Berbeda dari biasanya, “The Young Messiah” mengangkat kehidupan masa kecil Yesus. Film ini diangkat dari sebuah novel keluaran 2005 karangan Anne Rice yang berjudul “Christ the Lord: Out of Egypt.” Sepanjang 111 menit penonton diajak dengan cerita Yesus Kristus yang kala itu keluar dari kota pengasingan mereka, Alexandria.
Yesus, yang diperankan oleh Adam Greaves-Neal, kala itu masih berusia 7 tahun. Ujian dari setan membuatnya terbawa ke dalam sebuah masalah: Ia dituduh telah membuat seorang anak lelaki mati. Anak lelaki itu mati karena baru saja mengganggu Yesus yang kala itu sedang bermain dengan saudarinya. Ia terjatuh akibat lemparan sebuah apel dari setan. Akibat bujukan saudarinya, Yesus diam-diam menyelinap di rumah anak lelaki tersebut yang sedang berkabung. Ia membangunkan kembali anak lelaki tersebut. Bukannya malah bernasib baik, orang-orang disana malah menyuruh keluarga Yesus untuk meninggalkan kota yang selama ini mereka diami. Perjalanan pun dimulai.
Bicara tentang ceritanya, kisahnya sendiri diambil dari Alkitab dan beberapa literatur. Coba bandingkan dengan film-film mengenai kehidupan Yesus lainnya, seperti “Kings of Kings,” “The Greatest Story Ever Told” ataupun “The Passion of the Christ,” yang banyak mengambil kisah yang sebagian besar telah terekam di Injil. Dalam Injil, tidak terlalu banyak dibahas mengenai pengasingan Yusuf dan keluarganya di Mesir. Film ini bercerita banyak tentang peristiwa-peristiwa yang tidak tertulis di Injil.
Cyrus Nowrasteh, yang menyutradarai dan menulis naskah film ini, menggarap film ini cukup serius. Terlihat dari bagaimana setting film ini yang dihadirkan, dengan set-set kota kuno, dan tidak terlalu mengandalkan CGI layak film big budget Hollywood lainnya. Salah satu yang saya sukai adalah penggambaran bukit Golgota, yang dijadikan sebagai bukit penyaliban para kriminal.
Saya menyukai score di dalam film ini yang digubah oleh John Debney. Debney yang juga sebelumnya bertanggung jawab pada score “The Passion of the Christ,” masih memberikan suasana Mediterania dalam musiknya, namun dengan porsi choir yang lebih minim dalam aransemennya.
Sayangnya, proyek yang terkesan ambisius ini, tidak secerah yang saya harapkan. Cerita film ini mengalir, tetapi begitu saja, tidak memainkan emosi penonton dengan menyeluruh. Anda mungkin akan merasa bosan dengan kedataran ceritanya yang dihadirkan.
Bicara penampilan para pemainnya, Adam Greaves-Neal perlu diapresiasi untuk memerankan sosok yang sebetulnya sulit diperankan. Begitupun cast-cast yang lain, penampilan mereka terkesan oke-oke saja, namun terasa kurang mengena. Kembali lagi, mungkin karena dari sisi penggarapan adaptasi naskah yang seakan terlupakan.
Walaupun terasa membosankan, film ini mencoba memperlihatkan unsur ‘kemanusiaan’ Yesus secara modern. Pendekatan kemanusiaan ini terlihat dari bagaimana karakter Yesus yang masih kanak-kanak hidup sebagaimana mestinya, belajar akan hal-hal baru, sebelum akhirnya Ia menyadari akan keilahiannya.