Setelah 41 tahun berkarya, Soraya Intercine Films kembali menghidupkan karakter Suzzanna ke layar perak. Setelah mencoba peruntungan melalui “Beranak dalam Kubur,” produksi film dilanjutkan dengan menyajikan kembali “Malam Jumat Kliwon,” yang diadopsi dari film berjudul sama dari tahun 1986. Berikut ini ulasan saya.
Berbeda dengan remake pendahulunya yang bersetting di kota, “Malam Jumat Kliwon” akan membawa kita ke sebuah pedesaan. Suzzanna, diperankan oleh Luna Maya, adalah seorang gadis kembang desa yang tengah menjalin percintaan dengan kekasihnya, Surya, yang diperankan Achmad Megantara.
Konflik dimulai ketika Suzzanna dan keluarganya diundang untuk makan malam oleh juragan desa setempat, Raden Aryo, diperankan oleh Tio Pakusadewo. Malam itu, Ia membuat sebuah keputusan untuk memaksa Suzzanna menjadi istri mudanya. Semua itu dikarenakan sang istri, Minati, yang diperankan oleh Sally Marcellina, masih belum bisa memberikannya seorang anak.
Singkat cerita, Suzzanna menjadi istri Raden Aryo. Ia pun kemudian hamil besar. Kondisi ini semakin tidak mengenakkan buat Minati, yang sedari awal kurang menyukai rencana ini. Ia pun menggunakan jasa Ki Jaya, seorang dukun yang diperankan Baron Hermanto, untuk menyantet Suzzanna. Suzzanna pun harus tewas dengan amat naas, sebelum akhirnya melanjutkan pembalasan dendam atas tragedi yang menimpanya.
Berbeda dengan film sebelumnya, yang versi ini memang tidak saya nantikan di layar lebar. Film ini disutradarai oleh Guntur Soeharjanto, sutradara yang juga menggarap “Panggonan Wingit,” salah satu horor jelek yang sempat saya tonton. Disini, sama layaknya “Panggonan Wingit,” karakterisasi yang dilakukan amat menjatuhkan kekuatan karakter legendaris sang hantu.
Mengapa demikian? Awalnya, saya merasa Luna Maya amat terampil untuk menjadi the next Suzzanna, seperti yang Ia lakukan di film pendahulunya. Disini, tampilan yang dilakukan terasa cukup beragam. Ada kalanya Anda akan menyaksikan sosok Luna Maya sendiri, namun memang ada momen tertentu yang terasa serupa. Inkonsistensi ini yang menjadi salah satu kelemahan film ini.
Faktor berikutnya adalah penokohan itu sendiri. Bila film sebelumnya, Suzzanna dijadikan sebagai sosok makhluk halus yang mampu menghancurkan lawannya dengan pikiran, disini Ia makin tidak realistis. “Malam Jumat Kliwon” malah menghadirkan sosoknya layaknya vampir, yang bisa diajak dikongsi, yang membangun keraguan saya akan keberadaan sebagai makhluk halus. Jika melihat versi ini, kata yang lebih tepat mewakili mungkin adalah “mayat hidup dengan kekuatan bak dewa.” Heran saja, Ia mampu membantai musuh-musuhnya dengan sadis, sekaligus masih punya beberapa scene romantis dengan love interest-nya.
Penggambaran kacau balau ini menjadi semakin runyam ketika plot cerita masuk. Awal yang dikemas romansa drama, lalu menjadi horor, kemudian dibolak-balik dengan sentuhan komedi. Alhasil? Tentunya sama sekali tidak menyeramkan. Sadis, iya. “Malam Jumat Kliwon” tahu betul bagaimana digarap layaknya gado-gado, yang mana semuanya dicampur jadi satu. Sayangnya, masih enakan menyantap gado-gado ketimbang menyaksikan ini.
Dari segi pendukung, saya rasa karakter Minati yang diperankan oleh Sally Marcellina adalah yang paling menonjol. Aktris senior 80-an yang kini muncul di layar perak, akan membawa nostalgia sekaligus perannya yang antagonis, namun terasa cukup jenaka ketika Ia tertekan. Untuk yang lainnya, walaupun dipenuhi bintang, termasuk pertimbangan mengingat karakter-karakter yang disajikan tidak menuntut kesulitan yang berarti, sehingga menyebabkan tidak ada sesuatu yang spesial. Termasuk scene lawan Oppie Kumis dan Adi Bing Slamet.
Walaupun miris, penyajian film ini dari segi produksi maupun sinematografi tetap masih perlu diacungi jempol. Saya menyukai pemilihan-pemilihan setting, walaupun kadang sedikit mengingatkan saya dengan beberapa film horor Indonesia lainnya. Mungkin, semoga ini hanya dugaan, karena terasa diambil pada setting yang sama sekaligus cara pengambilan yang serupa.
Rasanya memang cukup sulit untuk menandingi versi legendaris ratu horror klasik Indonesia. Khusus film ini, rasanya sayang saja jika imej yang masih membuat kita seram bisa terasa jadi tidak seram, cuma sosok wanita gothic berbalut kain putih yang bisa terbang dan tertawa lucu. Sayang sekali, suram. Pada akhirnya, walaupun terasa flop buat saya, saya sebetulnya akan masih menantikan jika Luna Maya akan menghidupkan kembali karakter Suzzanna.