang lain. Menariknya, Penn berhasil meraih nominasi untuk Best Actor in Leading Role, untuk perannya yang sayangnya cukup tenggelam dengan esensi ceritanya.
Saya malah cukup terpana dengan penampilan Dakota Fanning. Fanning memperlihatkan sebuah kualitas bintang yang membuat saya tidak pernah bosan untuk melihatnya di film ini. Lain dengan Michele Pfeiffer, yang saya rasa karakternya lebih membawa aura negatif dari ketidakharmonisan kehidupan keluarganya. Namun, Pfeiffer cukup jadi pemanis yang lumayan mengurangi kebosanan.
Film ini banyak menghadirkan lagu-lagu The Beatles, dan juga berbagai macam anekdot-anekdot yang disertakan dalam dialognya. Jessie Nelson, sutradara film ini, menghadirkan tontonan yang cukup didominasi dengan pewarnaan biru sepanjang film, dan memperlihatkan kehidupan perkotaan tahun 2000-an dengan dominasi beberapa café and restaurant chain, hingga menghadirkan teknologi voice command untuk menelepon yang kala itu cukup ‘wah’. Sayang saja, film ini lumayan bertele-tele, sehingga Anda akan kurang berempati pada sosok utamanya. Alhasil, timbunan penderitaan itu tidak berhasil menjadi sebuah kesedihan dan hanya melelahkan pada akhirnya.