Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Menjadi gala premiere kedua saya hadiri di tahun ini, “Sampai Titik Terakhirmu” dapat dikatakan sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini. Berangkat dari sebuah kisah nyata yang viral, penonton akan dibawa ke dalam perjalanan cinta Shella Selpi Lizah dan Albi Dwizky.
Shella, diperankan oleh Mawar Eva de Jongh, adalah kembang kompleks yang mahir bermain bola. Suatu hari, ia bertemu dengan Albi, seorang perantau dari Medan, yang mencoba peruntungan untuk menggapai mimpinya. Albi sehari-hari bekerja sebagai staf event organizer, dan tinggal di sebuah mess bersama rekan kerja lainnya. Keduanya yang sering bertemu di berbagai kegiatan sosial kompleks, membuat mereka dekat. Sampai puncaknya, ketertarikan di antara keduanya berujung menjadi sepasang kekasih.
Indahnya kisah cinta di antara keduanya mulai memasuki babak masalah ketika Shella tiba-tiba tenggelam saat sedang berenang bersama rekan satu timnya. Peristiwa naas itu menggemparkan kondisi kesehatannya setelah diberitahu dokter bahwa ia memiliki tumor di perutnya. Ia pun menjalani operasi untuk mengeluarkan tumor. Tumor berhasil diangkat, namun perjuangan Shella untuk menjadi sehat belum selesai. Kondisi ini juga sekaligus mengguncang kehidupan Albi, yang juga bagian dari support system Shella, selain keluarganya.
“Sampai Titik Terakhirmu” disutradarai oleh Dinna Jasanti, yang sebelumnya sempat menyutradarai “Laura & Marsha” serta “Zodiac: What’s Your Sign?“ Kisahnya digarap Evelyn Afnilia dan diadaptasi dari cerita Albi dan Shella. Dalam gala premiere, Evelyn menyampaikan bahwa pengembangan ceritanya dibuat menurut titik-titik event penting akan kondisi kesehatan Shella. Itulah mengapa ketika menyaksikan film ini, saya merasa film ini cukup jelas akan tahapan kondisi Shella sampai ia berpulang.
Cerita yang dihadirkan berdurasi 114 menit, dan terus akan menghajar penonton dengan kesedihan ini. Yang saya sukai, film ini sebetulnya bukan sekadar jualan ‘kisah cengeng,’ melainkan kepiawaian akting ensemble cast-nya yang bisa membangun empati penonton seperti saya. Saya menyukai bagaimana ensemble cast bisa hadir dengan begitu natural, membangun chemistry layaknya keluarga betulan, sampai-sampai bisa mentransfer apa yang ingin mereka sampaikan dari adegan mereka ke kursi penonton.
Sebagai contohnya adalah sosok Erna, ibu Shella yang diperankan oleh Unique Priscilla. Karakter Erna dihadirkan sebagai sosok ibu yang tangguh, yang tak kenal lelah untuk lembur demi kasbon yang diambil dari kantornya. Suatu ketika, Erna berupaya untuk menutup kerapuhannya pada anaknya yang meminta maaf karena membuat ibunya kesulitan dengan jawaban yang amat bijaksana: karena memang tugas orangtua untuk merawat kamu.
Hampir semua karakter sebetulnya menyentuh hati. Seperti sosok adik Shella, Lidya, yang diperankan oleh Yasamin Jasem, yang tidak bisa menunjukkan perasaannya secara langsung. Sosok Didin, ayah Shella, diperankan oleh Kiki Narendra, yang akan membangun keharuan dari nyanyian ‘cepat sembuh’-nya. Sampai adik yang paling kecil, Dide, diperankan oleh Shakeel Fauzi, yang paling manja dengan Shella sekaligus bisa membangun emosi yang tak terduga.
Baiknya lagi, Mawar dan Arbani, selaku cast lead dalam film ini bisa menghadirkan dialog mereka dengan pembawaan yang begitu hangat. Kehangatan ini ternyata menyebar sampai ke keluarga Shella, yang masing-masing mencoba untuk menutupi kerisauan mereka dalam menyikapi kondisi Shella yang semakin tidak baik-baik saja.
Saya amat memuji penampilan Mawar di sini. Pada film ini, ia menghadirkan sosok penderita kanker, dan mau berperan botak. Tuntutan makeup yang menghabiskan waktu selama 3 jam juga terbilang tidak sia-sia. Sepanjang film, saya terus mencari titik lemah kepala botak Shella, dan tidak ketemu. Begitu pula dengan postur Shella yang semakin kurus, upaya yang dihadirkan Mawar dalam film ini, rasanya perlu dihargai dengan minimal sebuah nominasi untuk Aktris Terbaik. Bila membandingkan dengan aksi Sheila Dara Aisha dalam “Sore“ yang begitu memikat, rasanya untuk totalitas, menurut saya Mawar jauh lebih unggul.
Baiknya pula, “Sampai Titik Terakhirmu” masih menyertakan beberapa unsur komedi yang hadir dari 3 komedian yang ceritanya adalah tetangga Shella. Penampilan yang dibawakan Siti Fauziah, yang sebelumnya saya kenal sebagai Bu Tedjo dalam “Tilik,” kembali mencuri perhatian sekaligus membuat kita terbahak-bahak dengan sebutan Inggris dalam dialek Jawa, dan tingkah lakunya sebagai si pemantik kejulidan dan tukang cepu. Baiknya lagi, pancingan tersebut semakin menambah pecah tawa saat TJ Ruth dan Onadio Leonardo ikut nimbrung dalam gosip mereka.
