Sudah begitu banyak film-film yang mengisahkan perjuangan tentang para imigran. Dalam sudut pandang budaya Barat, banyak film yang terfokus dengan ras tertentu. Misalnya saja “Minari” yang mencoba melihat dari sisi pendatang Korea, “A Better Life” dengan sudut pandang orang Meksiko, sampai “Brooklyn” yang membahas kisah para Irish yang datang ke kota itu. Bagaimana dengan sudut pandang Asia? “Oasis of Now” menjadi salah satu representatif dalam mengangkat topik imigran gelap di tengah kayanya budaya Asia.
“Oasis of Now” bersetting di salah satu sudut Kuala Lumpur, ibukota dari Malaysia. Tepatnya di sebuah lingkungan yang mayoritas merupakan banyak imigran. Salah satunya adalah Hanh, diperankan oleh Thi Diu Ta, seorang perempuan yang kerap membawa sebuah totebag bersamanya. Hanh digambarkan sebagai seorang pekerja lepas, yang menolong rumah tangga untuk dalam mengerjakan hal-hal yang mendukung aktivitas mereka. Misalnya saja seperti mengambil rongsokan, bersih-bersih, ataupun memasak.
Suatu ketika, Hanh secara diam-diam bertemu dengan seorang anak perempuan kecil, yang kemudian membagikannya sebuah es potong. Anak tersebut kemudian menceritakan bagaimana prestasinya di sekolah, mulai dari memperlihatkan nilai-nilainya. Sepintas, keduanya tampak seperti Ibu dan anak. Akan tetapi, anak kecil tersebut bukanlah putrinya. Dari cara ini, ternyata adalah sebuah oasis baginya, dimana Hanh bisa lolos dari status imigran liar yang dimilikinya.
Film ini ditulis dan disutradarai oleh Chee Sum Chia. Film produksi asal Malaysia ini hadir dengan penyajian 90 menit, namun akan terasa begitu panjang. Sutradara Chia akan membawa penonton ke dalam banyal hal yang penuh ambiguitas, sehingga Anda benar-benar akan mencoba melihat sesuatu secara lengkap, walaupun dihadirkan tak lengkap. Hal ini termasuk dengan jalan cerita yang mengalir tanpa kejelasan mau dibawa kemana. Ini mungkin yang menjadi keunikan “Oasis of Now.”
Sayangnya, this is not cup of my tea. “Oasis of Now” benar-benar amat menjadikan penonton sebagai pengamat. Malangnya, aktivitas yang dilakuan Hanh, yang hanya terdiri dari aktivitas bersih-bersih, jadi tontonan yang amat membosankan. Ini belum lagi ditambah dengan kemasan cerita yang lebih menonjolkan ekspresi, daripada verbal.
Akan tetapi, masih ada yang saya rasa menarik dari “Oasis of Now.” Film ini akan membawa penonton ke dalam situasi multibahasa, menyaksikan akting Thi Diu Ta dengan aksi sebagai seorang polyglot. Karakter Hanh, yang sebetulnya adalah seorang imigran gelap dari Vietnam, sudah begitu mudah beradaptasi dengan situasi sekitar, sampai Ia pun bisa berbicara dalam bahasa-bahasa Asia: Melayu, India, Kamboja, Myanmar. Sayang saja tidak ada Bahasa Indonesia.
Apa yang diangkat dalam “Oasis of Now” adalah suatu tragedi yang masih merajalela, terutama pada negara-negara maju, yang selalu jadi sasaran utama demi merubah nasib. Saya pun menyadari, pemilihan Malaysia menjadi setting terasa begitu pas, mengingat negara tersebut yang punya keragaman tersendiri, yang amat berbeda dengan Indonesia, mengingat negeri ini sudah terlalu beragam dari budayanya sendiri. Melalui sosok Hanh, kita perlu membuka mata jika sosok mereka tentu akan sangat sulit untuk dapat hidup sepantasnya, selain mendapat suara atau ancaman deportasi.
Film ini merupakan tontonan pilihan saya di hari ketiga dari Ho Chi Minh City International Film Festival. “Oasis of Now” merupakan salah satu film yang berkompetisi dalam kategori South-East Asia. Film yang sempat ditampilkan di Berlinale ini mungkin akan amat tidak direkomendasikan bagi penonton yang sudah terbiasa mendapat cerita secara jelas. Memang sih ambiguitas yang diangkat film ini tidak perlu terlalu didalami, cuma yang menjadi masalah adalah ketika Anda sudah merasa bosan saat menyaksikannya, tontonan ini akan begitu mudah ditinggalkan. But again, this is not my cup of tea.