Buat anak jaman sekarang, fenomena sleep call adalah gaya baru pacaran masa kini. Ketika jaman sudah tidak dibatasi untuk saling berhubungan, menelepon sambil tertidur adalah cara lain posesif untuk menjaga terjaganya seseorang dengan pasangannya. Kali ini, film berjudul “Sleep Call” buatan Fajar Nugros membawa fenomena ini sebagai premis dari sebuah cerita yang menegangkan dari ibukota.
Pusat dari cerita ini ada pada karakter Dina, diperankan oleh Laura Basuki, yang merupakan seorang perempuan yang berusaha hidup di tengah kerasnya kehidupan kota Jakarta. Ia memiliki seorang Ibu, diperankan oleh Jenny Zhang, yang kini hanya hidup di panti rehabilitasi. Dina perlu banting tulang dan merelakan mimpi-mimpinya, hanya demi memenuhi kebutuhan Ibu dan dirinya.
Di tengah kerasnya hidup, Dina sedang asik-asiknya menggunakan aplikasi dating dan berkenalan dengan seseorang asing yang bernama Rama, yang diperankan oleh Juan Bione Subiantoro. Setiap hari, ada dua alarm penting di gawai miliknya, satu untuk membangunkannya setiap pagi, serta satu lagi untuk bertemu secara virtual dengan Rama. Saking asiknya, Dina pun tak segan-segan untuk membuka identitasnya, bahkan sampai memperlihatkan dirinya yang tengah mandi malam.
Film “Sleep Call” juga mengangkat kehidupan dari sebuah perusahaan pinjaman online yang dimiliki oleh Pak Tommy, diperankan oleh Bront Palarae. Pak Tommy punya manajer bernama Bayu, diperankan oleh Kristo Immanuel, yang sehari-hari akan memulai kegiatan para karyawan dengan senam ekspresi “Senyum… Marah… Senyum… Marah…” yang semata-mata bagian dari proses ekploitasi dari para budak korporat. Malangnya, Dina adalah salah satu bonekanya.
Dina sehari-hari bekerja sebagai operator perusahaan pinjaman online yang punya dua tugas. Pertama, harus seramah mungkin, agar orang mau meminjam, yang mana target utamanya adalah orang-orang dengan gaya hidup tinggi namun pendapatan seadanya. Kedua, Ia harus mampu segalak mungkin untuk menagih pelanggan yang belum membayar pinjaman mereka. Di tempat kerja inilah, kita juga akan berkenalan dengan Bella, yang diperankan oleh Della Dartyan, salah satu kerabat kerja yang dekat dengan Dina.
Masalah dimulai ketika Dina terjebak dalam kesulitan ekonomi. Ia terpaksa harus meminjam uang dari tempat Ia bekerja. Alhasil, kelemahan inilah yang menjadi malapetaka baginya. Atasan langsungnya, Bayu, memanfaatkan momen ini guna memeras tenaga Dina untuk bekerja. Di sisi lain, Pak Tommy yang sedang kesepian tahu betul untuk memanfaatkan karyawati cantiknya ini.
Ini adalah film selanjutnya dari Fajar Nugros, setelah sebelumnya saya sedikit kecewa dengan karya “Balada Si Roy” yang terasa membosankan. Akan tetapi, “Sleep Call” terasa menjadi sebuah sweet comeback untuk Nugros. Sedari awal film ini, Nugros sudah memberi kode bagaimana Ia akan mengemas film ini dengan penyajian artistik, akting, dan cerita yang memukau. Baiknya, semuanya dikemas dengan sangat matang.
Kita mulai dari segi cerita. Aspek cerita dalam “Sleep Call” berhasil menipu saya. Seperti biasanya, tanpa ekspektasi, Saya akan mengira jika film ini mungkin akan berkiblat selayaknya sebuah paduan drama romance. Alhasil, kombinasi thriller mystery menjadi genre yang diusung film ini. Sebuah kejutan yang cukup tak saya sangka.
Film yang berdurasi selama 100 menit ini terasa pas, tidak kepanjangan ataupun kependekan. Semua berkat bagaimana penyajian cerita yang dihadirkan secara lugas, melalui alur yang mudah dimengerti, namun selalu membangun ketertarikan penonton lewat misterinya. Ceritanya sendiri akan membawa kita terfokus pada sosok Dina, terutama ketika Ia hadir dalam realita dunia nyata, serta juga dunia imajinasi fiktifnya.
Penceritaan yang intens membuat saya cukup terasa sulit untuk menikmati beragam adegan hard to watch yang mengurai penderitaan kehidupan Dina. Kesan mencekam terasa sulit dinikmati, walaupun sebetulnya berupaya untuk menghadirkan rasa pahit hidup yang betul-betul menyakitkan.
“Sleep Call” terasa bermain dalam konteks penceritaan yang begitu relevan dengan kehidupan masa kini. Mulai dari fenomena sleep call, dating apps, pinjaman online, sampai ekploitasi karyawan di tempat kerja yang sampai-sampai berujung dengan perzinahan bos dan karyawannya. Dari tema yang diangkat, saya merasa upaya pengembangan karakter Dina terasa amat matang, yang baiknya tak perlu sampai menempelkan embel-embel feminisme layaknya “Barbie.” Malahan, epos ‘Rama dan Sinta’ malah menjadi cerita selingan lewat monolog yang seraya menggambarkan perjalanan cerita Dina.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian saya dalam “Sleep Call” adalah ketika film ini memperlihatkan upaya pengambaran sosok perempuan sebagai obyek. Misalnya, ketika Bayu yang memuji Dina ketika Ia menggunakan pakaian yang seksi, ataupun Pak Tommy yang memanfaatkan Dina untuk memenuhi nafsu dan kesepiannya.
Dari segi teknis, saya menyukai bagaimana hadirnya shot demi shot yang menawan di film ini. Salah satu yang cukup kentara adalah seperti penggambaran untuk mempercepatnya waktu, penggunaan efek pada adegan-adegan yang lumayan sadis, sampai penggunaan musik yang punya nada pengulangan demi memancing ketegangan penonton. Alhasil, “Sleep Call” tahu betul caranya untuk membuat kita terguncang di kursi penonton.
Aspek yang paling menonjol lainnya di film ini adalah segi akting. Sosok Laura Basuki, yang beberapa tahun lalu sukses dengan “Before, Now, and Then” kembali hadir dengan karakter manis yang menipu. Siapa yang tidak akan menduga, ketika dengan polos dan manjanya Ia bercerita dengan Bima, tiba-tiba berubah menjadi monster yang sadis? Bagi saya, ini merupakan penampilan terbaik dari Laura Basuki. Ia tampil all-out disini. Tak hanya sekedar jadi Dina yang cantik, Basuki juga memperlihatkan dua sisi kehidupan Dina sekaligus banyaknya sisi kepribadiannya yang misterius.
Uniknya, di tengah cerita yang cukup serius, Nugros malah menyertakan beberapa unsur komedi disini. Lewat hadirnya karakter seperti Budi, Surya, sampai Mitro yang masih terbilang menghibur. Penyertaan komedi ini tidak terasa sebagai sebuah penyeimbang, melainkan upaya tarik ulur agar emosi penonton sedikit renggang.
Akhir kata, “Sleep Call” merupakan tayangan yang paling tidak terduga bagi saya di tahun ini. Penyajian cerita yang seru, eksekusi akting yang menawan, sampai tersampaikannya ragam emosi pada penonton. Rasanya akan amat disayangkan bila film sebaik ini kurang mendapatkan apresiasi. Yang pasti, untuk Laura Basuki, you’re a real deal!