🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original

“For a few hours before the sun went down, we were truly free.”

Dalam “Sinners”, musik dan sinema bukan sekadar elemen hiburan, melainkan medium ekspresi jiwa dan bentuk perlawanan yang kuat. Film ini mengajak penonton menelusuri lapisan emosi, sejarah, dan identitas melalui perpaduan visual yang memukau serta skor musik yang menggugah. Lebih dari sekadar cerita, “Sinners” adalah karya seni yang berbicara tentang kebebasan, perjuangan, dan warisan budaya—di mana setiap nada dan frame menjadi bahasa yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, sekaligus menginspirasi perubahan.

Dari awal hingga akhir, “Sinners” menawarkan pengalaman sinematik yang langka di era film franchise dan adaptasi IP. Ini adalah bentuk pure original storytelling—karya yang terasa jujur, penuh gairah, dan hidup di setiap frame-nya.

sinners
Courtesy of Warner Bros., Domain Entertaiment, Proximity Media, Australian Government, The Western Australian Film Company, British Columbia Film Commission © 2025

Sebelum masuk ke dalam filmnya, penting untuk memahami konteks di balik proses kreatif “Sinners”. Ryan Coogler mendapatkan full creative freedom di bawah Warner Bros—tanpa satu pun catatan revisi dari studio. Ia memegang hak penuh atas karyanya, menandai pergeseran kekuasaan dari tangan eksekutif studio ke tangan para seniman. Ini bukan hanya kemenangan pribadi, tetapi momen penting bagi masa depan sinema: bahwa karya sejati lahir dari kebebasan.

Kesepakatan ini muncul di tengah ketidakpastian industri: fluktuasi box office dan bisnis OTT yang masih belum stabil. Dengan rekam jejak kuat dari “Fruitvale Station” hingga “Black Panther”, Coogler berada di posisi tawar tertinggi. Jika “Sinners” sukses secara finansial maupun kritik, langkah ini bisa menjadi preseden baru yang membuka jalan bagi sineas lain untuk menuntut kebebasan kreatif serupa.

“Sinners” mengikuti kisah dua saudara kembar, Smoke dan Stack, yang kembali ke kampung halaman mereka di Mississippi untuk memulai hidup baru. Mereka membangun sebuah juke joint—tempat di mana komunitas dapat bernyanyi, berdansa, dan merayakan kebebasan. Namun tanpa mereka sadari, tempat itu justru membangkitkan roh jahat yang mengancam menghancurkan segalanya.

Film ini memadukan kekuatan visual dan musikal untuk menggali tema warisan budaya, takdir, serta ketangguhan menghadapi generational pain yang tak terelakkan. Ceritanya bergerak dengan tenang namun intens, seperti lagu blues yang menyimpan luka dalam tiap nadanya.

Autumn Durald Arkapaw menjadi sinematografer perempuan pertama yang menggunakan kamera IMAX 70mm untuk menangkap gambar di film ini. Ia memadukan dua format—Ultra Panavision 65 dan IMAX 1.43:1—bukan sebagai gimmick, tetapi untuk memperkuat imersi dan makna visual. Setiap peralihan ke 70mm menandai perkembangan cerita, baik secara tematik maupun emosional.

Kombinasi lanskap, pencahayaan, dan komposisi shot terasa organik, tidak berlebihan, dan selalu mendukung emosi yang dibangun cerita. Editing-nya pun rapi dan presisi, dengan satu sekuens musikal surealis yang direkam dalam one long take menggunakan kamera IMAX seberat 80 pon—sebuah pencapaian teknis sekaligus momen sinematik yang menakjubkan. Transisinya halus, ritmenya terjaga, dan lagu “Pale, Pale Moon” menghadirkan intercutting jumpscare paling brilian tahun ini.

sinners
Courtesy of Warner Bros., Domain Entertaiment, Proximity Media, Australian Government, The Western Australian Film Company, British Columbia Film Commission © 2025

Bagian ini pantas mendapat sorotan tersendiri. Ludwig Göransson menyatukan musik blues klasik dengan modern sound yang memberi jiwa pada film. Musik bukan sekadar latar, melainkan bagian integral dari narasi—seperti dalam Whiplash atau Babylon.

