Biru biasanya diidentikkan sebagai warna dengan arti ketenangan hingga dingin. Kali ini, Abdellatif Kechiche dalam “Blue Is the Warmest Color” mencoba memberikan simbolisasi biru dengan pengartian yang berbeda. Cerita yang diangkat dari sebuah graphic novel karangan Julie Maroh, bisa dibilang cukup berhasil diposisikan sebagai salah satu film terbaik di tahun 2013.
Film ini dihadirkan Kechiche dengan gaya realistis, dengan nuansa penuh observasi dari kehidupan seorang gadis belia bernama Adele, yang diperankan oleh Adèle Exarchopoulos. Adele merupakan seorang murid literatur Bahasa Perancis di sebuah highschool di Pasteur, Perancis.
Adele sedang berada dalam masa pencarian jati dirinya. Di awal cerita, ada seorang senior yang jatuh cinta padanya. Namanya Thomas, diperankan oleh Jérémie Laheurte, yang juga merupakan kekasih Exarchopoulos di dunia nyata. Usaha Thomas yang mengejar-ngejar cinta Adele berakhir berhasil setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Menariknya, keduanya kemudian terlibat dalam sebuah adegan seksual. Namun, Adele seperti tidak menemukan sensasi yang lebih menarik dari tatapannya. Ia ketimbang lebih menikmati kegiatan masturbasinya sambil membayangkan wanita yang sempat dilihatnya.
Tidak lama, Adele memutuskan hubungannya dengan Thomas. Ia kemudian diajak oleh seorang sahabatnya yang openly gay bernama Valentin, yang diperankan oleh Sandor Funtek, ke sebuah gay bar. Setiba di sana, Ia kemudian diam-diam malah menyelinap masuk ke sebuah lesbian bar yang tidak jauh darisana. Disanalah Ia bertemu dengan Emma, diperankan oleh Léa Seydoux. Emma menghampiri Adele, yang sebelumnya sudah saling bertukar tatap mata. Sebenarnya, Emma yang berambut biru adalah fantasi Adele selama ini.
Kechiche memberikan penonton sajian penuh observasi akan kehidupan sehari-hari Adele. Dari cara Ia berpakaian, pergi ke sekolah, situasi dalam kelas, hingga menyantap Spaghetti bersama di rumah. Ini belum ditambah dengan banyaknya shot close-up yang cukup memenuhi seiisi film, yang memberi penajaman situasi buat penonton. Alhasil, tontonan yang digarap lebih dari 800 jam, berhasil dikuras hingga tersisa 3 jam. Walaupun dirasa cukup panjang, mengamati kehidupan Adele tidak berlaku demikian. Anda akan menikmati pesan emosi berjiwa muda yang disampaikannya: meledak dalam situasi yang penuh pertanyaan.
Exarchopoulos adalah bintang di film ini. Kechiche benar-benar menampilkannya apa adanya. Salah satu hal yang masih teringat dalam benak saya ketika sosok Adele sering menaikkan ke atas rambut panjangnya setiap waktu. Ini belum termasuk pengamatan akan keluarga Adele, yang bila disimpulkan berasal dari kalangan kelas menengah dengan kedua orangtuanya yang konservatif.
Kisah cinta Adele dan Emma mungkin bisa menjadi salah satu pokok bahasan disini. Mulai dari bagaimana Adele bisa menikmati oyster melalui Emma, menikmati makanan yang paling tidak disukainya. Begitupun dengan sosok Emma yang lebih dewasa, dengan kalangan relasi-nya yang lebih berintelektual. Ini belum ditambah dengan adegan seksual Adele dan Emma di sepanjang film ini, yang semakin lama mengindikasikan bahwa Adele semakin menikmati hubungannya.
Wait! Ini bukan film porno! Mungkin sebagian orang berpikir bahwa adegan nude scene keduanya dan lesbian sex yang cukup panjang ditampilkan cukup kelewatan. Tetapi balik lagi, esensi yang ingin digambarkan Kechiche akan keintiman keduanya dari sudut perspektif pria terasa berhasil. Sosok Adele benar-benar bisa menikmati pasangannya dengan nafsu mudanya yang sangat menggebu-gebu. Kesan explicit sex yang ditampil sebetulnya punya makna yang berbeda, tidak seperti blue film yang memang dikhususkan untuk meningkatkan gairah.
Terpilih sebagai salah satu official selection di Cannes Film Festival 2014, film ini berhasil memecahkan rekor baru. Steven Spielberg memberikan penghargaan tertinggi, Palme D’Or, tidak hanya untuk Kechiche, tetapi juga Exarchopoulos dan Seydoux. Ini membuat rekor baru sebagai film pertama yang aktris-nya meraih Palme D’Or sekaligus menambah daftar wanita peraih penghargaan setelah Jane Campion di tahun 1993 dengan The Piano.
Memang terkesan agak berlebihan bila Saya masih belum puas dengan film ini. Tiga jam mengikuti perjalanan Adele sebetulnya terasa masih belum cukup. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, walaupun akhirnya penonton dapat memaknai maksud simbolisasi warna biru yang diartikan sebagai hal terhangat dalam film ini.
“Blue Is the Warmest Color” adalah tontonan coming-of-age dengan lesbian theme yang paling tajam dalam ingatan saya. Bila dibandingkan dengan film-film sejenisnya, film ini merupakan yang paling vulgar, intim, realis dan berkesan. Sekali lagi, sungguh menarik menyaksikan tontonan Kechiche yang penuh pertanyaan dan ekspresi. It was an outstanding tribute to young people!