Ketertarikan saya dimulai ketika melihat poster ini, yang memperlihatkan seorang penari pria yang sedang menatap ke arah penonton sebuah aula. “Ballet 422” adalah dokumenter yang menjelaskan berbagai kerumitan dalam menggarap sebuah produksi ballet kelas dunia.
Pria itu ternyata bernama Justin Peck. Peck adalah satu dari 91 penari full-timer New York City Ballet. Ia adalah salah seorang dari Corps de ballet, sebuah sebutan bagi para penari yang berada dalam peringkat terbawah. New York City Ballet merupakan salah satu dance companies yang paling kreatif di dunia. Mereka memiliki orkestra, penari-penari full timer, kru produksi, kru penataan cahaya, hingga bagian produksi kostum.
Awalnya, saya mengira film ini akan menceritakan perjuangan Peck sebagai one of the lowest dancer. Ternyata tidak.. Peck merupakan orang kedua sepanjang sejarah New York City Ballet yang menjadi koreografer tetap company ini. Pada tahun 2013, Ia ditugaskan untuk membuat sebuah produksi Ballet ke 442 dalam waktu 2 bulan. Film inilah yang merekam penggarapan Peck.
Jody Lee Lipes, sutradara dokumenter ini, berusaha menghadirkan sebuah penggambaran apa adanya. Tidak ada drama dan tidak terkesan dibuat-buat. Lipes menghadirkan sebuah tayangan tanpa narasi, dan minim informasi. Ia hanya memasukkan beberapa black screen sebagai penjelas dan jadi beberapa selingan antar periode. Sisanya, Anda “dipaksa” untuk menikmati yang dihadirkan, dan mengambil kesimpulan sendiri.
Jujur, saya menikmati gaya penceritaan yang dihadirkan. Saya menyukai drama, namun tanpa drama seperti di film ini juga menarik. Tokoh utama kita juga tidak punya drama. Peck adalah sosok yang cukup toleran, penurut, tidak idealis, yang sebetulnya tidak terlalu menggambarkan karakter keras. Namun, dari adegan-adegan yang diperlihatkan, terlihat jelas kalau setiap departemen juga punya “idealis” masing-masing, dan berperang secara dingin. Tapi, semua tidak jadi drama. Andai saja Peck punya watak yang keras, mungkin film ini akan lebih dipenuhi drama-drama…
Saya lumayan menikmati film ini yang dipenuhi dengan adegan-adegan latihan koreografi, pengaturan panggung, latihan musik, hingga momen pertunjukan mereka. Periode waktu yang digunakan juga terbilang simple: M-2, M-1, H-14, H-7, H-1, H. Lipes juga menariknya, yang melakukan dokumentasi dengan gaya handheld, masih bisa mencuri sudut-sudut yang terbilang menarik. Salah satu yang cukup berkesan adalah ketika adegan latihan musik, dimana Lipes terfokus pada permainan ekspresi konduktor sepanjang lagu yang dimainkan.
Dalam catatan saya, ada 3 ballet yang ditampilkan. Pertama, “Glass Pieces,” yang menggunakan musik “Rubric” karangan Philip Glass dengan koreografi Jerome Robbins. Lalu kedua adalah buatan Peck yang berjudul “Paz de la jolla,” yang jadi latar cerita film ini dan menggunakan “Sinfonietta La Jolla”-nya Bohuslav Martinὑ. Terakhir, adalah “Concerto DSCH” yang merupakan koregrafi dari Alexei Ratmasky.
75 menit bukanlah waktu yang cukup panjang. Film yang dirilis di Tribeca Film Festival ini tidak membuat saya bosan dan malah jadi ketagihan. Film ini malah membuat saya tertarik untuk menghadiri sebuah pagelaran ballet suatu waktu. Ternyata, tidak hanya memproduksi teater saja yang sulit, memproduksi pentas ballet ternyata juga tidak mudah.