Setiap komposisi mengalir dengan presisi emosional: tahu kapan harus hadir dan kapan harus diam. Göransson seolah ikut menulis naskah bersama Coogler. Musiknya menghadirkan lebih banyak momen goosebumps dibanding sebagian besar film horor.

Yang menarik, meski berfokus pada musik kulit hitam, Coogler tidak menempatkan musik kulit putih sebagai antitesisnya. Ia menampilkan daya tariknya sendiri, menciptakan dialog budaya yang saling memengaruhi tanpa saling meniadakan.

Coogler kembali menunjukkan ketelitiannya dalam membangun karakter. Satu jam pertama ia gunakan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh dengan sabar dan terarah, membuat penonton benar-benar peduli pada mereka. Dialognya terasa alami meski berlatar 1930-an—tidak pernah terdengar artifisial atau berlebihan.

Karakter Remmick, sang antagonis, ditulis dengan kedalaman moral yang luar biasa. Ia bukan sekadar jahat, melainkan potret dilema manusia yang kompleks. Hasilnya, kisah ini jauh dari hitam-putih; penuh simbolisme dan metafora yang subtil namun berdampak.

Michael B. Jordan memerankan dua karakter kembar dengan distingsi luar biasa—dari gestur hingga pola pikirnya. Jack O’Connell sebagai Remmick tampil memukau; menakutkan sekaligus memikat. Miles Caton (Little Sammie) mencuri perhatian besar di debutnya, sementara Wunmi Mosaku, Delroy Lindo, Jayme Lawson, dan Hailee Steinfeld semuanya tampil dengan energi dan empati yang tinggi.

Tidak ada satu pun penampilan yang terasa lemah. Chemistry antar-karakter begitu hidup, membuat setiap hubungan—baik besar maupun kecil—terasa signifikan.

Desain produksi, kostum, dan props menunjukkan riset mendalam. Setiap detail—dari tekstur kain hingga benda-benda kecil di latar—terasa autentik. Dunia Mississippi tahun 1930-an benar-benar dihidupkan, bukan sekadar direka. Semuanya terasa bernapas.

Coogler kini memantapkan diri sebagai salah satu sutradara paling visioner di generasinya. Dari “Fruitvale Station” hingga “Black Panther”, ia konsisten menghadirkan kisah personal yang berpadu dengan konteks sosial yang kuat. Semua itu mencapai puncaknya dalam “Sinners”: sebuah karya yang berani, kompleks, dan tak terlupakan.

Sebagai sutradara pria, ia juga menunjukkan sensitivitas luar biasa terhadap karakter perempuan. Tokoh-tokoh wanitanya digambarkan dengan penuh dimensi, bukan sekadar objek pandang. Kamera dan narasi memberi mereka ruang untuk tumbuh dan bersuara, jauh dari male gaze yang masih kerap mendominasi Hollywood.

sinners
Courtesy of Warner Bros., Domain Entertaiment, Proximity Media, Australian Government, The Western Australian Film Company, British Columbia Film Commission © 2025

Selain itu, “Sinners” juga menampilkan bentuk maskulinitas yang jujur dan lembut—para pria di film ini tidak takut menunjukkan kerentanan. Pendekatan ini membuat film terasa hangat, manusiawi, dan emosional.

“Sinners” menampilkan representasi kulit hitam yang autentik dan penuh cinta. Ia bukan sekadar kisah trauma, tetapi juga perayaan budaya dan ketahanan komunitas. Coogler memberi ruang bagi para tokohnya untuk tampil sebagai manusia utuh—bukan stereotip.

