The wait is over. Setelah 6 tahun, Ernest Prakasa akhirnya kembali dengan sequel “Cek Toko Sebelah 2.” Kali ini, Ernest menggandeng Meira Anastasia untuk lebih dalam lagi terlibat dalam penulisan dan pengembangan skenario. Salah satu perbedaan yang paling mencolok dalam sekuel ini terletak pada sentuhan humor dan range pada konflik serta karakter yang lebih mendalam. Jika di film pertama kita diajak melihat proses pendewasaan serta perjuangan Erwin untuk menemukan jati diri sebagai seorang etnis Tionghoa, “Cek Toko Sebelah 2” berfokus pada hal yang lebih emosional, yaitu hubungan asmara serta dinamika antar keluarga Erwin dengan lebih mendalam dan beragam.
Secara spesifik, Ernest dan Meira mengambil isu pernikahan untuk menjadi tema besar yang menggambarkan dinamika, menajamkan motivasi, dan tujuan setiap karakter. Menariknya, kita disuguhkan dengan tiga perspektif cerita yang berbeda. Mulai dari pasangan muda yang baru akan menikah; pasangan yang sudah menikah namun belum memiliki momongan; pasangan yang sedang dalam proses perceraian. Setiap cerita memiliki porsi dan dibalut dengan ringan serta hangat. Film ini menonjolkan mengenai cinta, kepercayaan, dan ego. Hal yang begitu fundamental dalam sebuah keluarga tetapi juga begitu rapuh.
Nuansa feminim pada “Cek Toko Sebelah 2” terasa begitu kuat jika dibandingkan dengan pendahulunya. Dalam sequel ini, peran para tokoh perempuan begitu penting dan krusial dalam menjadi motor penggerak cerita. Meskipun nuansanya lebih feminim, kehadiran Koh Afuk (Chew Kin Ah) dan Yohan (Dion Wiyoko) mampu menyeimbangkan dinamika dalam cerita. Meskipun dalam sequel ini, kita akan lebih banyak menilik sisi rapuh dan bijaksana Koh Afuk lewat dinamika-nya bersama Erwin dan Yohan.
Meira dan Ernest berusaha untuk memberikan background story dan motivasi yang jelas pada setiap karakternya. Upaya menghindari adanya plot hole juga begitu terasa. Meskipun pada akhirnya ini menjadi sebuah tantangan untuk menjaga kontinuitas serta ketajaman setiap cerita yang hendak diangkat. Tantangan ini dilihat dalam resolusi konflik antar karakter. Contohnya saat konflik akhir antara Erwin dan Natalie yang seharusnya menjadi klimaks, justru tampak begitu klise dan terburu-buru. Berbeda dengan Yohan dan Ayu yang cukup efektif, meskipun intensitas perselisihan suami-istri yang dibangun masih dapat ditajamkan lagi untuk membangun empati penonton terhadap karakter lebih dalam lagi.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri chemistry antar pemain menjadi salah satu lem perekat yang membuat film terasa lebih hidup. Sejak awal film, Laura Basuki dan Ernest Prakasa berhasil menangkap atensi penonton. Chemistry antara Nathalie dan Erwin terlihat begitu alami dan dipenuhi ke-uwu-an. Hal ini tentu bukan semata-mata kebutuhan adegan bucin belaka, melainkan dilakukan secara intentional untuk menangkap hook penonton sedari awal agar terlibat dengan kedua karakter sentral ini. Meira sendiri dalam press screening mengakui banyak mengambil inspirasi dari drama korea untuk menciptakan ambiences dan suasana gemas yang diinginkan. Tentunya, hal ini cukup efektif jika melihat segmen penonton yang didominasi oleh generasi milenial dan gen-Z. Termasuk saya.
Kalau Laura dan Ernest berhasil bikin penonton gemas, Maya Hasan justru berhasil bikin penonton geregetan. Berperan sebagai Agnes, ibu dari Nathalie yang merupakan tipikal Tiger Mom asia dengan sifat controlling yang bikin jengkel sampai di titik kita akan berpikir “calon mertua kayak gini tinggalin aja kali!”. Karakternya berhasil memberi intensitas dan driver yang kuat dalam cerita. On the other side, akting Adinia Wirasti saat masuk dan mendalami trauma masa lalu Ayu menjadi salah satu highlights yang membuat air mata saya merembes. Tidak ketinggalan dinamika Ayu dan Zahra (Widuri Puteri), seorang gadis remaja yang senang memotret dengan kamera instax-nya dan sedang mengalami perceraian orang tuanya, mampu memberikan warna baru dalam cerita.
