Memutuskan menyaksikan “No Time to Die” berawal dari tidak banyaknya pilihan di masa pandemi. Sebetulnya, semenjak James Bond diperankan oleh Daniel Craig, mungkin bukan sebuah sentimen, tapi sebetulnya saya sempat memutuskan untuk berhenti menyaksikannya. Satu-satunya yang saya tonton hanya “Skyfall” dan ini adalah film kedua dari lima film Craig.
Sedari kecil, saya sudah cukup banyak menyaksikan film-film James Bond. Mungkin yang paling dini teringat adalah ketika saya menyaksikan “Tommorow Never Dies” (1997), yang kala itu masih diperankan Pierce Brosnan. Sosok agen rahasia yang selalu menggunakan full suit ini memang selalu mengagumkan. Engga cuma ditemani peralatan yang super canggih, tapi juga selalu dikelilingi bond girls lewat adegan-adegan yang selalu menggoda penonton.
Pada “No Time to Die,” diceritakan Bond sudah memasuki pensiun. Ia sudah tidak lagi bekerja dengan M, dan menikmati masanya dengan kekasihnya, Madeleine, yang diperankan oleh Léa Seydoux. Keduanya menghabiskan waktu di Matera, Italia, sekalian Bond mengunjungi makam Vesper Lynd. Eh, disana Bond malah sudah dikepung oleh anak buah Spectre. Aksi penyerangan membuat Bond harus berjuang sendiri sampai akhirnya Ia merasa dikhianati oleh Madeleine. Seusai berhasil melarikan diri bersama, Ia memutuskan untuk berpisah dengannya.
Lima tahun kemudian, Bond memilih untuk tinggal di Jamaika, lengkap dengan tempat tinggal yang super comfy, yang sedikit mengingatkan saya sama resort-resort di Indonesia. Singkat cerita, disana Ia bertemu dengan Felix Leiter, seorang agen CIA yang diperankan Jeffrey Wright. Felix memperkenalkan sosok Logan Ash, diperankan oleh Billy Magnussen, yang juga merupakan seorang agen dari Amerika. Dalam pertemuannya itu, Felix meminta tolong Bond untuk kembali menjadi agen untuk mencari Obruchev, seorang scientist yang berhasil kabur dari laboratorium MI6. Disinilah, awal mula Ia kembali.
Kisah agen rahasia buatan buatan novelis Ian Fleming ini memang sudah lebih panjang dari versi aslinya. Hampir lebih dari 6 dekade, penonton di dunia telah menyaksikan James Bond yang juga sudah diperankan 6 kali. Mulai dari Sean Connery, George Lazenby, Roger Moore, Timothy Dalton, Pierce Brosnan, hingga Daniel Craig. Di film ini, penonton juga akan diperkenalkan dengan sosok 007 yang baru, bernama Nomi, yang diperankan oleh Lashana Lynch. Nomi tak hanya digambarkan sebagai penerus, tetapi juga terkesan amat kompetitif dengan Bond.
Bicara mengenai plot ceritanya, yang pasti penonton akan menikmati sebuah film dengan alur yang panjang dengan aksi tanpa henti. Ini belum ditambah dengan set-set yang berasal dari beragam belahan dunia. Di film ini tercatat ada beberapa negara yang menjadi setting ceritanya, mulai dari Italia, Jamaika, Kuba, Norwegia, Inggris, sampai di pulau yang ceritanya adalah sengketa perang Rusia-Jepang.
Tak seperti film Bond-lainnya, sosok Bond Girl yang disini diperakan Seydoux bersama Ana de Armas tidak terlihat seperti film-film sebelumnya yang cukup banyak menjual ‘adegan panas’ seperti film-film Bond terdahulu. Atau, apa mungkin versi yang saya tonton sudah di sensor LSI sehingga terlihat lebih ramah untuk para remaja? Saya tidak tahu. Terlepas dari itu semua, saya menyukai bagaimana karakter Paloma, yang diperakan Ana de Armas, dihadirkan. Aktris asal Kuba yang sama-sama bermain dengan Craig di “Knives Out” ini berhasil mencuri perhatian saya sedari awal scene Ia muncul. Tak hanya seksi, ternyata karakter yang satu ini juga amat terampil dalam membantu perkelahian Bond dengan anggota-anggota Spectre.
Dari sisi penyajiannya, apa yang dihadirkan sutradara Cary Joji Fukunaga, cukup berhasil memukau saya. Pada scene-scene awal “No Time to Die”, saya belum terlalu menikmati film ini. Hingga semenjak masuk ke bagian Italia, saya langsung terfokus sampai bagian akhir, yang padahal kisahnya disajikan hampir 3 jam. Kualitas sinematografi dari Linus Sandgren terbilang amat jenius. Saya menikmati permainan putaran kamera saat adegan penyerangan laboratorium, transisi opening credits yang amat smooth, sampai bagaimana menghidupkan suasana survival di tengah hutan Norway. Berhubung penuh aksi, film ini juga punya editing yang cukup kuat. Kerja keras Elliot Graham dan Tom Cross dalam mengkombinasikan segala action dari beragam angle membuat penonton akan sangat terhibur. A well-packed action!
Dari sisi musik, yang akhir-akhir sering langganan nominasi Oscar, juga cukup diperhitungkan. Original soundtrack yang berjudul sama di film ini dinyanyikan oleh Billie Eilish, dengan gaya lagu yang sebetulnya punya ambience mirip-mirip seperti saat “Skyfall” ataupun “Writing’s on the Wall.” Dugaan saya, mungkin film ini bisa menyabet satu nominasi di Oscar 2021 mendatang.
Sedikit spoiler, film ini merupakan aksi terakhir Daniel Craig sebagai James Bond. Akan tetapi, versi penutup ini seperti akan menceritakan kelanjutan 007 dengan sosok Nomi. Cuma saya masih ragu bagaimana Nomi bisa menggantikan sosok agen yang sudah dikenal dengan kisah-kisah perempuan yang selalu menyertai di film-filmnya. Apakah besok istilah Bond Girls akan berubah menjadi Nomi’s Boy? Kok jadi enggak banget yah.
Satu lagi yang engga boleh ketinggalan adalah ensemble cast. Entah kenapa ya ensemble cast di film ini, walaupun bukan yang terbaik, tapi amat menjanjikan. Di sisi antagonis utama, ada Rami Malek dari “Bohemian Rhapsody” yang kini memerankan sosok Lyutsifer Safin. Dari sisi pendukung, ada Ben Whishaw sebagai Q, Naomie Harries sebagai Moneypenny, sampai Ralph Fiennes sebagai M. Selain itu, film ini masih akan menghadirkan Blofeld yang diperankan Christoph Waltz.
“No Time to Die” adalah tontonan perpisahan yang amat menghibur. Penyajian aksi dengan setting yang menggelegar memang benar-benar akan memuaskan para manusia yang butuh hiburan. Sebagai salah satu penggemar film-film James Bond, saya amat tidak menyangka ketika MGM setuju dengan penghentian karakter ini. Sangat tidak disangka, tapi memang semuanya harus ada akhir. Bila pun franchise ini dilanjutkan, apakah lewat sosok Nomi dan lainnya, perlu ada pertimbangan apakah juga dapat semenguntungkan film-film Bond terdahulu. Tapi juga akan menarik sih kalau misalnya ternyata Bond enggak mati, dan memang bener-bener ingin memutuskan untuk pensiun. Terlepas dari itu semua, berhubung ini film terakhir Craig, ini juga film terakhir sosok the Blondie Bond. So, farewell, Mr Bond!