Film ini juga berani melakukan re-appropriation terhadap budaya kulit putih dengan cara yang cerdas dan politis. Ia membahas relasi kuasa, eksploitasi, dan apresiasi budaya tanpa menggurui.

Yang paling menarik, meski sarat isu politik dan sosial, “Sinners” tidak terasa berat atau mengkhotbahi. Semua pesan disampaikan melalui emosi, bukan ceramah—itulah seni sejati dalam sinema politis.

“Sinners” adalah surat cinta untuk sinema, musik, dan kekuatan bercerita. Sebuah penghormatan bagi para leluhur, seniman, dan mereka yang memperjuangkan kebebasan melalui seni. Ia memadukan keberanian politik, keindahan visual, dan emosi mendalam menjadi satu karya yang tak mudah dilupakan. It’s bold. It’s beautiful. It’s unforgettable. Don’t miss it on the biggest screen possible—experience it while it lasts.


🇬🇧 English Version – Translated

“For a few hours before the sun went down, we were truly free.”

In “Sinners”, music and cinema are not mere elements of entertainment, but a medium of soul expression and a powerful act of resistance. The film invites audiences to witness layers of emotion, history, and identity through its mesmerizing visuals and stirring musical score. More than just a story, “Sinners” is an artwork that speaks of freedom, struggle, and cultural legacy—where every note and frame becomes a language that connects past and present, while inspiring change.

sinners
Courtesy of Warner Bros., Domain Entertaiment, Proximity Media, Australian Government, The Western Australian Film Company, British Columbia Film Commission © 2025

From beginning to end, “Sinners” offers a rare cinematic experience in an era dominated by franchises and IP adaptations. It’s pure original storytelling—authentic, passionate, and alive in every frame.

Before diving into the film itself, it’s important to understand the context behind its creation. Ryan Coogler was granted full creative freedom under Warner Bros—without a single revision note from the studio. He holds complete ownership rights, marking a significant power shift from studio executives to the artists themselves. This is not just a personal victory but a defining moment for the future of cinema: proof that true artistry thrives on freedom.

The deal came amid industry uncertainty—fluctuating box office performance and an unstable OTT business model. With an impressive track record from “Fruitvale Station” to “Black Panther”, Coogler had the upper hand. If “Sinners” succeeds both critically and commercially, it could set a new precedent, allowing other filmmakers to demand the same level of creative control.

“Sinners” follows the journey of twin brothers, Smoke and Stack, who return to their Mississippi hometown to start fresh by opening a juke joint—a place where people can sing, dance, and celebrate freedom. Unbeknownst to them, their creation awakens a dark spirit that threatens to destroy everything they’ve built.

The film weaves together visual beauty and musical power to explore themes of heritage, destiny, and resilience in the face of generational pain. The story unfolds with quiet intensity—like a blues song carrying sorrow within every note.

Autumn Durald Arkapaw makes history as the first female cinematographer to shoot on IMAX 70mm film. She combines two formats—Ultra Panavision 65 and IMAX 1.43:1—not as a gimmick, but as a meaningful visual device that deepens immersion. Each shift to 70mm marks a turning point in the narrative, both literally and symbolically.

The landscapes, lighting, and shot compositions feel organic and emotionally charged. The editing is equally precise, featuring a surreal musical sequence filmed in one long take using an 80-pound IMAX camera—an insane yet breathtaking achievement. The transitions flow smoothly, and the “Pale, Pale Moon” sequence delivers one of the most unforgettable intercutting jump scares in recent memory.

This deserves special mention. Ludwig Göransson goes all out—blending classic blues with modern sound to give the film a soul of its own. The music isn’t mere background; it’s part of the storytelling, much like in Whiplash or Babylon.

sinners
Courtesy of Warner Bros., Domain Entertaiment, Proximity Media, Australian Government, The Western Australian Film Company, British Columbia Film Commission © 2025

Each cue flows with emotional precision—knowing exactly when to enter, when to fade, when to shift. Göransson feels like a co-writer beside Coogler, creating a score that evokes more goosebumps than most horror films.

