Mempercayai sesuatu bukanlah yang mudah. Apalagi ketika itu menyangkut dengan agama, yang kerapkali menawarkan pandangan yang tidak mudah diterima manusia. Melalui film terbarunya, berjudul “Siksa kubur,” sutradara Joko Anwar mengajak penonton mengikuti perjalanan seorang perempuan bernama Sita yang berambisi membuktikannya.
Sita kecil, diperankan Widuri Puteri, sejak kecil telah mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ia harus kehilangan kedua orangtuanya, yang diperankan oleh Fachry Albar dan Happy Salma, yang menjadi korban peledakan bom bunuh diri. Sebelumnya, seorang laki-laki misterius, yang diperankan Afrian Arisandy, mengunjungi toko roti milik keluarganya. Pria ini memberikan sebuah kaset pita kepada sang kakak, Adil kecil, diperankan oleh Muzakki Ramdhan. Disaat yang sama, seorang pria lain mengambil uang dari kasir, sehingga Sita melapor pada orangtuanya dan berakhir dengan peristiwa yang naas.
Sepeninggal kedua orangtuanya, Sita dan Adil dimasukkan oleh sang paman ke dalam sebuah pesantren terpencil. Pesantren tersebut berada di sebuah hutan, dan tak ada jalan keluar. Jalan keluar yang memungkinkan adalah sebuah terowongan kosong, yang diyakini amat dilarang untuk dilewati. Singkat cerita, Sita menjadi skeptis tentang adanya agama. Peristiwa yang dialaminya malah memancing dirinya untuk terpikir jika agama juga mendorong orang baik untuk melakukan hal yang jahat.
Kala itu, pesantren tersebut ternyata memiliki masalah. Adil dipilih sebagai anak yang akan dikorbankan untuk donatur, sehingga Sita berupaya menyelamatkan saudaranya dan kabur. Dalam perjalanan kaburnya, mereka kemudian bertemu dengan sosok Ismail, makhluk halus anak kecil yang merupakan penunggu terowongan tersebut.
Ke masa kini, Sita dewasa, yang kemudian diperankan oleh Faradina Mufti, kini telah menjadi salah seorang pengasuh di sebuah panti jompo ekslusif. Sang kakak, Adil, diperankan oleh Reza Rahadian, sudah menikah dan berprofesi sebagai pemandi jenazah. Dalam panti ini, Sita ternyata tidak hanya bekerja, Ia punya misi tersendiri dalam membuktikan hal yang menjadi tujuan hidupnya.
Film ini ditulis dan disutradarai oleh salah satu sutradara kenamaan asal Indonesia, Joko Anwar. Semenjak kesuksesan “Pengabdi setan,” Anwar terasa semakin ambisius dalam menghadirkan cerita-cerita horor, sekaligus seperti “Perempuan tanah jahanam” ataupun sekuel “Pengabdi setan 2” yang terasa tidak sebaik pendahulunya. Disini, Anwar tidak akan terlalu banyak bermain dengan sosok hantu yang lazim mewarnai dunia horror film Indonesia.
Apa yang akan ditawarkan Anwar dalam film ini merupakan horror yang menawarkan kombinasi arwah dengan kesadisan ekstrim dalam realita. Yang saya maksud ekstrim dalam realita disini adalah kondisi menyeramkan layaknya “Final Destination,” yang membawa penonton dengan aksi seram karena kesadisan yang ditawarkan. Bagaimana tidak, adegan awal di toko roti yang berakhir sadis seakan memberi kisi-kisi dengan kesan horror yang akan berlanjut. Alhasil, “Siksa kubur” memang berhasil membuat saya untuk tutup mata dalam salah satu adegannya.
Salah satu adegan yang saya maksud adalah ketika sosok seorang nenek bernama Nani, diperankan oleh Christine Hakim, yang diceritakan tengah murka dan tiba-tiba kehilangan cincinnya di dalam sebuah mesin cuci. Bukannya ada aksi pembunuhan yang dilakukan oleh makhluk halus, cerobohnya Nani berujung dengan kematiannya yang sadis. Yang menyebalkan, adegan ini dikemas dengan amat perlahan yang memicu saya untuk menutup mata. Bukan kesan horror akan takut akan setan, tetapi lebih kepada rasa takut menyaksikan kecelakaan yang sudah diekspektasikan terjadi.
