Setelah hampir lebih dari satu dekade tidak menyutradarai film, sutradara legendaris Jane Campion kembali. Mengadaptasi salah satu novel dari tahun 1967, film yang berjudul “The Power of the Dog” ini akan mengajak penonton menikmati cerita yang penuh permainan perasaan dengan tema Western. Tenang, film yang satu ini bukan cerita koboi yang penuh aksi ataupun seperti cerita cinta koboi di “Brokeback Mountain.”
Cerita ini sebetulnya akan membawa penonton ke tahun 1920-an, tepatnya di Montana, dengan setting sebuah ranch yang dilatari kawasan alam yang begitu indah. Kompleks peternakan yang besar ini dimiliki oleh sepasang kakak beradik Burbank. Yang pertama adalah Phil Burbank, diperankan oleh Benedict Cumberbatch, yang sehari-hari memimpin kawanan koboi untuk mengurus urusan di lahan. Yang satunya, George Burbank, diperankan oleh Jesse Plemons, terlihat lebih sibuk dibalik layar.
Singkat cerita, George menginformasikan Phil bila Ia akan segera menikahi seorang janda bernama Rose Gordon, yang diperankan oleh Kirsten Dunst. Rose sehari-hari mengelola restoran kecilnya bersama putra tunggalnya, Peter, diperankan oleh Kodi Smit-McPhee, yang sekilas tampak ganjil. Phil yang karismatik merasakan keganjilan tersebut. Ia merasa Rose hanya menginginkan harta George. Semenjak menjadi bagian dari keluarga Burbank, Rose dan Peter pun bergabung dan menikmati ‘permainan’ dari Phil.
Apa yang sebetulnya dihadirkan oleh film ini terasa cukup cepat. Banyak adegan yang tidak ditampilkan, namun hanya terjelaskan dari ucapan dialog-dialog pemainnya. Contohnya, saat Rose yang membiayai Peter untuk sekolah kedokteran dengan menggunakan uang suaminya. Bagian ini hanya terceritakan dari adegan secara implisit. Inilah yang membuat “The Power of the Dog” terasa cukup padat, karena setiap detilnya perlu diperhatikan dengan seksama.
Dari kualitas penyajian, apa yang dihadirkan Jane Campion kali ini terbilang sebagai suatu Mahakarya. “The Power of the Dog” hadir dengan sinematografi yang tajam, setting produksi yang indah, ditambah unsur dramatis yang menggelegar, seperti adanya musik yang penuh teror. Terkadang saya merasa kesan teror mental yang dihadirkan sungguh amat mengena, ditambah dengan penampilan yang amat memukau.
Salah satu yang paling membekas adalah permainan akting dari Kirsten Dunst. Disini, Ia sangat amat membuat saya terheran-heran untuk menghadirkan sosok Rose yang menjadi begitu depresional dan menjadi ketergantungan alkohol. Selain itu, penampilan Benedict Cumberbatch sebagai Phil menjadi salah satu contender terkuat di kategori Aktor terbaik. Cumberbatch disini amat piawai dalam memerankan sosok antagonis yang ternyata di dalam cerita membuka beberapa identitas dirinya yang tidak dijelaskan secara gambang, namun terlihat secara eksplisit. Yang selalu menjadi pertanyaan saya sepanjang menyaksikan film ini adalah sebetulnya apa yang memotivasi Phil untuk berlaku demikian? Dan, apakah memang Ia benar-benar antagonis?
Yang tak kalah berkesan, ya tentu kehadiran Kodi Smit-McPhee. Aktor muda ini tampil cukup quirky, disertai dengan karakter yang juga dijuluki ‘Little Nancy.’ Entah kenapa, keunikan dari Kodi dalam memerankan Peter memberi suatu kesan magis tersendiri. Ia selalu berhasil mencuri pandangan saya setiap muncul dalam scene. Salah satu yang sedikit membuat saya unexpected adalah ketika di bagian awal, saat Ia kecewa dan menarikan hulahoop. Disini, saya merasa Ia benar-benar memang sangat random dan ganjil.
Dari penyajian setting, walaupun kisah banyak terpusat di peternakan Burbank, pesona yang diperlihatkan sungguh mempesona. Sepintas ini mengingatkan saya dengan film klasik “Days of Heaven” yang juga menghadirkan rumah seonggok dengan bidang halaman yang begitu luas. Unsur yang menarik lainnya adalah bagaimana elemen-elemen pendukung cerita yang berhasil digambarkan dengan apik. Ini terlihat seperti kehidupan sehari-hari di peternakan, ataupun ketika para koboi sedang asik bermain bersama kuda mereka maupun bermain air di sungai.
Alhasil, sebagai salah satu contender kuat di Academy Awards, saya rasa “The Power of the Dog” amat pantas untuk menyabet kategori Film Terbaik. Kalaupun sebetulnya jika dipikir-pikir film ini mungkin secara general punya plot ala-ala sinetron, tapi secara kualitas pengemasan ceritanya yang amat berkelas. Ya kalau dipikir, banyak cerita konflik sirik-sirikan di dalam keluarga, yang dikemas sampai ada pembalasan dendam. Akan tetapi, film ini memang tidak boleh disamakan ya. Pengalaman menonton yang ditawarkan sungguh mencekam, misterius, dan ditutup dengan manis (versi saya). An instant classic!