Lagu soundtrack yang berjudul “Bergema sampai selamanya” juga lumayan mencuri perhatian saya. Apalagi ketika lagu ini keluar di bagian akhir, yang rasanya amat pas dengan cerita film ini. Kisah cinta Albi dan Shella tak hanya membahas tentang perjuangan Shella melawan penyakitnya, tetapi juga kehidupan di sekitar Shella yang juga jadi tak baik-baik saja.
Rasanya masih belum terlambat kalau saya menobatkan “Sampai Titik Terakhirmu” sebagai film tearjerker Indonesia terbaik tahun ini. Rasanya juga, Anda perlu menyiapkan banyak tisu, sebab ada banyak adegan sedih yang membuat kita menjadi penuh haru. Oh ya, film ini amat direkomendasikan untuk menonton dengan mereka yang Anda cintai. Satu pesan yang bisa saya ambil adalah menghargai waktu dengan membuat momen bersama dengan mereka yang Anda cintai, sebelum semuanya berpisah, karena tak ada yang abadi. Sekali lagi, ini film tearjerker Indonesia terbaik tahun ini. Madly, deeply, wonderfully touching!
🇬🇧 English Version – Translated
Being the second gala premiere film I attended this year, “Sampai Titik Terakhirmu” can be said to be one of the best Indonesian films this year. Starting from a viral true story, the audience will be taken into the love journey of Shella Selpi Lizah and Albi Dwizky.
Shella, played by Mawar Eva de Jongh, is the flower of the housing complex who is skilled at playing soccer. One day, she meets Albi, a migrant from Medan, who is trying his luck to achieve his dreams. Albi works daily as an event organizer staff and lives in a mess with other colleagues. The two often meet at various social activities in the complex, bringing them closer. At its peak, their mutual attraction leads them to become a couple.
The beauty of their love story begins to enter a problematic phase when Shella suddenly drowns while swimming with her teammates. The tragic incident shocks her health condition after being told by the doctor that she has a tumor in her stomach. She undergoes surgery to remove the tumor. The tumor is successfully removed, but Shella’s struggle to become healthy is not over. This condition also shakes Albi’s life, who is also part of Shella’s support system, besides her family.
“Sampai Titik Terakhirmu” is directed by Dinna Jasanti, who previously directed “Laura & Marsha” and “Zodiac: What’s Your Sign?“ The story is written by Evelyn Afnilia and adapted from Albi and Shella’s story. At the gala premiere, Evelyn stated that the story development was made according to important event points regarding Shella’s health condition. That’s why when watching this film, I feel the film is quite clear about the stages of Shella’s condition until she passed away.
The story presented lasts 114 minutes and will continuously hit the audience with this sadness. What I like is that this film is actually not just selling a ‘sappy story,’ but rather the acting prowess of its ensemble cast that can build empathy for audiences like me. I love how the ensemble cast can appear so naturally, building chemistry like a real family, to the point of being able to transfer what they want to convey from their scenes to the audience’s seats.
For example, there’s the figure of Erna, Shella’s mother played by Unique Priscilla. Erna’s character is presented as a tough mother figure who tirelessly works overtime for the cash advance taken from her office. At one point, Erna tries to cover her fragility to her child who apologizes for making her mother struggle with a very wise answer: because it is indeed a parent’s duty to take care of you.
Almost all characters actually touch the heart. Like Shella’s sister, Lidya, played by Yasamin Jasem, who cannot show her feelings directly. The figure of Didin, Shella’s father, played by Kiki Narendra, who will build emotion from his ‘get well soon’ song. Down to the youngest sibling, Dide, played by Shakeel Fauzi, who is the most spoiled with Shella while also being able to build unexpected emotions.
Better yet, Mawar and Arbani, as the lead cast in this film, can present their dialogue with such warm delivery. This warmth apparently spreads to Shella’s family, each of whom tries to cover their worries in responding to Shella’s increasingly deteriorating condition.
I highly praise Mawar’s performance here. In this film, she presents a cancer patient figure and is willing to play bald. The makeup demands that took 3 hours are also not in vain. Throughout the film, I kept looking for weak points in Shella’s bald head and couldn’t find any. Likewise with Shella’s increasingly thin posture, the effort presented by Mawar in this film, I feel, needs to be appreciated with at least a nomination for Best Actress. When comparing with Sheila Dara Aisha’s action in “Sore“ which is so captivating, I think in terms of totality, Mawar is far superior.
Better yet, “Sampai Titik Terakhirmu” still includes some comedy elements that come from 3 comedians who are Shella’s neighbors in the story. The performance delivered by Siti Fauziah, whom I previously knew as Bu Tedjo in “Tilik,” again steals attention while making us laugh out loud with English terms in Javanese dialect, and her behavior as the instigator of gossip and rumor-monger. Better yet, those provocations add more laughter when TJ Ruth and Onadio Leonardo join in their gossip.
The soundtrack song titled “Bergema sampai selamanya” also quite caught my attention. Especially when this song comes out at the end, which feels very fitting with this film’s story. Albi and Shella’s love story doesn’t just discuss Shella’s struggle against her illness, but also the lives around Shella that also become not okay.
It still doesn’t feel too late if I crown “Sampai Titik Terakhirmu” as Indonesia’s best tearjerker film this year. I also feel you need to prepare plenty of tissues, because there are many sad scenes that make us full of emotion. Oh yes, this film is highly recommended to watch with those you love. One message I can take is to appreciate time by making moments together with those you love, before everything separates, because nothing is eternal. Once again, this is Indonesia’s best tearjerker film this year. Madly, deeply, wonderfully touching!
