Permasalahan sosial selalu jadi topik yang tidak akan pernah selesai. Apalagi kalau hal ini sudah berkaitan tentang kesejahteraan anak, maupun masalah rasial. Kali ini, sebuah film pendek berjudul “Getaway” akan mengajak penonton masuk ke dalam kisah motherhood dari seorang Ibu bernama June.
June, diperankan oleh Melissa Kay Anderson, tinggal hidup berdua dengan putra tunggalnya. Putranya bernama Leighton, diperankan oleh Ian Smalls, Jr. Ia merupakan seorang imigran yang mengadu nasib di Amerika, the melted pot bangsa seantero dunia. Dari kehidupannya, kita akan menyadari bahwa kehidupan Leighton sebetulnya tidak baik-baik saja.
Di tempat kerjanya, June memiliki seorang rekan kerja bernama Kay, diperankan oleh Khalisa Rae Thompson. Kay juga sama-sama merupakan seorang Ibu. Ia memiliki anak bernama Shanice, diperankan oleh Saraya Graham. Shanice sendiri adalah seorang anak perempuan yang terbilang sebaya dengan Leighton.
Singkat cerita, June memutuskan untuk mengajak Leighton ke kampung halamannya di Jamaika. Leighton pun diboyong dan berkenalan dengan sahabat June yang bernama Grace, diperankan oleh Kaci Hamilton. Dalam proses kepulangan ini, ada banyak hal yang sekaligus menjadi poin reflektif June akan keluarga kecilnya.
Setting film ini kurang lebih merujuk pada kondisi ketidakamanan akan kehidupan sipil di Amerika Serikat. Film ini menyentil permasalahan rasial yang sampai sekarang masih belum selesai. Walaupun memang tidak sekental jaman dulu, namun aspek perbedaan antara kulit putih dengan mereka yang disebut coloured tetap masih terjadi di beberapa tempat.
“Getaway” sendiri merupakan sebuah sajian singkat, yang terasa dimaksimalkan dari suasana yang terasa minimalis untuk setting Amerika. Film ini mengandalkan footage tempat, lalu menghadirkan the real scene di dalam ruangan. Akan tetapi, ketika setting Jamaika dihadirkan, “Getaway” baru terasa seperti ada pada tempatnya, dengan pesona tropis Karibia.
Sebetulnya, adegan demi adegan yang dihadirkan lewat film ini tidak terlalu memiliki dialog-dialog yang begitu berarti. Namun, suguhan fakta realita pahit yang diberikan kepada penonton seakan membuat penonton akan berpikir secara reflektif sebagaimana karakter utama kita berpikir. Karakter June seolah akan membulatkan persepsi penonton jikalau keberangkatan ini merupakan sebuah hal yang tepat.
Bila kembali dicermati lebih jauh, apa yang dibahas dalam “Getaway” serasa reflektif juga dengan apa yang dialami orang-orang di perkotaan di negeri ini. Ketika masifnya kehidupan merantau ke Ibukota, demi secercah harapan akan masa depan yang lebih menjanjikan, malah mendorong sebuah gerakan urbanisasi yang malah berakibat fatal. Alhasil, tingkat kemiskinan meningkat atas dampak persaingan yang begitu keras.
Bedanya, “Getaway” sebetulnya seakan menyoroti ‘mereka-mereka’ yang memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Setelah menyadari ketidakamanan akan persaingan keras dan kesejahteraan yang terasa menurun, membuat mereka lebih baik kembali dan membangun daerahnya. Perspektif inilah yang saya rasa ingin digetarkan oleh film ini, walaupun terasa lumayan implisit.
Film ini akan segera dirilis pada Pan African Film Festival mendatang sebagai official seletion pada 12 Februari mendatang, dan nantinya juga diputar di Toronto Black Film Festival pada 19 Februari. Walaupun terasa cukup minimalis, “Getaway” terasa menarik untuk ditonton. Yang paling penting, perspektif yang dihadirkan “Getaway” terasa begitu valid dan sebuah alternatif yang patut dipertimbangkan. Seperti kutipan yang amat terkenal itu, ‘My family comes first.’