Tentu saja kehadiran para komika juga menjadi pelentur dan alasan mengapa meskipun konflik yang diangkat begitu emosional, alur cerita terasa begitu ringan dan berwarna. Komedi yang disuguhkan cukup efektif untuk mengundang tawa dan menarik atensi penonton kembali. Ernest dan Meira sendiri memberi empati lebih terhadap pengolahan komedi dalam cerita, agar tidak mengandung unsur sexims, serta agar kelucuan yang tercipta menjadi sesuatu yang kondisional dan bukan karena dipaksakan atau terkonsep. This is why the humor is based more on day-to-day conversation dan memperkuat kondisi. Akan tetapi, memang masih perlu ada keseimbangan antara humor dan drama yang disajikan. Dalam beberapa scene, humor yang disajikan terlalu bertele-tele sehingga terasa tidak perlu dan “kering.”
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah treatment pengambilan kamera. Dibandingkan anak pertamanya, Ernest kali ini banyak bermain dalam teknik serta shot pengambilan kamera untuk menonjolkan emosi serta menghadirkan momentum kepada penonton. Selain itu, aksi dan reaksi antar karakter juga sudah mampu ditunjukkan dengan efektif. Akan tetapi, seringkali ketika adegan dialog, kamera cenderung bermain statis dan aman. Sehingga sedikit mempengaruhi fokus sebagai penonton karena memberi kesan kaku.
Beberapa cutting dalam editing juga terasa kurang smooth, meskipun tidak terlalu signifikan mempengaruhi visual. Pengolahan musik dan elemen suara dalam film juga sudah mampu memperkuat sinematografi dan penekanan terhadap emosi. Salah satu strategi yang efektif untuk menggaet atensi generasi muda dengan menggunakan lagu yang sedang viral sebagai salah satu latar musik seperti “Kita usahakan rumah itu” oleh Sal Priadi. To sum up, everything is enjoyable!
Kalau kalian menonton film ini, please perhatikan detail pada setiap karakter dan set! Mulai dari fashion, properti, hingga penataan set lokasi. “Cek Toko Sebelah 2” berusaha untuk memberikan perhatian lebih terhadap detail dan aksentuasi identitas minoritas di Indonesia. Selain dari setting latar, penggunaan bahasa, Ernest juga menghadirkan keberagaman melalui karakter yang jauh lebih luas rangenya. Mulai dari Ibu Sonya, si ibu katrok dan sok tahu yang diperankan oleh Asri Welas. yang berperan sebagai seorang lelaki kemayu, pemilihan pastur dan latar gereja sebagai bagian dari cerita Nathalie dan Erwin, hingga set rumah gang capsa.
Kita sendiri tahu bahwa representasi film yang mengangkat kehidupan minoritas ataupun identitas ras, etnis, dan kearifan lokal masih belum begitu banyak. Meski sudah mulai ada progress yang cukup signifikan. Apalagi semenjak kehadiran “Ngeri-Ngeri Sedap“ . Selain itu, kalau kalian pengguna aktif media sosial apalagi platform burung biru, maka keyword “pernikahan” pasti sering bertebaran di timeline kamu. Daripada ngeribetin diri sendiri dengan segala debat kusir netizen, mending nonton “Cek Toko Sebelah 2”, deh. Serius. Apalagi kalau kamu sedang dalam tahap akan atau sedang menikah, atau mungkin sekedar ingin dapat insight lebih aja meski belum ada pasangan.
Usaha Ernest Prakasa untuk terus berupaya melahirkan karya film yang akhirnya menjadi representasi minoritas di panggung sinema Indonesia adalah hal yang patut untuk terus diapresiasi. Hal ini juga menjadi nilai plus buat kalian untuk segera menonton Cek Toko Sebelah 2 bersama orang tersayang. The movie feels like a warm chicken soup that your parents cooked on a rainy day to keep you warm.