Kisah-kisah dongeng tak akan melulu tentang para peri, pangeran ataupun putri. Cerita gelap seperti “Little Red Riding,” “Mr. Hyde and Mr. Jekyll,” sampai “Frankenstein” pun juga memenuhi memori saya. Sebagai film yang saya tunggu di tahun ini, “Poor Things” merupakan dongeng gelap khusus dewasa yang akan memandang betapa tragisnya hidup ini.
Cerita diawali dengan pengenalan dengan seorang ahli anatomi sekaligus rekayasa organ bernama Dr Goodwin Baxter, yang diperankan oleh Willem Dafoe. Dalam kelas anatominya, salah seorang muridnya bernama Max McCandles, diperankan oleh Ramy Youssef, berminat untuk menjadi asisten penelitiannya. Objek penelitian Baxter kala itu ternyata adalah seorang perempuan bernama Bella Baxter, diperankan oleh Emma Stone. Ia merupakan hasil rekayasa Baxter dengan mencangkok otak bayi yang ada di dalam kandungan seorang ibu hamil, yang kemudian dipasangkan dalam kepala sang Ibu.
Keberadaan Bella hadir sebagai hasil penelitian yang menakjubkan bagi Goodwin. McCandles pun yang sehari-hari bertugas mengukur perkembangan Bella, disadari Goodwin jika memiliki perasaan dengan perempuan ciptaannya. Ia pun menawarkan McCandles untuk menikahi mereka. Disaat keduanya sudah setuju, datang sang pengacara bernama Duncan Wedderburn, yang diperankan oleh Mark Ruffalo. Duncan yang awalnya ditugaskan menulis surat perjanjian antara Baxter dan McCandles, malah secara tidak sengaja bertemu Bella. Ia pun mengajak Bella untuk menemaninya ke Lisbon, sebelum Ia menikah dengan McCandles. Sampai akhirnya, Bella yang semakin pintar menyadari banyak hal tentang dunia yang amat-amat menyedihkan.
Terasa sebagai suguhan orisinil dari Yorgos Lanthimos, “Poor Things” sebetulnya merupakan sebuah adaptasi dari sebuah novel yang ditulis oleh penulis asal Skotlandia bernama Alasdair Gray. Gray, yang sudah meninggal sejak 2019 lalu, sudah dijajaki Lanthimos akan proses adaptasinya semenjak Ia mengerjakan “Dogtooth.” Sayang, proses pengerjaan film ini baru dapat dilakukan atas keberhasilan Lanthimos, setelah Ia menghadirkan “The Favourite” dan meninggalnya sang penulis asli. Ceritanya pun kemudian diadaptasi oleh Tony McNamara, penulis yang sebelumnya sudah berkolaborasi dengannya dalam “The Favourite.”
Bicara tentang suguhan ceritanya, apa yang ditawarkan “Poor Things” adalah sesuatu yang fenomenal. Menyaksikan film ini bagaimana menyaksikan paduan “Frankenstein” dan “The Skin I Live In” yang digabung dengan “Caligula” dengan sedikit bumbu dari “Bram Stoker’s Dracula” dan “Sweeney Todd.” Mungkin tidak tepat, tapi ini versi interpretasi saya. Film yang berdurasi lebih dari dua jam ini menawarkan cerita yang akan memuaskan fantasi kita, sekaligus memancing akan sentilan-sentilan yang sebetulnya ‘daging’ dari film ini.
Bicara penyajiannya, saya amat menyukai cara Lanthimos yang mengajak penonton ke dalam visualisasi liarnya. Kisah perjalanan Bella yang ternyata mengunjungi serangkaian kota dan kejanggalannya, ternyata tetap akan memuaskan mata walaupun amat terasa dibuat dalam suatu studio. Begitupula ketika Lanthimos menghadirkan langit bak warna watercolor yang semakin memperkuat kemasan fantasi ceritanya.
Begitupula ketika Lanthimos ingin menghadirkan ceritanya. Ia mengkombinasikan kesan monokrom dan kadang warna, dengan serangkain shot yang akan memukau penonton. Salah satu eksperimen yang saya sukai ketika Ia menggunakan fisheye shot yang dipadukan dengan adegan dinamis, misalnya ketika Baxter dan McCandles berjalan di kota.
Kalau bicara hal-hal yang eksplisit, Lanthimos termasuk salah satu sutradara yang paling berani. Bila dibanding film-film sebelumnya, “Poor Things” adalah yang paling vulgar. Akan ada banyak adegan seks, full frontal nudity, yang saya rasa membuatnya cukup sulit untuk masuk bioskop-bioskop mainsteam Indonesia, plus potongan yang banyak dari lembaga sensor. Terlepas dari kevulgarannya, sebetulnya unsur-unsur yang disentil oleh ceritanya lebih kepada sosok Bella yang kemudian memahami tentang ekplorasi tubuh dan harga diri.
Selain penyajian “Poor Things” yang luar biasa, keberhasilan ini juga berkat ensemble castnya yang amat memukau. Dari sepanjang menyaksikan penampilan Emma Stone, terlepas dari serangkaian adegan telanjangnya di film ini, ini merupakan salah satu penampilannya yang paling all out dari film-film sebelumnya. Stone bisa membawa penonton untuk menghadirkan Bella, yang semula berjalan tak lancar dan punya otak bayi, tiba-tiba berkembang menjadi manusia buatan yang cerdas, seiring berjalannya cerita.
Begitupula dengan sosok Mark Ruffalo yang kali ini hadir sebagai antagonis mengesalkan, namun akan tetap menghibur melalui sisi komedinya. Penampilan lain yang saya sukai di film ini adalah Willem Dafoe, yang awalnya saya kira merupakan antagonis, ternyata hadir sebagai sosok protagonis dengan casing the Beast. Penampilan lain cukup mencengangkan adalah karakter Swiney, diperankan oleh Kathryn Hunter, yang merupakan seorang mucikari di kota Paris.
Dalam musim penghargaan di tahun ini, “Poor Things” tentunya terlalu unggul buat saya. Saya akan menjagokan film ini di berbagai kategori, mulai dari Best Picture, Best Director, Best Actress in Leading Role, Best Actor in Supporting Role bagi Dafoe dan Ruffalo, Best Actress in Supporting Role, Best Adapted Screenplay, Best Production Design, Best Cinematography, Best Costume Design, Best Makeup, sampai Best Original Score. Kesemuanya ini jelas karena begitu outstanding-nya film ini jika dibandingkan dengan film-film yang dirilis tahun ini.
Yang pasti, “Poor Things” terlalu mudah untuk merebut hati saya, walaupun sebetulnya tidak terlalu mudah untuk dinikmati. Eksplorasi cerita yang terus memancing nyali lewat adegan ekstrim-nya ternyata hadir sebagai sebuah dongeng gelap yang penuh makna. Masih banyak yang ingin saya sampaikan disini, tapi “Poor Things” terasa begitu terlalu mengesankan. Film ini jelas, salah satu yang terbaik dari 2023. An instant classic! What a masterpiece!