Pernah mendengar nama James Dean? Dean adalah seorang aktor Hollywood yang tutup usia akibat sebuah kecelakaan di saat Ia baru menanjaki kariernya. Ia hanya bermain dalam 3 film yang kemudian fenomenal: “Rebel Without a Cause”, “East of Eden”, dan “Giant.” “Life” berkisah mengenai kisah perjalanannya bersama Dennis Stock untuk membuat sebuah konten pictorial bagi majalah Life, salah satu momen di akhir hidupnya.
Dennis Stock, diperankan oleh Robert Pattinson, suatu ketika diundang untuk menghadiri sebuah pesta yang diadakan seorang sutradara bernama Nicholas Ray. Disanalah pertemuan pertamanya dengan Jimmy aka James Dean, yang diperankan oleh Dane DeHaan. Pertemuan perdana mereka berujung dengan undangan Dean untuk Stock agar menghadiri screening filmnya. Selain itu, mereka pun sepakat untuk saling bertemu di sebuah kafe.
Stock melihat sosok Dean seperti suatu yang berbeda. Di sebuah pertemuan kafe yang telah direncanakan, Stock menawarkan sebuah kerjasama diantara mereka berdua. Ia akan melakukan photo session pada Dean, guna meningkatkan popularitasnya. Buatnya, ini merupakan misi tunggal buatannya sendiri untuk dapat dipublikasikan dalam Life.
Tata pengambilan gambar yang digawangi Charlotte Bruus Christensen, menghadirkan beberapa permainan teknis kamera yang menarik buat saya. Misalnya, pada saat opening scene, yang ternyata merupakan nyala lampu. Ataupun, ada dalam sebuah adegan yang diambil dari sudut belakang pintu, yang memberikan keunikan tersendiri. Sayangnya, pada beberapa pengambilan adegan yang terkesan diam, kamera malah terlihat jelas bergoyang-goyang kecil. Ini memberi kesan kalau diambil secara manual. Ini terlihat pada scene adegan makan malam pertama mereka di Indiana ataupun saat Dean terdiam menatap kampung halamannya sambil merokok.
Dane DeHaan cukup memukau untuk jadi seorang James Dean yang melegenda, dengan interpretasi personalnya yang semakin lama membangun ketertarikan buat penonton. Walaupun dari wujudnya, DeHaan tidak semirip Dean, tapi cara pembawaannya menarik: gaya ‘slenge-an’ yang terlihat terbawa begitu saja tanpa beban, tetapi sebetulnya seakan-akan sedang menutupi sesuatu hal.
Kehidupan James Dean banyak diceritakan. Mulai dari perjalanan cintanya yang kandas bersama Pier Angeli, hingga alat musik Conga yang selalu dibawanya. Dalam suatu adegan, saya juga bertanya-tanya kalau Dean yang juga terlihat intelek is not a good speaker, but he is a good actor. Tidak hanya Dean, ternyata kisah film ini paling tidak membahas sedikit tentang latar belakang keluarganya yang merupakan sebuah keluarga religious, quaker, yang mana berbanding terbalik dengan Stock yang tidak punya kepercayaan.
Karakter Dennis Stock yang diperankan oleh Robert Pattinson lain ceritanya. Pattinson sempat mengatakan dalam sebuah interview-nya kalau Stock bukanlah sosok ayah yang baik, ini juga terlihat jelas dalam beberapa adegan fail bersama sang anak. Akan tetapi, kehadiran sosok Stock yang lebih serius, punya hal yang menarik ketika Ia melihat ada ‘faktor X’ dari seorang James Dean, melalui kehidupan dan karakternya yang belum disadari banyak pihak.
Sayang saja, cerita yang ditulis Luke Davies ini kurang mendukung mood penonton dalam membangun ketertarikan ceritanya. Kecuali, anda memang tertarik untuk melihat bagaimana cara James Dean dan Dennis Stock dalam membangun hubungan pertemanan mereka yang berawal dari inisiatif bermodus simbiosis mutualisme.
Film ini juga menghadirkan kehadiran sedikit bintang-bintang masa lalu. Mulai dari Natalie Wood, Judy Garland, Eartha Kitt, Nicholas Ray, hingga Jack Warner, sosok pemilik studio Warner Bros., yang diperankan Ben Kingsley. Bicara musiknya, Owen Pallet banyak bermain dengan suasana minimalis. Kadang hanya iringan piano satu tangan, tapi masih terbilang oke sebagai sebuah pengalih adegan ke adegan lain untuk drama seperti ini.
Saya suka cara film ini ditutup, lewat sebuah penggalan puisi yang dinarasikan oleh Dean: “We must get home!, for we have been away so long, it seems forever and a day! And oh, so very homesick we have grown, the laughter of the world is like a moan in our tired hearing, and its song as vain. We must get home! We must get home again! “ Yes, Dean, we must get home again as we can…