Berbekal dengan latar perang dingin 60-an, “Fly Me to the Moon” menjadi tontonan romance comedy 2024 yang terlihat sekilas amat memikat. Upaya pengiriman manusia pertama di bulan, yang berlomba dengan Uni Soviet kala itu, diceritakan sekaligus dengan kisah cinta dari balik kantor NASA.
Film diawali dengan memperkenalkan sosok Kelly Jones, diperankan oleh Scarlett Johansson, seorang advertiser yang sangat terampil dengan kemampuan selling-nya. Sampai suatu ketika, Ia tiba-tiba dipertemukan dengan pria misterius bernama Moe Berkus, diperankan oleh Woody Harrelson, yang mengaku merupakan salah seorang bawahan penting Presiden Nixon kala itu. Moe kemudian menawarkan Kelly sebuah proyek advertising yang Ia tidak pernah bayangkan: NASA.
Moe ternyata tahu kelemahan Kelly. Bila Kelly mau ikut serta, Ia akan membantunya untuk membersihkan catatan pribadinya yang penuh dengan banyak perubahan identitas. Kelly yang sudah terkenal dengan profesinya di New York kemudian menerima proyek ini, sehingga Ia terbang jauh-jauh ke Florida.
Setiba disana, ketika Ia sedang mencoba menikmati makan malam di suatu dinner, seorang pria mendekatinya. Ia mengaku jika Kelly adalah wanita tercantik yang pernah dilihatnya, namun Ia tidak punya banyak cukup alasan untuk dapat mengajaknya. Keesokan harinya, Kelly menyadari jika pria tersebut adalah Cole Davis, diperankan oleh Channing Tatum, yang merupakan direktur pelaksana di kantor barunya.
Sebelum terlalu jauh, “Fly Me to the Moon” sedari awal sudah memberikan disclaimer jika yang dihadirkan film ini tidak sepenuhnya nyata. Maklum, cerita pendaratan manusia pertama di bulan menuai banyak konspirasi hingga kini. Buat yang saya menyaksikan film ini tanpa ekspektasi dan banyak mencari informasi pendahulu, menjadi sedikit tertipu akan hal ini.
Cerita film ini ditulis oleh Keenan Flynn bersama Bill Kirstein dan Rose Gilroy. Greg Berlanti kemudian ditunjuk sebagai sutradara film ini seiring dengan Jason Bateman yang sebelumnya sudah mengundurkan diri dengan alasan perbedaan kreatif. Berlanti sendiri merupakan nama yang tidak terlalu asing buat saya. Sebelumnya, Ia sudah menyutradarai “Life as We Know It” dan “Love, Simon.” Sutradara yang satu ini memang lebih eksis di dunia televisi.
Apa yang ditawarkan “Fly Me to the Moon” sebetulnya terbilang salah satu favorit saya. Film ini berupaya menghidupkan ceritanya dengan membawa kita ke masa klasik Amerika, dengan suguhan lagu-lagu cinta Amerika terbaik. Sebut saja yang jadi judul film ini, “These Foolish Things,” “To Love Somebody”-nya Bee Gees, dan banyak lagi. Musik yang digawangi Daniel Pemberton ini juga terasa lumayan digarap serius dari sisi scoring-nya.
Bagian menawan “Fly Me to the Moon” juga teramat kuat dengan penyajian desain produksinya. Apalagi ketika film ini harus berupaya menghadirkan situasi NASA pada jaman itu. Detil-detil seperti ruang misi, ataupun kompleks NASA yang belum secanggih jaman sekarang, terasa jadi salah satu daya tarik film ini. Sepintas, saya jadi teringat dengan “Hidden Figures,” yang juga bercerita tentang NASA.
Sisi cerita yang saya rasa menjadi titik permasalahan film ini. Film yang sekilas memang mengusung tema romcom ternyata tidak berhasil untuk konsisten dengan kisahnya. Kecenderungan untuk tidak memalingkan settingnya, membuat film ini lebih membahas kisah internal NASA dalam menggalang kekuatan dana dan politik, sekaligus kritik akan Nixon yang terasa menghalalkan segala cara. Pendukung-pendukung dalam “Fly Me to the Moon” justru lebih mendominasi, sehingga kisah percintaan yang dihadirkan terasa lewat begitu saja.
Padahal, “Fly Me to the Moon” sudah menggandeng Channing Tatum dan Scarlett Johansson. Sayang, chemistry keduanya juga hadir biasa saja. Mungkin juga karena kedua karakternya yang terasa punya hubungan naik turun di sepanjang cerita. Dari sisi ensemble, saya justru amat menikmati penampilan Woody Harrelson sebagai antagonis yang tak disangka hadir cukup melucu.
Simpulan saya, “Fly Me to the Moon” bisa membuat kita percaya dengan proyek Artemis yang dikenalkan film ini. Bila penonton tidak menyadarinya, tentu kita bisa saja jadi percaya dengan salah satu isu konspirasi. Apalagi secara penyajiannya yang terbilang memang tidak main-main. Sayang saja, film produksi Apple Studios dan These Pictures ini menawarkan romcom yang terjebak dengan settingnya sendiri.