Sebuah film yang sangat indah, brilliant, dan mungkin ini salah satu yang terbaik. “Cinema Paradiso” akan membawa penonton terbawa dengan sebuah perjalanan nostalgia Salvatore, yang diperankan oleh Salvatore Cascio (anak-anak), Marco Leonardi (remaja), dan Jacques Perrin (dewasa). Cukup satu kalimat dari Ibunya, walaupun tidak langsung kepadanya, “Someone named Alfredo died, the funeral is tomorrow,” langsung membawa ingatannya kembali ke masa lalunya yang sudah berlalu.
Sutradara Giuseppe Tornatore, yang juga menyutradarai “Maléna”, menyajikan sebuah drama flashback yang tidak hanya bertabur dengan kesenangan, kesedihan, keharuan, hingga duka menjadi satu. Pengambilan gambar yang menakjubkan. Penonton akan terbawa dengan cerita film yang dikemas dengan sangat apik. Saya hanyut dengan kisah dari film ini. Begitu mengharukan, dalam dan begitu berkesan.
Salvatore, atau yang biasa dipanggil Toto adalah seseorang yang gila dengan film. Sejak kecil, Ia selalu berusaha mendatangi sebuah bioskop bernama Cinema Paradiso, yang memang hanya ada satu-satunya di Giancaldo, kota kelahirannya. Alfredo, yang diperankan dengan sangat baik oleh Philippe Noiret, adalah seorang petugas proyektor bioskop tersebut. Sebelum memutar sebuah film kepada penduduk tersebut, Ia harus mengedit film-film tersebut alias menyensor semua adegan yang berbau dengan seks, atas arahan seorang pastor Adelfio di kota itu. Toto sangat tergila-gila dengan profesi itu, dengan selalu memperhatikan cara Alfredo menggunakan projektor, hingga menyimpan potongan-potongan film bekas di dalam kaleng.
Toto tinggal bersama Ibunya, yang merupakan seorang janda perang, dan seorang adik perempuannya. Awalnya Ibunya tidak menyukai dengan sikap Toto yang selalu terobsesi dengan film, namun lama-lama luntur juga. Singkat cerita, Toto bersahabat dengan Alfredo, dan Toto memiliki kesempatan untuk mendapatkan ilmu dalam menjadi seorang operator proyektor.
Suatu hari, kebakaran yang dahsyat tiba-tiba menghitamkan Cinema Paradiso. Untung saja, Alfredo, berhasil diselamatkan oleh Toto. Sayang, kedua mata Alfredo menjadi buta, dan Toto harus meneruskan profesi Alfredo. Cinema Paradiso kembali dibuka berkat Ciccio, seorang penduduk yang kaya mendadak akibat memenangkan sebuh lotere. Toto menjadi seorang operator proyektor dan terus berusaha untuk menjadi seorang sutradara. Kisah Toto juga dibumbui dengan cinta, ketika ada seorang wanita bernama Eléna yang masuk ke dalam hidupnya.
Banyak kisah yang diurai yang mengalir dengan indahnya. Suatu saat, Alfredo yang sudah semakin menua, menyuruh Toto untuk meninggalkan Giancaldo. Katanya, “We, each of us, have a star to follow. Get out of here. The land is cursed. Living here day by day… You think it’s the center of the world. You believe nothing will be change. Then you leave, a year, two years. When you come back, everything’s changed. The thread’s broken. What you came to find isn’t there. You have to go away for a long time. Many years before you can come back and find your people. The land where you were born.” Kalimat yang panjang, namun merupakan nasihat yang membuat Toto untuk mengejar cita-citanya.
Film yang bersetting di era 1940-an, masuk ke era 1950-an, dan menampilkan pemandangan kota Giancaldo dan Bioskop Cinema Paradiso, yang terus bertranformasi, hingga akhirnya runtuh 30 tahun kemudian. Kehidupan penduduknya, memberi warna tersendiri dalam mengiringi kisah flashback Toto.
Keindahan drama ini mengalir lebih dalam dan sempurna oleh berkat bantuan iringan musik brilliant dari Ennio Morricone. Morricone adalah salah satu komposer legenda, yang patut disejajarkan dengan Mancini, Barry, dan Williams. Theme song film ini akan membawa penonton semakin terbawa, terhanyut, dari alunan musik masterpiece-nya.
Film ini memang luar biasa. Special Jury Prize dalam Cannes Festival, sebuah Golden Globe sebagai film asing terbaik, hingga sebuah piala Academy Award berhasil diraih oleh film ini. Pengambilan gambar yang sangat menakjubkan, dimana terus bergerak sesuai dengan cerita, akan mampu membuat penonton tidak bosan dengan film ini, dan akan semakin menghanyutkan.
Ending yang begitu berkesan, bukan karena adegannya, tetapi makna dan maksud yang sebenarnya dari hadiah Alfredo, walaupun pada akhirnya Toto berhasil menjadi seorang sutradara, yang tidak dibahas dengan banyak dalam film ini. Tetapi, jangan sampai terlalu hanyut dengan film ini seperti saya. Teringat dengan kata Alfredo, “Life isn’t like in the movie. Life is much harder.” Betul, memang kisah di film kadang-kadang belum tentu seperti realita yang ada. Mereka hanya fiksi dan bila berasal dari kisah nyata, tidak sepenuhnya nyata.
Sebuah film masterpiece yang luar biasa indahnya, brilliant, dan sempurna. Mungkin kata-kata tersebut tidak cukup mampu menggambarkan film ini. Karena begitu baiknya mungkin. Ini adalah sebuah klasik nostalgia yang akan mengumbar sebuah kebahagiaan, cinta, hingga kesedihan dan duka dari kenangan masa lalu yang tak terlupakan.