Kali ini giliran waktunya aksi superhero asal Asia. Sudah bukan kejutan, namun karakter Shang-Chi akhirnya diangkat Marvel dan punya film sendiri. “Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings” merupakan film perkenalan sosok Shang-Chi yang saya duga akan tetap punya jatah sekuel lanjutan, sebagai upaya membangun universe para superhero, yang juga merupakan model bisnis Marvel. Terlepas dari itu, apakah film ini menjanjikan? Berikut pendapat saya.
Awal film dimulai dengan dongeng, mengenai adanya kekuatan sepuluh cincin yang memberikan kekuatan untuk seorang Xu Wenwu, manusia super yang diperankan oleh Tony Chiu-Wai Leung. Dalam upaya memperluas kekuatannya, Ia mengunjungi sebuah desa mistik bernama Ta Lo. Di dalam perjalanan, Ia bertemu dengan Ying Li, diperankan oleh Fala Chen. Alih-alih berkelahi, wanita penjaga akses ke desa ini malah jatuh cinta. Li kemudian menikah bersama Wenwu, keduanya melepaskan kekuatan mereka dan membangun keluarga secara normal.
Kisah lalu lompat ke masa kini, ketika seorang asian bernama Shaun, diperankan oleh Simu Liu, yang bekerja sehari-hari sebagai petugas valet bersama sahabatnya, Katy, yang diperankan oleh Awkwafina. Shaun digambarkan sebagai representatif orang normal, yang sehari-hari bekerja dengan santai, lalu kadang menghabiskan waktu dengan berkaraoke bersama Katy di malam hari. Sampai suatu ketika, Shaun menerima sebuah postcard yang Ia kira merupakan pesan dari sang adik. Tetiba dengan pemberitahuan tersebut, Ia memutuskan untuk kembali ke Macau. Tak disangka, Katy juga mau ikut serta. Dalam perjalanan, Shaun menceritakan masa lalunya yang terlahir sebagai Shang-Chi.
Tanpa banyak ekspektasi, “Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings” ternyata memberikan sebuah kejutan yang cukup berarti. Film yang berdurasi 132 menit sama sekali tidak akan membuat penonton merasa bosan. Saya rasa, ini berkat dengan penyajian cerita yang di setting dengan alur yang tidak jelimet, cerita yang mudah dimengerti, dan ditambah aksi akrobatik perkelahian yang padat berisi.
Bicara dengan set, namanya film-film Marvel, pasti sudah tidak akan lepas dari bantuan CGI. Sebagai penonton, saya merasa cukup terhibur dengan sajian adegan seru dengan visualisasi yang luar biasa. Akan tetapi, di sisi lain, ada terlalu banyak adegan yang mudah dikenali menggunakan CGI. Inginnya, setidaknya film ini bisa menipu penonton dengan tidak terlalu memperlihatkan secara ekplisit akan CGI yang ditampilkan. Pada beberapa adegan, Ini seperti mengingatkan saya kalau kita melirik kembali ke film-film di tahun 2007-an, misalnya “The Golden Compass.”
Kalau dari segi cerita, dengan membawa setting Asia, film ini akan membawa kita unutk menjumpai beberapa nilai-nilai Asia, misalnya bagaimana pentingnya identitas nama dan marga terkait dengan leluhur, ataupun beberapa hewan-hewan fantasi yang diperlihatkan, seperti misalnya kucing berwajah barongsai berukuran jumbo yang populer dalam budaya Cina, sampai kehadiran rubah dengan ekor sembilan yang cukup dikenal pada mitos Korea. Gak ketinggalan, film ini juga memasukkan satu adegan dengan ucapan bahasa Indonesia, yaitu kata ‘terima kasih,’ yang menurut saya sih secara personal cuma bagian untuk upaya mengambil hati pasar film dalam negeri.
Dari sisi music, saya menyukai original score dari Joel P. West yang kental dengan ambience oriental dengan pengemasan yang serba megah. Tapi ya, terlepas dari segala kemegahan yang ditampilkan, saya malah merasa apa yang dihadirkan “Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings” agak sedikit terinspirasi dari sekian banyak film Cina yang megah-megah. Sebut aja “Crouching Tiger, Hidden Dragon” ataupun “Hero.” Paling tidak, ini seperti upaya rekonstruksi versi Hollywood.
Jika melihat soundtrack-nya, 88 Uprising dipercayakan untuk mengelola produksi lagu-lagu dalam film ini. Inilah yang membuat tidak herannya, dua artis asal Indonesia, NIKI dan Rich Brian, yang ikut serta dalam album OST-nya. Amat tidak mengherankan, sebab keduanya adalah artis di bawah naungan 88 Uprising. Tapi, buat saya ini prestasi juga sih. Lagipula, lagu-lagu OST film ini terbilang cukup menarik. Yang menjadi favorit saya disini adalah end credits song ‘Fire in the Sky’ yang dinyanyikan Anderson .Paak serta ‘Every Summertime’ dari NIKI.
Dari sekian panjang adegan di film ini, set yang paling favorit buat saya adalah markas buatan adik Shang-Chi di tengah kota Macau, yaitu club yang mempertunjukan pertarungan-pertarungan yang nantinya dapat diakses melalui dark web. Yang cukup memukau saya ketika diperlihatkan lorong yang berisi ruang-ruang pertarungan yang dibatasi kaca, yang kemudian berakhir dengan panggung besar.
Kalau bicara dari penampilan, saya menyukai ensemble cast di film ini. Mulai dari penampilan Simu Liu yang amat menawan dengan aksi-aksinya sebagai Shang-Chi, lalu Awkwafina yang jadi supporting dengan penampilan yang selalu konsisten, sampai penampilan Meng’er Zhang yang diam-diam mencuri perhatian sebagai Xialing. Film ini juga diramaikan aktor-aktris veteran. Mulai dari Tony Leung yang jadi ayahnya Shang-Chi, Michelle Yeoh yang jadi tantenya Shang-Chi, Tsai Chin yang jadi neneknya Katy, sampai Ben Kingsley yang cuma jadi badut disini.
Secara keseluruhan “Shang-Chi and the Legend of the Rings” bisa jadi rekomendasi penghibur di weekend Anda. Tontonan yang dikemas untuk segala usia ini terbilang amat menghibur sih. Aksi laga yang ditawarkan tentu memang dengan kualitas Marvel yang sudah tidak diragukan lagi. Yang pasti, kalau udah nonton film ini, jangan lupa untuk tunggu scene tambahan setelah closing credits dan end credits. Habis itu, pasti kita akan menunggu kapan lagi Shang-Chi akan disertakan Marvel dalam film lainnya. Shang-Chi, welcome to the club!