Pada masa keemasaanya, BlackBerry telah hadir menjadi salah satu kebutuhan masyarakat Indonesia. Terbukti, dari bagaimana negri ini bisa menjadi pengguna nomor satu seantero bumi raya. Untungnya, saya bukanlah bagian dari para penggunanya waktu itu. Setelah hadir cerita Apple melalui “Steve Jobs,” kini hadir versi biopik tentang “BlackBerry.”
Perusahaan pembuat BlackBerry, Research in Motion (RIM), kala itu masih dipimpin oleh Mike Lazaridis, diperankan oleh Jay Baruchel. Suatu kali, Ia ditemani Douglas Fregin untuk melakukan presentasi picthing, diperankan oleh Matt Johnson, yang juga teman dekat sekaligus rekan kerjanya di RIM. Sayangnya, meeting yang dihadiri Jim Balsillie, diperankan oleh Glenn Howerton, terasa tidak berjalan mulus. Upaya mendapat proyek baru pun gagal.
Singkat cerita, Balsilie dipecat di tengah persaingan di kantornya, dan membuat dirinya menghubungi Lazaridis dan Fregin. Ia berencana untuk turut serta dalam RIM dan menawarkan diri sebagai CEO. Akan tetapi, semua tidak selancar itu. Fregin jelas-jelas menolak penawaran ini. Alhasil, Balsilie yang super temperamen ikut bergabung dengan RIM yang masih amat kecil. Syaratnya, Ia cuma bisa menjadi co-CEO.
Kombinasi Balsilie dan Lazaridis terbilang unik. Keduanya memiliki jabatan sebagai co-CEO, namun dengan fokus yang berbeda. Balsilie yang cepat panas, lebih fokus mengurus bisnis dan penjualan, sedangkan Lazaridis menjadi the make-it-happen man yang fokus menciptakan inovasi-inovasi. Keduanya pun punya sifat yang amat kontras. Balsilie tahu betul bagaimana Ia harus menyampaikan pikiran-pikirannya. Di sisi lain, Lazaridis hadir sebagai tech guy yang pintar, jenius, namun canggung dan geek.
Film ini disutradarai oleh Matt Johnson, yang sebetulnya memerankan sosok Fregin. Ia mengadaptasi cerita film ini dari buku karangan Jacquie McNish dan Sean Silcoff yang berjudul ‘Losing the Signal,’ dan menulisnya bersama Matthew Miller. Bicara penyajiannya “BlackBerry” hadir dengan gaya yang menarik. Johnson menghadirkan film ini melalui sentuhan shot ala dokumenter, yang membuat anda akan jarang menjumpai adegan-adegan yang statis nan rapi.
Dari penyajian alurnya, “BlackBerry” sebetulnya terkesan sebagai suatu biografi yang tidak terlau serius-serius amat. Ada banyak kesan komedi satir yang dihadirkan. Saya pun menduga, upaya menghadirkan sosok Balsilie disini juga tampak sebagai antagonis yang protagonis, namun melalui penggambaran ekstrim. Film yang berdurasi 2 jam ini awalnya terasa cukup datar buat saya, walaupun pada akhirnya kegalakan dan strategi bisnis Balsilie yang membangun perhatian saya.
Bicara penampilan film ini, “BlackBerry” menghadirkan kualitas akting yang cukup menawan. Walaupun saya sempat menyebut jika penggambaran Balsilie terasa lebay, aktor Glenn Howerton justru mengambil andil yang amat besar untuk kesuksesannya sebagai suatu drama. Begitupula dengan Jay Baruchel. Sulit rasanya untuk memerankan sosok yang canggung dengan karakteristik kaku dan datar, namun Baruchel mampu menghidupkan sosok Lazaridis.
Film buatan Kanada yang diunggulkan IFC Films untuk awards season di tahun ini, akan cukup membuat saya menggungulkan kemampuan akting Howerton dan Baruchel, termasuk dengan naskah adaptasi. Yang amat saya sayangkan, “BlackBerry” kurang bercerita terlalu banyak tentang konflik Balsilie dengan SEC, yang hanya seakan menjadi bumbu penuh tanda tanya yang dikonklusi dengan kurang memuaskan.
Alhasil, “BlackBerry” hadir sebagai sebuah film referensi yang akan mengingatkan kita dengan persaingan smartphone yang cukup sengit. Pada konteks Indonesia, Nokia yang menjadi hape sejuta umat dikalahkan oleh BlackBerry Messengernya, namun akhirnya menyerah dengan kompetisi Apple dan Android yang masih bersaing hingga kini. Menyaksikan film ini, saya pun akhirnya semakin paham mengapa BlackBerry memang harus jatuh dalam persaingan sengit ini.