Interestingly, although the story centers on Black music, Coogler avoids the cliché of portraying white music as inferior. Instead, he acknowledges its allure and complexity, creating a dialogue between cultures rather than a divide.

Coogler once again proves his care for character and story. He uses the first hour to establish each figure with depth, ensuring the audience grows emotionally invested. The dialogue—though set in the 1930s—feels natural and unforced, never artificial or overly scripted.

Remmick, the antagonist, is written with moral complexity. He’s not simply evil, but a reflection of human conflict and temptation. The script is layered with symbolism and metaphor, subtle yet powerful.

Michael B. Jordan delivers two distinct performances as the twin brothers, capturing differences in gesture, tone, and thought. Jack O’Connell’s Remmick is menacing yet strangely magnetic. Miles Caton stuns in his acting debut as Little Sammie, while Wunmi Mosaku, Delroy Lindo, Jayme Lawson, and Hailee Steinfeld all shine in their respective roles.

No performance misses the mark. The chemistry between characters feels organic and emotionally charged, pulling the audience into their world.

The production design, costumes, and props are impeccably detailed—reflecting deep research and careful planning. Every element, from fabric texture to background items, enhances the atmosphere. Mississippi in the 1930s feels alive, not merely reconstructed.

Ryan Coogler solidifies his status as one of the most visionary directors of his generation. From “Fruitvale Station” to “Black Panther”, his work consistently blends personal storytelling with social consciousness. All of that culminates in “Sinners”—a bold, complex, and unforgettable film.

sinners
Courtesy of Warner Bros., Domain Entertaiment, Proximity Media, Australian Government, The Western Australian Film Company, British Columbia Film Commission © 2025

As a male director, Coogler also demonstrates a rare sensitivity toward women. His female characters are full, layered, and autonomous—never mere objects of the male gaze. The camera and narrative give them agency, voice, and respect.

At the same time, “Sinners” portrays masculinity in a refreshingly honest light—its male characters are emotionally open, vulnerable, and loving without losing their strength. This makes the film tender yet powerful.

“Sinners” delivers an authentic and empowering portrayal of Black identity. It’s not just about struggle or trauma, but also about joy, art, and resilience. Coogler’s characters are not stereotypes—they’re fully human, carrying the weight of history while still celebrating life.

The film also reappropriates elements of white culture with intelligence and purpose, examining power, exploitation, and appreciation without preaching.

What’s remarkable is how “Sinners” handles political themes without feeling like a lecture. Everything flows naturally through emotion and narrative, proving that art can be deeply political without losing its accessibility.

“Sinners” is a love letter—to cinema, to music, and to the power of storytelling. It honors ancestors, artists, and those who fight for freedom through art. With its blend of political courage, visual beauty, and emotional depth, it stands as one of the most ambitious and unforgettable works of the decade. It’s bold. It’s beautiful. It’s unforgettable. Don’t miss it on the biggest screen possible—experience it while it lasts.


Sinners (2025)
R, 137 menit
Action, Drama, Horror
Director: Ryan Coogler
Writers: Ryan Coogler
Full Cast: Miles Caton, Saul Williams ,Andrene Ward-Hammond ,Jack O’Connell, Tenaj L. Jackson, Michael B. Jordan, Aadyn Encalarde, Helena Hu, Yao, Sam Malone, Ja’Quan Monroe-Henderson, Li Jun Li, Delroy Lindo, Jayme Lawson, Hailee Steinfeld, Percy Bell, Omar Benson Miller, Emonie Ellison, Wunmi Mosaku, Kai Thompson, Peter Dreimanis, Lola Kirke, Nathaniel Arcand, Mark L. Patrick, Gralen Bryant Banks, Nicoye Banks, Christian Robinson, Justin William Davis, Deneen Tyler, Buddy Guy, Michael A. Newcomer, Theodus Crane
#859 – Sinners (2025) was last modified: November 4th, 2025 by Maulana Ghiffari