Oh iya, kejutan-kejutan yang ditawarkan oleh “Siksa kubur” memang begitu menarik. Saya menyukai bagaimana Anwar menghadirkan sosok legenda Indonesia, yang kembali berkolaborasi dengannya, seperti Christine Hakim dan Slamet Rahardjo. Alih-alih peran keduanya yang memerankan karakter senior, ternyata juga punya andil yang cukup mencuri perhatian ketika mereka muncul. Terutama Slamet Rahardjo yang hadir amat brutal baiknya sebagai antagonis utama di film ini.
Kesadisan jadi salah satu kunci mengapa film ini pantas dibilang sebuah horror. Selain adegan bom yang mengejutkan, ataupun adegan mesin cuci, masih ada beberapa adegan sadis yang tidak mudah diikuti, namun dieksekusi cukup baik. Misalnya ketika adegan Lani, diperankan oleh Runny Rudiyanti, yang sudah ditusuk, namun terus melanjutkan tusukan tersebut pada dirinya. Begitupula ketika sosok Sita kecil yang membuka kukunya yang patah.
“Siksa kubur” menjadi salah satu film bertabur penuh bintang. Selain Hakim ataupun Rahardjo, film ini kembali menghadirkan aktor-aktris yang sempat berkolaborasi dengan Anwar. Misalnya seperti Muzakki Ramdhan, Egi Fedly, dan Fachry Albar dalam “Pengabdi Setan 2.” Disini, aktor aktris kawakan lainnya dihadirkan. Mulai dari Niniek L. Karim, Arswendy Bening Swara, Putri Ayudya, Jajang C. Noer, hingga Djenar Maesa Ayu. Sungguh paduan yang amat meyakinkan.
Membahas ceritanya, “Siksa kubur” sendiri tak hanya akan menakuti penonton. Film ini terasa begitu kuat dari karakter Sita, yang terus menguji akan kebenaran kepercayaan ini. Dialog yang sarat mengkritisi apakah perlunya eksistensi agama dan kehidupan setelah kematian, kerap jadi pertanyaan yang mewarnai penonton. Pada akhirnya, “Siksa kubur” pun tak hanya akan menghibur, namun memberikan kesimpulan versi Sita dari pengalaman hidupnya yang bisa dibilang amat gelap.
Terlepas dari penggaparan cerita yang amat ambisius, “Siksa kubur” kadang memiliki bagian plot yang terasa too good to be true. Misalnya saja ketika saat Sita berupaya kabur dari pesantren dan tiba-tiba muncul sosok guru yang memberikannya hal-hal yang diperlukannya bak malaikat. Ataupun juga ketika toko roti yang sebetulnya tidak terlalu ramai, namun uang di kasir malah dicuri terang-terangan, dan hanya dilihat Sita. Padahal, dalam set tersebut ada sosok Ibu dan Kakak yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari kasir.
Terlepas dari kekurangan tersebut, yang paling menakjubkan saya adalah cara Anwar dalam menghidupkan adegan yang mungkin sekilas sederhana, tapi bisa terasa begitu hidup dalam meneror penonton. Kita sudah akan deg-degan telebih dahulu dengan dentuman musiknya, seiring berjaga-jaga sebelum datangnya bagian kejut yang memuaskan pengalaman menonton.
Bagian lain yang tak kalah penting, Anwar juga membawa lagu lawas dalam filmnya. Lagu yang terpilih kali ini adalah “Bengawan Solo,” karangan Gesang yang mendunia. Lagu yang kali ini dibawakan Tony Merle dan Jamie Aditya, berhasil mendayu penonton dan menyatu dengan keseraman yang hadir. Saya jadi ingat bagaimana lagu “Kelam Malam” dari “Pengabdi setan” bisa membangun rasa seram ketika mendengarnya. Begitupula efek samping dari hadirnya “Bengawan Solo” dalam film ini. Bisa saja, Anda akan mengasosiasikan dengan rasa horor ketika tak sengaja mendengar lagunya pasca menonton.
Alhasil, “Siksa kubur” jadi tontonan libur Lebaran yang sepatutnya membuka mata. Upaya yang dihadirkan sebetulnya akan membuat penonton setidaknya terpikir, paling tidak yang memiliki kepercayaan tersebut untuk menilai kembali akan kehidupan saat ini dan setelahnya. Akan tetapi, buat seseorang yang non-muslim seperti saya, “Siksa kubur” menjadi kombinasi horor religi yang terasa tepat bagi pangsa pasar penonton Indonesia yang memang menyukai kedua kombinasi tersebut, apalagi dengan kemasannya yang gelap dan menyerempet dengan okultisme.