Kota Mariupol merupakan kota pelabuhan terbesar di Donetsk, Ukraina. Kota ini merupakan salah satu wilayah yang disebut sebagai Kota Pahlawan Ukraine di masa perang Russia-Ukraina. Melalui “20 Days in Mariupol,” penonton akan dibawa untuk menyaksikan bagaimana perjuangan masyarakat sipil dari gempuran tentara Russia.
Film ini sebetulnya adalah gabungan rekaman dari empat orang jurnalis. Mereka adalah Mstylav Chernov, Evgeniy Maloletka, Vasilisa Stepanenko, dan Lori Hinnant. Tiga dari keempat orang tersebut berasal dari Ukraina, dan mereka bekerja untuk Associated Press. Perjalanan keempatnya disana terbilang tidak mudah. Mariupol kala itu adalah satu satu target kota yang diincar Russia.
Secara penyajian, film ini menggabungkan rekaman-rekaman beserta behind the scene dari peliputan yang dilakukan oleh tim jurnalis ini. Mereka akan melipir ke titik-titik terdepan, apalagi ketika adanya serangan-serangan tembakan yang digencar Russia. Cus, tim ini langsung menyorot para korban sipil saat itu juga. Ini belum ditambah dengan serangkaian rekaman di rumah sakit yang dipaksa bergerak terbatas dan penuh air mata.
“20 Days in Mariupol” adalah salah satu dokumentasi perang yang cukup sulit ditonton. Penonton akan menyaksikan upaya penyelamatan nyawa korban sipil, sampai melihat kuburan massal kekejian Russia. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah ketika tim jurnalis ini bertemu dengan seorang nenek yang tengah bingung akan kondisi daerahnya di jalan. Nenek ini kemudian diminta pulang oleh Chernov, untuk berdiam diri di rumah agar aman. Beberapa hari kemudian, tim ini bertemu kembali dengan nenek tersebut di pengungsian. Nenek itu marah-marah karena sepulangnya Ia di rumah, wilayahnya malah diserang oleh tentara Russia dan membuat harus berlindung di penampungan.
Film yang menjadi perwakilan Ukraina di ajang Academy Awards ini sebetulnya terbilang sebagai sebuah dokumentasi jurnalis yang mencengangkan. Sajian yang sulit dinikmati akan menyadarkan kita bahwa dunia sebetulnya sedang amat tidak baik-baik saja. Perlu bersyukur dengan apa yang kita hadapi setiap hari setidaknya, melihat situasi yang berlangsung di Mariupol. Puncaknya, “20 Days of Mariupol” sendiri sudah memenangkan hadiah Pulitzer bagi keempat jurnalis ini dalam kategori Public Service, atas serangkaian peliputan yang sudah dipublikasikan melalui Youtube dan Associated Press.
Dalam perspektif saya, “20 Days of Mariupol” adalah potret dari korban perang. Ada banyak nyawa yang melayang dalam dokumentasi ini. Walaupun akan membuka mata, apa yang ditawarkan Ukraina saat ini terasa membosankan. Bila menyimak media sampai hari ini, setiap kubu akan saling bersaing dalam melakukan propaganda. Ketika Russia akan membanggakan lewat kehebatan militernya, Ukraina malah akan bergerak menuai simpati melalui kesedihan masyarakatnya. Yang perlu dikritisi, sipil memang tidak salah, tapi para pemimpinnya yang saling perang ego berembel nasionalisme.
Salah satu yang mengharukan dari “20 Days in Mariupol” akan ketika liputan yang dilakukan oleh tim ini malah dianggap sebagai suatu rekaan. Khususnya ketika Russia menyerang suatu rumah sakit ibu dan anak di Ukraina, yang akhirnya menewaskan seorang Ibu yang tengah hamil tua. Pihak Russia dalam berita engga berkomentar, dan malah dibangun berita jikalau kejadian tersebut hanya serangkaian aktor dan aktris yang sudah diatur. Menyakitkan.
Saya teringat dengan ujaran jika sejarah akan ditulis oleh para pemenang. Ingat ketika negeri ini berhasil mengamankan wilayah Timor melalui operasi Seroja, ataupun ketika Amerika Serikat memenangkan perang dunia kedua. Para pemenang akan menyudutkan yang kalah, dan yang kalah akan menyajikan tontonan kesedihan. Saya merasa “20 Days in Mariupol” terasa demikian, walaupun sebetulnya ini adalah sebuah realita pahit yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Pada akhirnya, “20 Days in Mariupol” hanya menggambarkan sisi kesedihan dari satu pihak saja. Ini terasa seperti kita menyaksikan video-video para penduduk Palestina yang kini diserang oleh Israel, ataupun tentang para Yahudi yang menceritakan kembali peristiwa Holocaust yang sempat mereka alami. Entah apa cocok disebut sebagai propaganda Ukraina, saya rasa “20 Days in Mariupol” pasti akan mencuri perhatian dunia barat di musim penghargaan mendatang, terutama untuk Best Documentary Feature. Walaupun pada perspektif saya, kondisi perang yang dihadirkan tidak dalam konteks yang seimbang. Alhasil, ini merupakan tontonan yang akan membuka mata dan hati, sekaligus menguji kembali tingkat kemanusiaan kita.